Pesona Wolio-Pulau Buton

Opini


Membangun Optimisme Kebutonan
Oleh : Hasmina Syarif
Ditengah hingar bingarnya diskusi tentang pembangunan Buton menyongsong masa dapan yang dilakononi beberapa generasi Buton yang sangat antusias dengan semagat yang tinggi dibeberapa group diskusi yang ada di media Facebook, kita banyak menemukan bermunculannya ide-ide dan pikiran cerdas generasi Buton dari berbagai aspek keilmuan, mulai dari yang berstatus dosen, mahasiswa, aparat pemerintahan, pelajar, bahkan para professional asal Buton yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Eksistensi mereka seakan menggambarakan potensi yang menjanjikan bahwa ketersedian sumberdaya manusia yang dimiliki lebih dari siap untuk menghadapi tantangan pembangunan yang penuh persaingan baik sekarang maupun dimasa yang akan datang. 
Untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi dalam menemukan masa depan Buton, nurani kita terkadang membisikan sesuatu dan bertanya, apakah pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan yang memiliki otorisasi penuh sebagai pengemban amanat rakyat dan pengambil keputusan yg terkait dengan pembangunan di “Bumi Bolimo Karo Somano Lipu ini, memiliki greget, rasa memiliki (sense of belonging), pola pikir (mindset), keprihatinan (concerns) bahkan merospon pikiran positif yang konstrukif dari manapun datangnnya termasuk dari group diskusi ini?

Timbul pertanyaan, apakah  mereka yg tengah berkuasa dan memperoleh gaji dari jabatannya, justru tengah sibuk memikirkan nasib dirinya dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara untuk memenangkan pesta demokrasi pilkada kedepan. Jangan-jangan para pemimpin dan wakil-wakil kita di legislatif sedang membuat kalkulasi bagaimana melanggengkan kekuasaan di tengah derita rakyat kita yang berkepanjangan. Bahkan jangan-jangan forum diskusi yang dihuni banyak generasi intlektual Buton ini,  gaungnya hanya sebatas dunia maya, yang diteriakan dan didengarkan oleh orang-orang yang sama di group ini
Ketika muncul pemikiran demikian, seharusnya kita segera meralat dan menghibur diri dengan pemikiran positif bahwa berbuat kebaikan sekecil apapun, harus dilandasi keihlasan  tanpa mengharapkan balasan dan pujian. Tidak usah menganggap diri baik dan menjelekan yang lain, menganggap diri lebih pintar dan orang lain bodoh, kalaupun mengeluarkan kritik hendaknya dilakukan dengan santun, tulus dan sampai sasaran.
Kita harus tetap optimis, semoga pikiran-pikiran cerdas yg keluar dari hati kita yang tulus, dapat menjelma sebagai pilar kekuatan & kepintaran kolektif kedaerahan kita, sembari kita berharap akan berkembang lalu memiliki sayap serta kaki untuk menyapa masyarakat luas, menyebarkan penyadaran kolektif di bumi buton yang tercinta.
Kekayaan alam Buton dalam wujud “Endowment” dan keunggulan nilai leluhur dari Allah Swt, haruslah disyukuri dan disikapi dalam wujud implementasi yang real (nyata), dengan selalu konsisten berada dilintasan “nilai kebutonan” yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.  Buton akan maju dan bermartabat menuju masa depan kalau “Start-Up” pemahaman kita, diawali dengan mencangkokkan pendekatan nilai filosofi yang kita miliki seperti Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalepe Lipu(Memperbaiki diri sebelum memperbaiki Kampung ) sebagai prinsip nilai-nilai kearifan local yang seharusnya di junjung tinggi.
Kalimat sederhana yang bersumber dari nilai leluhur diatas, mengingatkan saya kepada seseorang teman dekat yang banyak memahami konsep nilai budaya strategis bangsa Jepang, dengan mengatakan bahwa nilai spirit diatas, memiliki kesamaan dengan strategi “Perbaikan Berkesinambungan " ala bangsa Jepang yang mendunia dan  dikenal dengan  “Kaizen (Continuous Improvement), yang salah satunya terfokus pada kekuatan “Create People Before Create Product”. Kedahsyatan pendekatan ini telah menjadi salah satu kunci kesuksesan Jepang dalam persaingan untuk menjadi bangsa yang maju.
Timbul pertanyaan, apakah ini mengindikasikan bahwa filosofi  perbaikan Buton “Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalape Lipu”  sudah ada sebelum konsep Kaizen itu ada. Jawabannya “Maybe Yes Maybe No”, akan tetapi secara faktual pendekatan filosofi „Kaizen“  telah membuktikan konstribusinya untuk mensejahterakan bangsa Jepang. Sementara wujud implementasi dari nilai filosifi "Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalape Lipu" , hilang dan lenyap hampir tidak berbekas karena terlindas roda penuaan dunia politik yang menghalalkan segala macam cara dengan tidak menempatkan nilai budaya sebagai fondasi kekuatan pembangunan.
Melihat Fenomena yang ada didepan kita, mungkin para leluhur akan meneteskan airmata  dengan penuh penyesalan, karena melihat generasi Buton sekarang ini banyak yang menikung, menghianati, mengabaikan, merusak, menjegal cita-cita mulia mereka melalui pandangan-pandangan dan agenda pendek dengan membajak instrumen-instrumen daerah untuk kepentingan pribadinya. Banyak yang berebut untuk duduk  dalam posisi strategis pemerintahan dan jabatan politik tapi agenda yg dominan hanya kepentingan politik jangka pendek untuk diri, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana mungkin Buton akan menemukan masa depannya, jikalau sepintas sistem demokrasi pemeilihan pemimpin kita dalam pilkada sekarang ini telah berubah seperti pasar, dimana seorang dihargai karena duitnya sehingga pada kenyataannya yang menang bukanlah moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas, malainkan siapa yang punya sumber dana yang besar dan berlimpah.
Siapa yang salah dari semua ini, tentunya semua adalah kesalahan kita. Kita butuh proses transformasi yang berlandaskan dan menegdepankan nilai budaya kita, semoga kedepan rakyat Buton semakin kritis, sadar dan memegang prinsip moral dan nilai untuk tidak memilih pemimpin dan wakil rakyat yang miskin kompetensi, moral serta membeli suara dengan uang. Proses transisi yang diperlukan diharapkan semoga mendewasakan kita untuk selalu melakukan perbaikan sekecil apapun, yang penting dilakukan secara berkesinambungan.
Perubahan dari suatu orde haus kekuasaan untuk kembali ke orde pembangunan yang berbasis nilai, tidak semudah membalikan telapak tangan. Mengapa? Dalam ukuran sejarah, sebagaimana negara maju seperti Korea Selatan yang periode “Star Up” pembangunannya, paska kemerdekaan dari penjajahan Jepang memeiliki kesamaan dengan negara kita, negara ginseng ini butuh waktu satu genarasi yaitu 20 – 25 tahun dengan pendekatan strategi pembangunan yang berbasisi nilai & berkelanjutan “Sustainable”, bahkan negara ginsen in berhasil menggiring budaya mereka menjadi "budaya unggu"   yang selalu haus akan prestasi (need for Achievement). Korea Selatan juga telah membuka mata kita dengan membuktikan bahwa bukanlah sumber daya alam semata yang menjadi modal utama pembangunan tetapi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitaslah yang membawa mereka duduk dan berdiri sejajar dengan negara-negara industri utama didunia.
Dibutuhkan kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai, komitmen, konsistensi, kekuatan fisik dan kesadaran para elite serta kesadaran sosial masyarakat buton yg bermodalkan napas  panjang untuk siap berlari jarak jauh selama satu generasi. Kemudian Buton memerlukan “mind set & visi” bersama, diikuti dengan kesiapan berkorban untuk mewujudkannya, melalui strategi sosialisasi kesadaran kolektif yang effective dan berkesinambungan. Perubahan "mind set"  untuk menjadi "manusia Buton yang maju"  secara kolektif, harus menjadi  suatu target yang mutlak untuk dicapai, sebab ditengah kegamangan  orientasi nilai budaya kita, Buton semakin sulit menjaga keseimbangan olengan gelombang globalisasi, yang juga dipengarahi oleh jarak pandang kemasa depan pun sangat pendek karena kemiskinan visi yang realistis.
Perbedaan antara manusia maju dan kurang maju hanya ditentukan oleh komitment untuk berubah melalui kehausan untuk belajar dan belajar, sementara kehausan untuk belajar berpadanan dengan keterbukaaan diri kita untuk menerima perubahan dari manapun asalnya. Sikap terbuka ini sangat menguntungkan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita, karena dengan membuka diri terhadap perubahan berarti sudah membuka jalan kearah pengalaman baru untuk dipelajari dan diterapkan.
Sikap ketertutupan kita tentang hal-hal yang baru dari dunia luar yang terkesan dibentengi oleh keangkuhan kita akan keberhasilan sejarah Buton masa lalu yang memegang teguh nilai-nilai budayanya, hanya membuat kita selalu terlena dan terperosok dalam kehidupan yang bermental inlander, tidak mau berkembang, bermalas-malasan, hampir tanpa budaya etos kerja tinggi bahkan akan berujung keterpencilan dari dunia nyata yang berarti hanya menangani kehidupan Buton dari luar permasalahan. Masa lalu Buton harusnya diposisikan sebagai pijakan dan tempat yang merujukkan arah perkembangan, tetapi fokus usahanya adalah perbaikan-perbaikan yang didorong oleh harapan hari ini dan masa depan.
Alex Inkeles, sejalan dengan pendekatan baru yang kini banyak dibicarakan dan diterapkan, yakni pandangannya yang menegaskan bahwa “Culture Matter”  kebudayaan dalam arti sikap dan orientasi nilai & karya amatlah berperan dalam membangun kemajuan bangsa & Negara diantaranya sikap dan orientasi nilai yang mengacuh pada :
  1. Berorientasi kemasa depan,
  2. Kerja keras, kreatifitas, prestasi penting untuk menghasilkan dan harga diri.
  3. Hidup hemat pangkal investasi.
  4. Pendidikan kunci kemajuan
  5. Prestasi dihargai
  6. Saling percaya modal utama
  7. Keadilan dan berbuat fair adalah nilai-nilai progresif dll.
(sumber : “Culture Matter” – How Value shape human Progress) Lawrence E Harrison & Samuel P. Hutington)

Untuk mencapai sikap dan orientasi nilai diatas, maka Buton harus di “grand desaign dengan strartegi pembangunan dalam waktu satu generasi yang  “sustainable”  dengan membutuhkan strategi yang mumpuni, kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai (Value Based Leadership), Management Sistem & Method yang efektif dan sumber daya yang terampil, jujur dan bertanggung jawab, serta transparansi pengawasan dan pengendalian yang efektif.
Kita harus optimis bahwa Buton belum kehabisan seluruh potensinya untuk melaksanakan tugas sejarah dalam melakukan perbaikan untuk menuju masa depan. Maka pemotretan terhadap berbagai persoalan Buton perlu dilakukan sekedar tumpuan melakukan transformasi pikiran, mental, dan tindakan untuk berbagai langkah perbaikan. Maka sangatlah penting untuk menggelar perdebatan umum dan membuka dialektika pendapat antara sesama generasi Buton sembari mengharap semoga sikap pemerintah daerah untuk selalu membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran generasi buton yang ada didalam maupun diluar sistem pemerintahan.
Saatnya merubah mind set kita untuk menyikapi bersama bahwa “Key Performance Indikator (KPI)” kemajuan pembangunan suatu daerah tidak hanya cukup dilihat dengan menggunakan kacamata fisik, namun juga harus memadai dilihat dalam kacamata  ahlak dan budi pekerti, sebagai modal utama kita dalam menghadap Allah SWT.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
Hasmina Syarif, Jakarta 10 June 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif