Pesona Wolio-Pulau Buton

Jumat, 16 November 2012

Mudik Lebaran dan Wajah Sosial Kita di Ruang Publik


Oleh : Hasmina Syarif
Kesulitan mendapatkan tiket mudik via udara pada lebaran idul fitri tahun ini tidak mengurungkan niat kami untuk berencana berlebaran di kampung halaman. Alternatif lainpun terpaksa ditempuh sekalipun menggunakan jasa transportasi kapal laut milik PT. Pelni, yang waktu tempuhnya butuh waktu lebih lama dan beresiko, lebih-lebih dalam suasana puncak arus mudik lebaran yang terkenal padat dan ramai.
Saat jadwal keberangkatan tiba dan memasuki kawasan terminal penumpang kapal laut Tanjung Priok Jakarta, apa yang diprihatinkan mulai terlihat. Kerumunan calon penumpang kapal nampak padat dan berjubel sampai memadati ruang tunggu hingga ke lahan parkir. Pintu masuk menuju kapal juga dipenuhi kerumunan penumpang yang berdesak-desakan, saling dorong bahkan tangisan anak dan jeritan perempuan sesekali terdengar dari kejauhan, nampaknya para penumpang itu saling berlombah untuk manaiki kapal hanya untuk memperebutkan tempat.

Memperkenalkan suasana laut dimalam hari kepada anak
Setelah menunggu suasana lengang lalu naik keatas kapal melalui tangga penumpang kelas, saya tercengang menyaksikan kepadatan penumpang didalamnya, lebih-lebih harus melawati dan menembus kerumunan penumpang yang padat untuk menuju ruang kamar 6020 sesuai yang tertera dalam ticket. Sejumlah penumpang kapal milik PT Pelni itu, memadati dan memenuhi sudut-sudut kapal termasuk gang way di sepanjang kamar penumpang kelas seakan daya tampung penumpang telah melebihi kapasitas angkut kapal, akibatnya suasana didalam ruang kapal menjadi panas, pengap dan jauh dari standar kenyamanan maupun keselamatan penumpang.

Ketidaknyamanan juga didapatkan diruang kelas, fasilitas kamar ada yang tidak berfungsi dengan baik seperti ; kunci locker dalam kondisi rusak, kran air dan exhaust fan tidak berfungsi secara optimal, seakan sistem inspeksi fasilitas kapal sebagai bagian dari maintenance program yang dijalankan kurang optimal.

Itulah potret minimnya sistem pelayanan transportasi laut kita  yang belum juga berubah lebih baik dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, kualitas pelayanan dan fasilitasnya masih dibawah standar dibanding negara-negara pesaing. Harus diakui bahwa pemerintah sepertinya belum serius meningkatkan sistem manajemen transportasi angkutan laut yang lebih baik ditambah dengan faktor ketidakdisiplinan penumpangnya semakin memperpanjang status minimnya pebanganan transportasi laut dinegeri ini . Rupanya keindahan dan kecanggihan kapal yang dibuat di kota Hanburg - Jerman itu, tidak mampu menghadirkan kenyamanan yang standar tanpa dibarengi dengan pelayanan dan manajemen operasional yang baik dan profesional serta tidak adanya sikap disiplin dari masyarakatnya.

KM. Lambelu
Jam telah menunjukan Pukul 05.00 pagi WIB sementara dalam ticket tercantum bahwa kapal akan berangkat pukul 03.00 WIP, ini berarti jadwal beberangkatan sudah molor hingga 2 jam. Saat baru saja selesai menuaikan shalat subuh lalu menengok kearah luar lewat jendela kamar, perlahan kapal KM Lambelu yang kami tumpangi tersebut nampaknya telah meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok untuk membawa kami sekeluarga  bersama para pemudik lebaran Idul Fitri lainnya, dengan rute pelayaran Surabaya, Makassar, Baubau, Ternate dan Bitung, lalu pulang ke Jakarta dengan jalur yang sama.

Suasana pelayaran yang tenang, angin laut yang segar dan cuaca serta ombak yang bersahabat menjadi teman selama perjalanan kami melintasi lautan luas menuju kawasan indonesia timur. Rupanya sensasi berlayar dengan kapal laut memiliki nilai tambah, disamping menyenangkan juga menjadi ajang pelajaran dan pengalaman berharga bagi putra putri saya. Selama di perjalanan mereka juga dapat mengenal laut lepas, pulau-pulau kecil, kapal nelayan, kota-kota yang menjadi persinggahan kapal, ikan terbang, bahkan beruntung sekali karena dapat melihat ikan lumba-lumba yang berenang mengikuti alur kapal, semakin menambah sensasi perjalanan laut kali ini.

Singkat cerita setelah perjalanan yang kami tempuh 3 hari - 3 malam, KM. Lambelu akhirnya memasuki teluk Baubau sebagai kota tujuan terakhir kami. Kamipun keluar dari kamar menuju anjungan kapal untuk melihat pemandangan kota berjuluk "Bolimo Karo Somanamo Lipu" itu dari atas kapal. Saat mengarahkan pandangan kedaratan, seakan disapa dengan perubahan visual penampilan kota Baubau yang mengagumkan, menawarkan keindahan, ketenangan dan keramahan yang sejak dulu telah mengakar pada karakter kehidupan kota  yang berbudaya. Nampak sesekali terlihat ikan-ikan terbang yang berenang bergerombol lalu terbang mengikuti arah kapal, seolah menyambut kedatangan kami.

Udara siang yang cerah, langit biru kota Baubau bersih dari awan berpadu dengan warna laut yang bersih kebiruan dan hembusan angin segar mampu mengusir suasana panas,  kapal KM Lambelu telah merapat dibibir dermaga Pelabuhan Murhum, segorombol buruh-buruh angkut yang berseragam, nampak berlari menaiki tangga kapal untuk berebut menawarkan jasa. Melihat padatnya penumpang yang berlomba-lomba untuk turun dari atas kapal dengan situasi berdesak-desakan, jalur pergerakan orang yang semrawut, terpaksa dengan alasan keamanan kami mengurungkan niat untuk turun lebih awal.


Antrian penumpang kapal laut di Indonesia
Dari anjungan kapal kami memantau suasana turunnya para penumpang yang mengakhiri perjalanannya di kota Baubau, dengan keheranan dan mengerikan, tiba-tiba di sapa sepasang wisatawan asing yang kebetulan kami kenal dalam perjalanan dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, mendadak muncul dan berdiri disamping kami. Turis pasangan suami istri tersebut bernama Harald seorang peneliti yang berasal dari Jerman yang juga berencana turun di pelabuhan Murhum Baubau.

Sambil melihat suasana penumpang yang turun, kami terlibat pembicaraan yang santai. Tidak lama kemudian saya melihat  mata orang asing tersebut, tiba-tiba saja diam lalu mengarahkan pandangannya  ketangga kapal, melihat pergerakan penumpang yang turun dengan suasana padat tidak beraturan, berlomba-lomba, berdesak-desakan, seakan tidak ada yang saling mengalah dan memikirkan keselamatan diri masing-masing, sungguh telah membuatnya keheranan. Buruh-buruh bagasi yang ingin naik kembali keatas kapal, memotong jalan lalu memanjat melalui tangga sambil bergantungan melintasi jalur yang berlawanan dengan penumpang yang turun untuk berusaha naik kembali  keatas kapal.

Dengan wajah keheranan spontan saja orang asing tersebut berkata ; “Saya tidak habis mengerti, mengapa orang-orang itu mesti berebut dan berdesak-desakan untuk turun dari atas kapal? Ujarnya dengan nada heran. “Bukankah kalau mereka antri akan lebih nyaman dan tertib jauh dari resiko kecelakaan”?

Belum sempat kami menjelaskan, turis tersebut lebih heran lagi ketika melihat perilaku petugas yang garang dengan mendorong kerumunan penumpang yang tidak bisa bergerak setelah melepaskan kaki dari tangga kapal, lagi-lagi turis tersebut dengan spontan mengatakan “mengapa para petugas yang berseragam itu mendorong para penumpang yang sudah turun dari tangga kapal memaksa harus berjalan ketika pergerakan para penumpang macet sementara  petugas lain malah diam saja? apa yang mereka perbuat ketika melihat suasana lintasan pergerakan yang saling berlawana arah seperti itu, seharusnya menerapakan "One Flow Movement" untuk mencapai jalan keluar dari pelabuhan dengan tertib dan lancar? Juga mengapa ada sekolompak orang  yang nampaknya penjemput harus berdiri di bibir tangga keluar, bukannya diruang tunggu yang ada.

Kami terpaksa berusaha menjelaskan, namun baginya sang turis tersebut sulit untuk memahaminya. Belum habis keheranannya, kami dibuat kaget ketika beberapa orang petugas mendorong tangga turun yang terletak kearah belakang kapal, lalu menutup pintu keluar kelas ekonomi dibagian belakang kapal tersebut. Tiba-tiba saja terdengar pemberitahuan dengan pengeras suara bahwa "kapal satu jam lagi akan berangkat" Saya juga tidak habis mengerti bagaimana mungkin pintu tangga penumpang ekonomi belakang sudah harus ditutup saat penumpang yang turun masih padat, sehingga membuat para penumpang yang turun harus menuju ke tangga turun bagian depan dan tangga penumpang kelas.

Itulah pengalaman saya ketika mendapat kritikan dari pihak lain, lebih-lebih mereka adalah pihak asing. Saya yakin apa saya alami dan kemukakan diatas, telah menibulkan banyak  pertanyaan bagi yang memahami manajemen pelayanan umum, lebih-lebih kepada mereka  yang telah berkunjung bahkan tinggal diluar negeri dimana antri, tertib, bersih, dan pelayanan umum yang menyenangkan telah membudaya.

Ada suatu suasana yang kontras, ketika kita membandingkannya dengan kepadatan orang yang melakukan ibadah shalat jum’at dan taraweh di masjid-masjid kita, dengan begitu banyak jama’ah yang keluar  setelah selesai menunaikan shalat melalui pintu mesjid dengan tertib, teratur, saling mendahulukan, dengan wajah yang bersahabat sekalipun jumlahnya juga banyak.

Pertanyaan yang muncul, apakah dinegeri ini suasana tertib itu hanya ada dilingkungan rumah ibadah ( baca: mesjid )? Sementara sebagai umat islam, kita semua mengetahui bahwa selain sebagai tempat ibadah, fungsi masjid merupakan pusat peradaban yang dipraktekan sejak zaman Rasulullah hingga sekarang. Dari sana seharusnya mengalir nilai-nilai dan perilaku mulia untuk diteruskan dan diimplementasikan di ranah kehidupan publik yang diperkuat dengan tertanamnya nilai kearifan lokal yang seharusnya dipegang teguh.

Dengan demikian kalau kebanyakan masyarakat kita yang mayoritas muslim biasa shalat berjamaah di mesjid yang mensyaratkan untuk tertib, antri, teratur dan bersih, pertanyaan yang muncul, kenapa semua itu hanya berlaku dan berhenti di mesjid ? Apakah ajaran agama hanya berlaku di ruang ibadah? bagaimana dengan ruang yang merupakan pusat-pusat keramaian publik yang ada seperti di Pelabuhan Murhum Baubau.

Bukankah ketika kita keluar dari area pelabuhan Baubau, terdapat sebuah kredo yang bertuliskan 'Bolimo Karo Somanamo Lipu" yang merupakan ikon perekat masyarakatnya untuk saling menghargai dan menjaga. Lalu apa esensi tulisan dan patung itu, kalau internalisasi nilainya hampa dan tidak terwujud dalam bentuk aplikasi dan tindakan nyata kita, untuk selalu bertindak tertib, sopan dan menghargai orang di ruang publik sekaligus sebagai identitas kebutonan yang melekat pada diri kita?.

Entah itu mesjid maupun gereja bagi umat non muslim. Bukankah salah satu fungsi sosial agama untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang berkeadaban yang bermuara dalam kehidupan kita dalam bersosialisasi dan berinteraksi di hadapan umum. Banyak pakar bahkan ahli agama yang berpendapat, bahwa untuk mengenal karakter sebuah daerah, perhatikan saja bagaimana kehidupan sosialnya terutama diruang publik dan pusat keramaian, dijalan raya maupun diacara-acara umum yang lainnya, sebagai wujud implementasi bahwa kesalehan sosial telah hadir ditengah-tengah masyarakat kita.

Antrian tertib penumpang
kapal laut  di Korea Selatan




Beberapa yang saya kenal kebetulan lama tinggal di Korea dan Jepang pernah mengatakan, betapapun padatnya station kereta, terminal bus maupun kapal yang setiap pagi dan sore dipenuhi oleh calon penumpang, kita tidak menemukan penumpang yang berdesak-desakan berebut kursi dan tempat lain, walaupun keadaannya padat tapi situasinya tetap tertib dan nyaman karena masyarakatnya memiliki disiplin tinggi taat aturan.

Kebersihan dan ketertiban terminal angkutan laut, station kereta dan terminal bus disana tak ubahnya seperti mesjid atau kantor, semua sudutnya bersih, bahkan pemerintahnya menyediakan fasilitas buat orang cacat, terutama tunanetra meski jumlahnya tidak banyak.

Dalam ruang publik itulah hasil proses pendidikan sebagai jalan terciptanya budaya akan terlihat. Bukankah nilai budaya kita yang bersumber dari ajaran islam begitu arifnya dalam konteks kehidupan sosial politik, dengan menganjurkan untuk menjaga ketertiban, kebersihan dan saling menghormati. Seharusnya prinsip nilai budaya yang kita miliki mampu melahirkan sikap dan tradisi antri, tradisi melayani dan tradisi menolong, bukannya saling berebut, menyikut dan menginjak dengan menunjukan ego masing-masing seperti pengalaman yang saya dapatkan diatas..

Wajah sejatinya sebuah tatanan dan perilaku masyarakat bukannya saja ketika berada di mesjid dan  acara ibadah yang lainnya melainkan tapi juga termasuk di ruang publik sebagai wujud interaksi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang mengedepankan etika dan moral. Begitupun di jalan raya sepanjang yang sering kita saksikan, seharusnya setiap orang menyadari bahwa ketika berhenti di jalan karena lampu "traffic light" berwarna merah, ada pesan moral agar kita menghargai orang lain yang juga sama-sama memiliki kepentingan dengan mendahulukan pejalan kaki dibanding orang yang berkenderaan.

Jadi traffic light sesungguhnya merupakan pelembagaan atau institusionalisasi pesan moral agar kita hidup tertib, teratur dan saling menghargai pihak lain. Oleh karena itu siapa yang suka melanggar lampu merah menunjukan pribadinya tidak bisa menghargai orang lain. Kalau saja ia menjadi pemimpin, maka ia suka melanggar aturan, tidak segan korupsi dan mau mengambil hak orang lain.

Dengan demikian, seharusnya pelanjaran pembentukan karakter harus dilakukan sejak dini ada pelajaran budi pekerti di sekolah dasar, anak-anak dibawah ketempat keramaian lalu dikenalkan dan dilatih untuk membiasakan antri dan menghargai orang lain. Itulah salah satu prinsip toleransi dan demokrasi dalam konteks nilai budaya kita.
Mereka disadarakan sejak dini bahwa untuk mengukur ahlak seseorang itu bukannya ketika hidup menyendiri didalam mesjid atau rumah-rumah ibadah lainnya, malainkan bagaimana hidup bermasyarakat di ruang publik untuk mempraktekan kesalehan sosial yang telah di bentuknya dari rumah ibadah, dilingkungan keluarga masing-masing maupun di sekolah. (Hs **).
 

2 komentar:

  1. Aduh Enak Bangaaaaaaaaaaat Pulkam lebaran kalau aku sih suka lebaran desak desakan seperti itu ingat zaman kuliahan dulu asiiiiiiiiik bangat malah di situlah nikmatnya pulkam, kalau kami dulu tahun 2007 pulkam lebaran,nach saat ini banyaknya pulkamnya ke Arah Sumatra Barat kami selalu Via Darat sambil menikamti 5 province, dari Jabar hinggar Sumatra Barat,yach capek juga tapi di nikmati sajalah... masaalahnya bisa mampir sambil makan Duria, he he..he..

    Ada rencana Lebaran Tahun ini mau ke Bau Bau, habis Kami semua yang laki di Rantau, sampai Adik terahir Syafaat juga Di Palembang, tgl 28-11-2012 hari rabu lusa saya juga ada ke Pertamina Prabumuli urusan kerjaan sambil ketemu
    Adik di sana sebab barusan dia Nikah di Yogya bulan Kemaren...yach itulah anak laki pada rantau......, saya lihat fotonya di Bukit dekat Waromosio bagus lho,,, selum bukit itu sebelah kiri jalan alia di Laut ada AREA kami tempat tongkrongan saya di situ. saya biasa bakar ikan di situ lho. sambil mandangin laut dan pulau makasar. Hayoooopulkam tahun ini dong bareng keluarga biar seru...he...he..

    Oh iya Tulisannya dari tahun lalu saya sering kok...di pikir pikir mestinya Jeng jadi Jurnalis saja bagus...he..he,,,he...

    Thanks
    AR

    BalasHapus
  2. Buat mengisi aktifitas sekalian berbagi informasi. Minimal sangat bermanfaat buat keluarga dan anak khususnya dalam mengenal tradisi & sejarah Buton tooh. Gimana khabarnya.

    BalasHapus

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif