Pesona Wolio-Pulau Buton

Senin, 05 November 2012

Posuo dalam Masyarakat Buton

Posuo di masyarakat Jawa disebut Pingitan. Dalam tatanan masyarakat Buton, posuo diartikan sebagai suatu "prosesi upacara peralihan status individu wanita dari gadis remaja (Buton: labuabua ke status gadis dewasa (kalambe).

Upara ritual ini diyakini sebagai sarana menguji kesucian seorang gadis. Menurut La Ode Maulidun (46), budawayan Buton, upacara posuo dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruang khusus yang disebut suo. Selama dikurung di ruang sempit dan pengap itu,
peserta posuo diisolasi dan diprotekasi dari berbagai pengaruh dunia luar yang terjadi di sekelilingnya, kecuali hanya berhubungan dengan bhisa yang memberi pembinaan atau wejangan khusus yang ditunjuk langsung oleh pemangku adat.

Selama itu pula, pawang gendang terus menabuh gendang dan gong. Jika ada gendang yang pecah saat ditabuh, mengisyaratkan bahwa ada di antara gadis posuo yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan jenis.

Meski demikian, masalah itu tidak akan diungkap secara umum, tetapi menjadi rahasia antara pawang gendang dan keluarga peserta posuo. "Kalau gadis yang disuo itu belum pernah mengalami apa-apa (suci-red), gendang yang ditabuh tidak akan pecah. Gendang yang digunakan mengiringi acara ritual itu merupakan gendang pilihan," kata Maulidun, budayawan yang mengaku sudah sekitar 20 tahun menjadi pemukul gendang posuo dalam percakapan dengan SH di Baubau, Jumat (6/8) lalu.

Di ruang sempit dan pengap itu, peserta posuo diberi pembinaan mental spritual dan pembinaan fisik. Pembinaan mental berupa pemberian petuah-petuah tentang etika (ahklak) dan stetika (keindahan) menurut kaidah-kaidah Islam dan adat. Selain itu,  eserta juga diberikan pemahaman tentang profil pribadi seorang gadis dewasa, bagaimana bersikap dan berperilaku dalam keluarga (rumah tanggara) khususnya dan dalam masyarakat luas pada umumnya dilihat dari kaca mata Islam dan adat.

Pembinaan fisik berupa aktivitas praktis tentang gerak motorik tubuh yang anggun dan penampilan fisik yang cantik.
Pembinaan ini berupa pemberian makan secukupnya atau diet yang ketat, latihan motorik berupa cara duduk (paucura), gaya berjalan (palego), dan gaya tidur (pakole). Perawatan kecantikan mandi (pebhaho) dengan air khusus yang berasal dari delapan sumber air  husus untuk posuo dan diambil secara khusus, keramas (pukunde) dengan santan dan luluran kunyit campur tepung beras (pomantomu dan pobura). Pembinaan tersebut dilakukan delapan bhisa wanita tua pilihan dari para pemangku adat yang memiliki keahlian dan kelayakkan untuk membimbing para gadis posuo.

Para bhisa tersebut berasal dari dua kerabat besar keraton Sultan Buton, masing-masing empat dari kerabat Kaomu dan empat dari kerabat Walaka. Kedelapan bhisa tersebut di awah pimpinan seorang bhisa senior yang disebut parika.
"Pembinaan ini dimaksudkan mempersiapkan gadis dewasa untuk menjalani kehidupan rumah tangga ketika yang bersangkutan menikah," kata Maulidun. 

Tiga Jenis

Menurut La Ode Abu Bakar (72), Budayawan Buton lainnya yang juga Ketua Adat Masyarakat Sulawesi Tenggara, dalam masyarakat adat Buton mengenal tiga jenis posuo. Pertama Posuo Wolio (posou yang berasal dari masyarakat Wolio atau Buton sendiri), kedua, Posuo Johoro (posuo yang berasal dari Johor-Melayu) dan Posuo Arabu (posuo hasil medofikasi dan adaptasi dari posuo Wolio dan nilai-nilai Islami.

Posuo Arabu diadaptasikan oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, salah seorang ulama besar Buton medio abad XIX yang menjabat jabatan Kenipulu dalam kabinet pemerintahan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin (1824-1851) dengan  menyederhanakan prosesinya dan memasukkan unsur-unsur Islami di dalamnya. Posuo Arabu inilah, kata La Ode Abu Bakar, yang kemudian lazim diselenggarakan oleh masyarakat Buton. Pelaksanaannya terdiri dari tiga sesi. Pertama pauncura atau pengukuhan
peserta. Sesi ini merupakan awal penyelenggaraan upacara posuo. Substansinya, pengukuhan kedudukan calon menjadi peserta posuo. Pengukuhan dilakukan bhisa senior, wanita tua yang disebut parika. Posesi ini jelas Abu Bakar, dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan-red) lalu dilanjutkan dengan pembacaan doa.

Usai pembacaan doa, parika melakukan panimpa atau pemberkatan dengan memberikan sapuan asap kemenyan pada tubuh calon peserta lalu menyampaikan dua maklumat: Pertama, memberi tahukan tujuan upacara posuo disertai pembacaan nama-nama peserta posuo. Dan kedua, menyampaikan kepada seluruh peserta dan keluarga bahwa selama delapan hari delapan malam, peserta akan menjalani isolasi dari dunia luar, kecuali hanya berhubungan dengan delapan bisa yang sudah ditunjuk pemangku adat.

"Biasanya, mendengar pengumuman ini di antara peserta posuo ada yang berteriak histeris, menanganis meraung-raung dan ada juga yang hanya terdiam dan tertunduk kaku. Mungkin, para gadis tersebut membayangkan bagaimana menjalani kehidupan di ruang sempit dan pengap tanpa lampu penerang selama delapan hari delapan malam. Mereka yang tidak menangis, dibuat menangis dengan cara dicubit atau dipukul bagian tubuh tertentu," katanya.

Menabuh Gendang

Mengiring isak tangis tersebut, petugas upacara lain segera melakukan fungsinya. Petugas gendang segera menabu gendang dan gong. Pada saat yang sama, petugas pelantun lagu mauludan (maludu) mulai melantunkannya. Sesi ini ditutup dengan acara haroa, yakni makan malam bersama sebagai syukuran awal dimulainya posuo. Kedua, sesi bhaliana yimpo. Sesi ini dimulai setelah lima hari melewati masa posuo.

Peserta yang posisi baring dan tidur sebelumnya kepala ke arah Selatan dan kaki ke arah Utara, diubah menjadi kepala ke arah mata hari terbenam (barat) dan kaki ke arah mata hari terbit (timur). Peserta menjalani masa ini hampai dengan hari ketuju. Ketiga, sesi mata kariya. Sesi ini merupakan sesi terakhir, yang dilaksanakan pada malam hari kedelapan.

Acara ini dimulai sore hari, diawali dengan kegiatan ritual pebhaho, yakni memandikan seluruh peserta dengan wadah air berupa buyung yang terbuat dari tanah liat (dalam bahasa Buton disebut bhosu). Khusus peserta yang akan menikah, air mandinya dicampur dengan kembang cempaka (kamboja).

Menjelang peresmian status peserta, seluruh peserta didandani dengan busana khusus gadis dewasa yang disebut ajo kalembe. Usai dandan, peserta dipandu menuju ruang peresmian yang digelar di ruang terbuka. Peresmian dilakukan salah seorang istri moji (pejabat mesjid keraton Buton. Acara ini sangat sederhana namun sakral, yakni dengan cara mengusapkan tanah atau debu pada tapak kaki kanan masing-masing peserta. Sesi ini mendai peserta posuo telah secara resmi menyandang status kalambe atau gadis dewasa secara adat.

"Inti posuo ini sebetulnya bagaimana mempersiapkan gadis memasuki kehidupan rumah tangga, setelah menikah nanti. Bagaimana melayani suami, mendidik anak, bertutur sapa, berinteraksi dengan lingkungan sosial, termasuk memelihara keutuhan rumah tangga, semua diajarkan dalam posuo itu," tutur Abu Bakar. Pendapat yang sama juga diungkapkan La Ode Mursali (48).

Menurut putra mantan khatib mesjid Keraton Buton ini, posuo merupakan sarana untuk menempa para gadis, mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga setelah
menikah kelak. (agus sana'a)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif