Pesona Wolio-Pulau Buton

Selasa, 13 November 2012

Makna Pakaian Adat Tradisional Buton



Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, agama dan kebudayaan. Keanekaragaman inilah yang menjadi ciri khas bagi bangsa Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia ini. Salah satu unsur yang masih tetap dibina dan dilestarikan serta dikembangkan dari keanekaragaman tersebut ialah adat istiadat dan diselenggarakan oleh kelompok masyarakat adat pada suatu suku secara tradisional. Arti penting pemahaman unsur-unsur kebudayaan semacam ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai budaya apa saja yang ingin disampaikan secara langsung maupun tidak langsung baik secara sadar maupun tidak disadari telah dijadikan kerangka atau acuan pola bertindak oleh sekalian warga masyarakat pendukung budaya bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan acara tersebut pakaian adat merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari prosesi adat yang diselenggarakan. Pakaian adat yang digunakan biasanya bergantung dari jenis acara-acara adat yang diselenggarakan atau dilaksanakan. Pakaian adat yang digunakan oleh masyarakat mempunyai fungsi adat, disamping itu juga terkandung nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial, nilai-nilai agama atau kepercayaan dan lain-lain. Dalam hal ini adalah pakaian adat tradisional Buton yang dipakai oleh masyarakat baik secara perorangan maupun secara kelompok.

Bagi masyarakat kota Bau-Bau (dulu kabupaten Buton), pakaian adat tradisional mempunyai makna secara khusus. Dalam arti bahwa masyarakat yang menggunakan pakaian adat tradisional tersebut dengan ciri-ciri atau spesifikasi tertentu baik warna, bentuk, perhiasan dan jumlah aksesoris yang digunakan maupun perlengkapan lainnya adalah mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam tingkat kehidupan masyarakat Buton pada masa lampau maupun saat ini. Keberadaan pakaian adat tradisional pada suatu daerah merupakan suatu kebanggaan masyarakat itu sendiri dalam menyampaikan pesan kepada lingkungan sosial dimana dia berada secara tidak langsung.

Pakaian adat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Buton terdiri dari berbagai jenis dan fungsi yang berbeda dalam setiap penggunaannya. Pada umumnya pakaian adat tradisional yang ada lebih cenderung digunakan oleh golongan-golongan bangsawan seperti Sultan, perangkat masjid agung Keraton Buton, pegawai kesultanan dan jabatan-jabatan yang ada dalam struktur pemerintahan kesultanan Buton. Hal ini dapat dibenarkan karena secara lahiriah subyek-subyek yang dikemukakan di atas merupakan perwakilan dari perwujudan tata kehidupan sosial masyarakat suku Buton secara keseluruhan.

Namun demikian, penggunaan atau pemakaian pakaian adat tradisional adat Buton dalam berbagai kesempatan khusus hampir sebagian masyarakat sudah tidak mengetahui makna-makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton tersebut. Sebagai contoh; pemakaian pakaian pingitan atau (Posuo) bagi anak putri yang memasuki usia remaja antara lain jenis pakaian yang dipakai, aksesoris yang digunakan, perlengkapan-perlengkapan dan lain-lain sehingga apa hubungannya dengan makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional tersebut, karena hal-hal tersebut juga dilaksanakan oleh seluruh masyarakat suku Buton. Dengan kata lain apa, kenapa, dimana dan bagaimana pakaian adat tradisional tersebut digunakan.

Seiring perkembangan kehidupan dalam masyarakat saat ini penggunaan pakaian adat tradisional pada berbagai kesempatan khusus masih sering digunakan. Namun sangat disayangkan sebagian masyarakat sudah tidak lagi memahami makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional tersebut. Hal ini berarti akan mengurangi nilai-nilai keutuhan adat secara luas.

Gambaran Umum Pakaian Adat Tradisional Buton
Secara singkat, pakaian adat tradisional Buton yang sampai saat ini masih digunakan adalah sebagai berikut :
a). Pakaian anak-anak
            1. Tipolo (Pakaian putri cilik / balita)
            2. Songko Madina  (Pakaian putra cilik usia balita)
b). Pakaian Posusu (perempuan)  dan Tandaki  (laki-laki)  (Pakaian putra putri pada saat dikhitan/ sunat)
c). Pakaian Remaja
            1. Ajo Bantea (Pakaian putra)
            2. Mobawana Mantomu (pakaian putri)
d). Pakaian Kombo (Pakaian gadis) ketika baru selesai di pingit.
e). Pakaian Kalambe (Pakaian gadis yang sudah dipingit).
f). Pakaian Sio Limbona (Pakaian orang tua)
g). Pakaian Sultan dan Permaisuri
(Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bau-Bau : 2001)

Kehidupan masyarakat Buton tidak terlepas pula dari adanya stratifikasi/penggolongan kelas sosial masyarakat, yang terdiri dari:

a). Golongan Kaomu
Golongan Kaumu adalah golongan bangsawan dengan gelar La Ode bagi laki-laki dan Wa Ode  bagi perempuan. Golongan inilah yang paling berhak menduduki jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan  kesultanan Buton seperti Sultan, Imam Mesjid Agung (ulama), Khatib, Sapati, Kapitalao (panglima perang) dan lain-lain, dengan tanda-tanda kebesaran khusus baik pakaian maupun lainnya berdasarkan adat dan ketentuan yang telah disepakati bersama.

b). Golongan Walaka.
Golongan Walaka adalah golongan masyarakat biasa, atau masyarakat merdeka atau masyarakat pada umumnya. Namun golongan ini diantaranya ada yang dipilih oleh kelompok-kelompok masyarakatnya tersebut menjadi anggota adat / legislatif dalam penyelenggaraan adat. Golongan ini jugalah yang berhak memilih dan melantik calon sultan Buton pada saatnya.

c). Golongan Papara
Golongan masyarakat ini sebenarnya tidak ada dalam masyarakat Buton, hanya saja dipakainya istilah ini karena terjadinya sistem perbudakan atau pengasingan politik oleh kesultanan Buton pada masa lampau. Tetapi sesungguhnya tidak pernah terjadi sistem perbudakan dalam masyarakat atau kesultanan Buton sendiri. Perbudakan hanya dilakukan oleh para penjajah kolonial Belanda.

  
      Jenis dan Makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional Buton
      Pakaian adat tradisional yang ada pada suatu daerah umumnya juga digunakan oleh hampir setiap orang yang berada pada suatu daerah adat tertentu, terlepas dari stratifikasi sosial yang ada. Namun demikian pada penggunaan pakaian adat tradisional tersebut biasanya ada saja sesuatu hal yang membedakan status sosial penggunanya, apakah golongan bangsawan kedudukannya ataukah masyarakat biasa. Salah satu contoh pemakaian pakaian adat tradisional oleh masyarakat yaitu pakaian pengantin.

Dalam tradisi masyarakat Buton yang masih terikat erat dengan sistem adat yang berlaku, penggunaan atau pemakaian pakaian adat tradisional juga digunakan oleh seluruh masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang masih berhubungan dengan adat. Hanya saja pengguna pakaian adat tersebut dapat dengan mudah diketahui kedudukan sosialnya berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Buton yang telah dikemukakan sebelumnya.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber atas beberapa pertanyaan yang diajukan maka dapat diperoleh data-data mengenai makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton.

     1.  Pakaian Balahadada
Pakaian Balahadada merupakan pakaian kebesaran bagi seorang laki-laki suku Buton baik bagi seorang bangsawan maupun bukan bangsawan. Hal ini disebabkan karena pada masa lampau pakaian ini merupakan pakaian para pejabat-pejabat kesultanan Buton. Pakaian ini juga, pada masa masih jayanya masa pemerintahan kesultanan Buton yang berakhir pada sultan ke 38  La Ode Muhammad Falihi Isa Qaimuddin (Oputa Moko Baadianai) hingga tahun 1963 adalah digunakan oleh pejabat dari golongan bangsawan (La Ode) yang dilkengkapi dengan berbagai macam kelengkapan pakaian baik untuk jabatan Lakina, Bobato, Bonto Ogena, Kapitalao, Syahabandara, dan jabatan-jabatan lain yang khusus dijabat oleh golongan bangsawan.

Pakaian Balahadada dapat diartikan sebagai pakaian belah dada. Dikatakan demikian karena pakaian tersebut tidak memiliki kancing sehingga sipemakai dapat terlihat dadanya. Pakaian ini baik dari kepala sampai pada kaki terdiri dari :

(1) Destar
Dalam bahasa Wolio (Buton) destar dikenal dengan nama Kampurui. Kampurui  terdiri dari beberapa jenis antara lain Kampurui  Bewe Patawala, Kampurui  Bewe Palangi, Kampurui  Tumpa dan Kampurui  Bewe Poporoki berdasarkan bentuk dan warnanya. Keempat Kampurui ini pada bahagian sekelilingnya dijahitkan benang emas atau perak yang disebut ”Jai” atau ”Pasamani”.

(2) Baju
Baju yang digunakan adalah baju Balahadada yang bahan dasarnya sesuai dengan aslinya terbuat dari beludru berwarna hitam. Sekujur bagian baju dipenuhi dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari emas atau perak. Hiasannya merupakan bundaran-bundaran kecil yang bertaburan secara teratur dan dinamakan sebagai Buka-Buka. Pada pinggiran baju terdapat hiasan Pasamani. Pada leher baju hiasan Pasamani lebih besar dan mencolok dan ditempelkan Ake yang terbuat dari emas atau perak. Pada masing-masing belahan belahan dada baju dilekatkan sebuah Ake besar yang berpangkal dari bawah leher baju langsung turun sampai perut baju. Di atas Ake baik yang ada pada leher maupun belahan dada, disebelah kanan masing-masing dilekatkan enam sampai tujuh buah kancing kerucut segi lima pada ujung kengan baju yang hanya berfungsi sebagai hiasan.

(3) Celana
Celana yang digunakan disebut dengan Sala Arabu atau dapat diartikan sebagai celana panjang Arab. Warna dan motif yang terdapat pada celana Sala Arabu ini sama dengan motif yang ada pada baju Balahadada. Pada bagian kaki celana terdapat belahan sedikit, pada pinggir belahan ini dilekatkan pula masing-masing tujuah buah kancing.

(4) Sarung
Disamping memakai celana, pakaian Balahadada juga dilengkapi oleh sarung Samasili Kumbaea, yaitu berdasar warna hitam serta motif kotak-kotak putih. Benang putih yang dijadikan kotak-kotak tersebut adalah benang perak yang dalam bahasa Buton disebut sebagai Kumbaea.

(5) Ikat Pinggang
Ikat pinggang dalam bahasa Buton disebut sebagai Sulepe. Ikat pinggang yang digunakan dalam pakaian Balahadada terbuat dari kain warna hitam dengan kepala ikat pinggang terbuat dari emas atau perak. Bentuk kepala ikat pinggang lonjong telur atau empat persegi panjang dengan ukiran kalimat Tauhid dan motif bunga-bunga dengan nama bunga Rongo pada sekeliling pinggirnya. Ikat pinggang ini dikenakan pada bagian atas baju dengan sebelumnya pada bagian bawah baju dilekatkan sarung.

(6) Keris
Keris dalam bahasa Buton disebut sebagai Tobo (baca: Tobho) atau Puu Salaka atau Puu Taga bergantung dari asal bahan hulu keris.

(7) Bia Ogena
Bia Ogena berarti sarung besar. Tetapi bukan bentuknya yang besar tetapi lebih merupakan sebagai sarung kebesaran yang hanya digunakan oleh pejabat atau anak keturunan bangsawan (La Ode). Bentuk Bia Ogena lebih cenderung menyerupai selendang yang terbuat dari kain sutera berwarna polos dan tidak berjahit. Pemakaiannya dililitkan pada pinggang sedang kedua bagian ujungnya terselip pada hulu keris. Bia Ogena dihiasi pula oleh Pasamani diseluruh pinggirannya.   

MAKNA:
“Destar atau Kampurui  dalam bahasa Buton berarti ikat kepala. Yang mengandung makna kebesaran.kampurui bagi seorang pejabat kesultanan buton sangatlah penting. ini dikaitkan dengan kebijakan atau keputusan yang diambil berhubungan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang ditandai dengan adanya tundu  pada bahagian tengah lilitan Kampurui yang bermakana sebagai penjelmaan dari matahari yang berarti memberikan pencerahan. 

Balahadada adalah baju yang tidak memiliki kancing yang mengandung arti sebagai perlambangan  keterbukaan sikap pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat. Baju balahadada memiliki dasar warna hitam yang mengandung arti kebenaran yang tak dapat diubah-ubah, warna putih yang ditampilkan pada hiasan-hiasannya mengandung kesucian.

Bia Ogena pada baju Balahadada bermakna kebesaran dan keagungan. Tetapi dibalut oleh ikat pinggang (Sulepe) bertuliskan kalimat Tauhid sebagai perlambangan dari pengukuhan atau pengikat hukum agama dan adat yang harus ditaati oleh orang Buton. Keris yang diselipkan pada bahagian pinggang memiliki makna sebagai perlambangan keberanian yang dibalut dengan sikap lembut dan bijaksana . Akhirnya celana Sala Arabu memiliki makna filosofis yang sama dengan baju Balahadada”.

Balahadada adalah baju dengan dasar warna hitam yang memiliki makna sebagai perlambangan keterbukaan sikap seorang pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikutip dari hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak La Ode Zaady mengenai baju Balahadada.  

Kampurui melambangkan kebesaran, kebaikan, kebijakan, kebenaran, ketepatan, kelembutan (fleksibilitas dalam hal tertentu) yang dipancarkan oleh seorang sultan atau stafnya dalam menangani urusan pemerintahan dan untuk kemaslahatan/kesejahteraan masyarakat Buton pada masa lampau. Ini dapat dilihat dari bentuk Kampurui  yang diikat sedemikian rupa sehinga tampak seperti memancarkan cahaya.

Baju Balahadada warna aslinya hitam kalau ada warna lain pada baju Balahadada maka hanya untuk memberikan variasi warna dan sama sekali tidak mengurangi makna yang terdapat di dalamnya.

Balahadada ini terdiri dari satu pasang (baju dan celana) dengan warna dan motif yang sama pula. Belahan baju menandakan sikap keterbukaan pemakainya dalam bermusyawarah untuk mencapai mufakat dengan dasar hukum adat maupun agama demi kepentingan bersama.

Keris adalah lambang kejantanan tetapi digunakan secara bijak dan sesuai fungsinya (waktu dan tempat) jika tidak maka keris lebih bermakna sebagai kelembutan sikap pemakainya dimana hal ini sesuai dengan yang terdapat pada hulu keris. Sulepe sebagai pengikat, atau pengukuh aturan-aturan adat artinya bahwa orang yang memakainya harus dikukuhkan dengan ajaran maupun aturan agama islam”.

Kampurui yang digunakan sebagai penutup kepala/ikat kepala bagi masyarakat Buton mengandung lambang kebesaran. Dimana kepala adalah bagian teratas dari badan manusia yang dipandang sebagai penjelmaan dari lapisan langit yang dipancarkan keseluruh alam jagad raya. Kiranya Kampurui  ini dapat disamakan dengan nimbus, prabha, aureul seperti yang terdapat pada lukisan-lukisan orang suci atau lukisan-lukisan pada patung dengan lingkaran cahaya di bagian kepala.

Baju Balahadada dari warnanya yang hitam mengandung arti ketegasan sikap dalam setiap pengambilan keputusan, sedang sarung Bia Ogena dan keris adalah perlambangan sikap kebesaran dan keagungan serta keberanian pemakainya tetapi tetap pada ikatan aturan-aturan adat yang berpangkal pada ajaran agama islam sehingga digunakan secara bijaksana. Sedang motif dan berbagai hiasan lainnya lebih merupakan penambah keindahan dari tampilan pakaian tersebut.

Kesimpulan makna yang terdapat pada pakaian Balahadada ini adalah terlepas dari status kebangsawan masyarakat Buton baik golongan Kaomu (La Ode / (Wa Ode) maupun golongan Walaka (Pejabat Penyelenggara Adat dan masyarakat Buton secara umum) karena kenyataan pada saat ini bahwa semua unsur-unsur tradisional (adat, pakaian dan lainnya) sudah digunakan secara keseluruhan oleh masyarakat. Hanya saja dalam pemakaiannya tentu saja masih terdapat perbedaan-perbedaan antara golongan bangsawan maupun bukan bangsawan khususnya pada kelengkapan-kelengkapan pakaian. Karena sampai saat ini masyarakat Buton baik yang berada di daerah maupun di luar daerah masih memegang teguh sistem peradatannya.

     2.  Pakaian Ajo Bantea
Ajo Bantea merupakan pengertian dari pakaian yang indah-indah. Pakaian ini hanya terdiri dari celana panjang (Sala Arabu) dan tindak menggunakan baju. Ajo Bantea adalah pakaian yang dikenakan oleh anak-anak atau lebih disebut sebagai Pakeana Mangaanaana yang belum menduduki jabatan khusus dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton. Pakaian ini dilengkapi pula dengan berbagai kelengkapan seperti Kampurui Bewe Patawala atau Kampurui Tumpa atau Kampurui  Palangi yang dikenakan bersama Lepi-Lepi, Keris, sarung Samasili Kumbaea atau Bia Ibeloki , dan Bia Ogena.

Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Ajo Bantea berikut ini adalah kutipan wawancara yang dilakukan dengan para budayawan Buton :

Pakaian Ajo Bantea juga disebut sebagai pakeana manganaana. Pakaian ini dipakai oleh anak laki-laki yang belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Pakaian ini tidak memakai baju (bertelanjang dada), hanya terdiri dari ikat kepala (Kampurui  Bewe Patawala atau Bewe Palangi atau Kampurui  Tumpa), Bia Ogena, Bia Samasili Kumbaea, Keris dan Celana panjang (Sala Arabu). Makna yang terkadung dari masing-masing tersebut di atas adalah sama dengan makna yang terkandung pada pakaian Balahadada.

Ajo Bantea memiliki pengertian yang berbeda yaitu; Ajo adalah mengenakan, memakai, menggunakan dan sejenisnya, sedang Bantea adalah barak atau tempat berkumpul untuk melakukan musyawarah.yang kemudian digunakan oleh para anak dari golongan bangsawan untuk belajar, bermain, berkumpul dan sebagainya dengan masyarakat.”

Dengan kata lain pakaian Ajo Bantea memiliki makna bahwa sifat keterbukaan dan kesederhanaan para anak golongan bangsawan untuk berkumpul bersama dengan masyarakat untuk melakukan berbagai hal secara bersama dengan tidak memandang status sosialnya masing-masing.

Sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady tentang pakaian Ajo Bantea Berikut ini kutipan hasil wawancara dengan bapak  Hazirun Kudus mengenai baju Ajo Bantea.

Ajo Bantea dalam bahasa Buton disebut dengan Pakeana Manga Anaana atau dapat diartikan sebagai pakaian para anak khususnya dari golongan bangsawan. Untuk diketahui bahwa pakaian ini tidak mengenakan baju layaknya pakaian lain tetapi hanya menggunakan celana panjang (Sala Arabu), sedang kelengkapan pakaian ini terdiri dari Kampurui , Bia Ogena, Bia Samasili Kumbaea, dan Keris. Makna yang terkandung pada masing-masing kelengkapan ini adalah sama halnya dengan makna yang terdapat pada pakaian Balahadada. Sedang makna secara keseluruhan dari pakaian Ajo Bantea ini adalah adanya sifat keterbukaan dan kesederhanaan yang ditunjukkan para anak golongan bangsawan (La Ode) kepada masyarakat dengan mengaplikasikannya dengan terlibat secara langsung kedalam berbagai kegiatan kemasyarakatan”.

Ajo Bantea merupakan pakaian yang indah-indah yang khusus digunakan oleh anak golongan bangsawan yang belum menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan kesultanan Buton masa lampau. Pakaian Ajo Bantea ini dilengkapi oleh beberapa kelengkapan yang terdiri dari Kampurui  (destar/ikat kepala) yang dibentuk sedemikian rupa yang melambangkan kebesaran dan keagungan sipemakai sebagai seorang pemimpin dan juga bermakna bahwa Ajo Bantea ini adalah memiliki makna adanya keterbukaan baik sikap maupun sifat untuk bermusyarawarah dan menerima hal-hal yang belum diketahuinya atau juga adanya sikap tegas seorang calon pemimpin Buton namun tetapi tidak dikhilafkan oleh kedudukan tersebut karena terikat sebuah ikat pinggang yang bertuliskan kalimat Tauhid yang berarti adanya ikatan atau pengukuhan adat berdasarkan ajaran agama dalam berkehidupan sehari-hari dan mau menerima keberadaan masyarakat umum lainnya sebagai satu kesatuan alam semesta  yang telah diciptakan oleh Allah SWT.   

    3.  Pakaian Ajo Tandaki
Ajo Tandaki adalah pakaian yang hanya terdiri dari selembar kain besar (Bia Ibeloki) dan berwarna hitam yang hanya dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya. Pada permukaan pakaian Ajo Tandaki dilekatkan manik-manik motif ukiran bunga Rongo secara beraturan, sedang pada sekeliling pinggiran kain dijahitkan Pasamani atau hiasan yang terbuat dari benang emas atau perak.

Pakaian ini dapat digunakan pada saat seorang anak akan diislamkan (disunat) atau bahkan seseorang yang akan menikah duduk sebagai mempelai pria. Pakaian ini sangat mirip dengan pakaian ihram jemaah haji hanya yang berbeda adalah warnanya.

Kelengkapan pakaian terdiri dari Tandaki  (semacam mahkota) yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan berbagai hiasan dan aneka rupa sehingga tampak sebagai suatu lambang kebesaran pemakainya. Ikat pinggang yang diukir dengan kalimat Tauhid dan sebilah keris. 

Kekhususan baju ini terdapat pada Tandaki  sebagai mahkota yang digunakan sekaligus sebagai penyebutan nama baju tersebut. Tandaki  terbuat dari kain merah, manik-manik, bulu burung cenderawasih yang putih, benang-benang sutra merah dan berbagai macam hiasan yang terbuat dari perak, tembaga bahkan emas.

Berikut ini kutipan hasil wawancara mengenai makna yang terdapat pada pakaian AjoTandaki :

Ajo Tandaki adalah pakaian kebesaran anak bangsawan yang juga boleh dikenakan oleh masyarakat biasa pada saat menyelenggarakan acara adat khususnya prosesi sunatan (pengislaman). Pakaian ini sengaja dibuat sedemikian rupa dengan warnanya yang hitam dikandung maksud bahwa pada saat anak disunat, maka darah yang keluar dapat berkamuflase dengan warna kain sehingga tidak menimbulkan perasaan ngeri atau takut pada anak-anak tersebut.

Disamping itu Ajo Tandaki juga memiliki arti keterbukaan, kesederhanaan golongan Kaomu dalam berpenampilan adalah sesuatu yang harus diutamakan sehingga tidak menimbulkan berbagai fitnah dalam masyarakat.

Mahkota Tandaki  sendiri merupakan perlambangan dari keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi dengan hati tulus ikhlas. Hal ini nampak pada jumbai yang turun dari kepala langsung ke dada yang berarti diserapkan kedalam kalbu. Keris yang terselip dipinggang adalah suatu lambang keberanian untuk membela hak berdasarkan adat dan agama dan Sulepe (ikat pinggang) adalah sebagai pengukuh berdasarkan ajaran agama dari pengertian-pengertian yang telah saya jelaskan”.

Ajo Tandaki adalah pakaian yang digunakan oleh para anak bangsawan yang memiliki arti keterbukaan,kesederhanaan golongan kaomu (golongan bangsawan) dalam hal berpenampilan dan menerima ajaran-ajaran dari orang tua tentang aturan-aturan yang berlaku di kesultanan Buton dan ajaran agama.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh bapak  La Ode Zaady dalam kutipan wawancara mengenai  Ajo Tandaki.

Tandaki  terdiri dari dua unsur yaitu Tandaki  sebagai mahkota dan Tandaki  sebagai pakaian. Tandaki  sebagai mahkota adalah wujud kebesaran, keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi yang dilaksanakan dengan hati tulus ikhlas. Sedangkan Tandaki  sebagai pakaian adalah lambang keterbukaan, kebersahajaan, kesederhanaan dan sejenisnya oleh golongan bangsawan.

Kain yang digunakan sebagai baju dalam pakaian Ajo Tandaki ini adalah Bia Ibeloki yang dapat kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu sarung yang dililitkan kesekujur tubuh.

Makna dari keris yang digunakan adalah lambang keberanian untuk membela hak dan kewajiban dan ikat pinggang atau Sulepe adalah sebagai pengukuh ikatan adat yang berlandaskan ajaran agama. Ajo Tandaki secara umum digunakan pada saat anak akan di islamkan/disunat. Dengan warna hitam yang dimilikinya paling tidak akan mengurangi rasa takut dan ngeri anak pada saat darahnya keluar. Itulah sebabnya Ajo Tandaki digunakan pada saat anak akan disunat.

Berdasarkan kutipan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa AjoTandaki adalah pakaian yang hanya terdiri dari mahkota dan selembar kain lebar/besar yang disebut sebagai Bia Ibeloki dan berwarna hitam dengan dilekatkan manik-manik yang dijahit secara teratur. Tandaki  sebagai mahkota memiliki makna kebesaran, keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi dilaksanakan dengan hati tulus dan ikhlas oleh pemakainya sedang bajunya adalah perlambangan sifat keterbukaan dan kesederhanaan kaum golongan bangsawan yang ditunjukkan kepada masyarakat sebagai contoh teladan dengan tidak membanggakan dirinya.

Selain makna di atas, pakaian ini juga mengandung arti ketenteraman. Yang dimaksudkan ketenteraman dalam hal ini adalah kurangnya rasa takut anak pada saat di sunat akibat yang dikeluarkan sehingga kalaupun darah merembes kepermukaan kain maka darah tersebut akan  tertutupi oleh warna hitam kain.

     4.  Baju Kombo
Baju Kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita Buton. Bahan dasar baju adalah kain satin dengan warna dasar putih, penuh dihiasi dengan manik-manik, benang-benang berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas atau benang perak serta berbagai ragam hiasan yang terbuat dari emas, perak maupun kuningan.

Pakaian ini terdiri dari satu pasang, bagian atasan adalah baju dengan bawahan sarung yang disebut Bia Ogena (sarung besar). Bia Ogena adalah sarung yang terdiri dari gabungan beberapa macam warna polos seperti merah, hitam, hijau, kuning, biru dan putih dan dijahit secara bertingkat-tingkat.

Pada permukaan baju dijahitkan rangkaian manik-manik dengan formasi belah ketupat. Pada setiap petak-petak belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau kuningan dengan motif Tawana Kapa (daun kapas) dan pada ujung daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga yang berdiri tegak.

Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara mengenai makna yang terdapat pada baju Kombo:

Makna yang terdapat pada baju Kombo adalah sebagai berikut : (1) Dasar warna baju adalah putih yang melambangkan kesucian, kepolosan wanita Buton, (2) Bunga-bunga yang tumbuh tegak pada ujung Tawana Kapa adalah melambangkan harapan-harapan atas kebaikan, kesuburan, kesejahteraan, kelapangan dan hal-hal yang memiliki pengertian yang sama pada saat ia menjadi mempelai wanita dikemudian hari untuk membangun satu keluarga yang madani, (3) Perhiasan yang digunakan khususnya gelang tangan sebagai pertanda bahwa wanita Buton selalu taat dan patuh pada ikatan sistem peradatan dan ajaran agama yang dilingkarkan pada pergelangan tangannya, (4) Punto,berwarna dasar hitam yang dimaksudkan untuk melindungi rembesan darah haid wanita jika sedang dating bulan sehingga dapat tersamarkan, (5) Bia Ogena atau sarung yang dijahit secara bertingkat-tingkat adalah menunjukkan alam kejadian manusia dan jagad raya.

......Selanjutnya warna-warna tersebut bagi masyarakat Buton memiliki makna. Sebagai contoh warna biru bagi masyarakat Buton adalah lambang ketaatan dan kepatuhannya terhadap berbagai hal utamanya hukum adat dan agama yang harus selalu dikuti dan dijaga secara terus menerus”.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak hazirun kudus mengenai baju kombo maka hal ini sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady.  

Baju Kombo syarat akan makna. warna dasar baju adalah warna putih yang melambangkan kesucian, kedamaian dan sejenisnya. Pada  permukaan baju dijahitkan manik-manik (Tawana Kapa) yang beraneka rupa,dimana pada bagian ujung Tawana Kapa dijahitkan pula masing-masing sebuah hiasan bunga-bunga yang disebut sebagai bunga Rongo. Bunga inilah yang kemudian melambang keinginan-keinginan atau harapan-harapan wanita Buton untuk kehidupan masa depannya dalam upaya membentuk suatu keluarga.

Gelang yang berjumlah masing-masing empat buah pada tangan kanan dan kiri merupakan arti dari bahwa wanita Buton dalam semua aspek kehidupannya telah diikat oleh adanya hukum adat dan agama yang harus selalu menjadi sandaran dalam berkehidupan dengan lingkungannya.

Bia Ogena yang terdiri dari beberapa warna yang dijahit menjadi sebuah sarung merupakan lambang  proses kejadian alam dan manusia. sesuai dengan kepercayaan agama masyarakat Buton.Yang dijahit secara  bersusun, pertama adalah warna hitam. Warna ini khususnya pada Punto atau sarung hias yang berfungsi untuk mencegah merembesnya darah haid wanita pada saat datang bulan sehingga tidak terlalu nampak. Selanjutnya warna kuning. Warna kuning ini dimaksudkan sama, yaitu apabila darah telah merembes dari Punto maka darah tadi masih dapat pula disamarkan oleh warna kuning. Susunan kain ini sampai kebawah akan berfungsi sama dengan warna kuning dan hitam”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa baju Kombo pada prinsipnya mengandung arti adanya harapan-harapan kebaikan atas segala kebaikan dalam berkehidupan, disamping itu juga baju ini mempunyai makna yaitu warna dasar baju yang putih merupakan lambang  kesucian wanita Buton untuk selalu dijaga. Sedang kain berwarna yang dijahit secara bersusun disebut sebagai Lonjo. Lonjo dijahit secara bersusun bukan tanpa maksud tetapi dikandung maksud apabila rembesan darah haid tersebut telah menembus Punto, maka selanjutnya darah tersebut dapat pula tersamarkan oleh warna hijau atau kuning sampai pada bagian bawah susunan kain yang berwarna merah. Lonjo juga berarti susun atau tata. Lonjo ini diatur tiga susun warna yang menandakan bahwa di Buton terdapat 3 golongan masyarakat yaitu Kaomu, Walaka dan Papara. Dari sudut pandang islam Buton, Lonjo bermakna hubungan yang harus dijalani oleh manusia yaitu (1) Hubungan manusia dengan Tuhan/Hablum minallah, (2) Hubungan antar sesama manusia/Hablum Minannas, dan (3) Hubungan manusia dengan alam.mengandung dua makna yaitu makna lahir dan makna batin. Makna lahir adalah bahwa warna-warna yang  digunakan tersebut digunakan sebagai pencegah rembesan darah haid wanita agar tidak tampak pada saat wanita yang bersangkutan berada di keramaian, atau juga berfungsi sebagai sarung kebesaran wanita Buton itu sendiri. Makna batin yaitu adanya kaitan antara pemahaman atas pengertian warna terhadap proses kejadian alam dan manusia begitu juga dengan kepercayaan beragama masyarakat Buton dulu maupun sekarang. Seperti contoh gambar berikut (Gambar 4).

     5.  Baju Kaboroko
Kaboroko  berarti krah (leher) dikatakan demikian karena baju ini agak berbeda dengan jenis baju Buton lainnya, dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai dengan adanya berbagai macam hiasan dan aksesoris yang dilekatkan padanya. Terdapat empat buah kancing logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada lengan baju. Kancing-kancing itu tidak berfungsi sebagaimana lazimnya kacing baju, namun hanya merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam berwarna putih sedangkan lapisan luas (atas) sarung warna dasar hitam dengan corak garis-garis. Sarung tersebut disebut sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia Itanu. Pada sanggulnya diikatkan potongan-potongan yang digulung dari kain yang berwarna putih dan kuning.

Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Kaboroko  ini berikut akan disajikan kutipan hasil wawancara :

Kaboroko  berarti baju berkerah atau memiliki kerah. Penggunaan baju Kaboroko bagi wanita Buton adalah pada saat-saat diadakannya upacara adat (khususnya golongan Walaka/golongan tengah/ bukan La Ode/Wa Ode).

Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang digunakan oleh bangsawan maupun bukan bangsawan. Pemakaian kain sarung yang dipakai secara berlapis-lapis ini dimaksudkan bahwa orang yang memakainya adalah para ibu rumah tangga yang telah memiliki anak keturunan sehingga bermakna telah mempunyai tanggung jawab yang harus selalu dijaga dan dilindunginya yang ditandai dengan penggunaan selendang yang dililitkan pada sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.

Tetapi jika ia masih gadis, Kaboroko digunakan tidak dengan berlapis-lapis kain sarung, hanya satu buah sarung saja yang sekaligus berfungsi sebagai rok”.

Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun Kudus sama halya dengan pengertian dari bapak  La Ode Zaady, berikut kutipan hasil wawancaranya .

Kaboroko adalah salah satu baju adat yang digunakan oleh para wanita Buton. Baju ini terdiri dari satu lembar baju dan tiga lapis kain sarung yang dipergunakan secara bersamaan dengan lapisan paling bawah adalah kain sarung yang berwarna putih, lapisan kedua adalah Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah kain lebar yang lebih mirip selendang dan dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya dengan cara bagian ujung kain sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke dalam.

Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang oleh para ibu pada baju Kaboroko . Antara lain warna Biru adalah bagi para ibu yang telah memiliki anak lebih dari satu orang, warna merah atau hitam bagi ibu yang baru mempunyai satu anak dan warna kuning adalah bagi para janda. Sedang maknanya adalah melindungi hak dan kewajiban pribadi maupun anggota keluarga dari segala hal yang dapat membahayakan kehidupannya, begitu juga tanggung jawab akan melindungi adat dan ajaran agama demi tercapainya keselamatan dan kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara”.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa baju Kaboroko mempunyai makna bahwa seorang wanita harus melaksanakan hak dan kewajibannya dalam melindungi diri dan anggota keluarganya dari segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan, adat dan ajaran agama. Sedang perbedaan warna yang terdapat pada selendang yang digunakan lebih cenderung kepada makna bahwa perbedaan jumlah  anak yang telah dimiliki.

     6.  Baju Kambowa
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian adat Buton yang digunakan oleh para ibu, gadis maupun anak-anak dalam berbagai kesempatan adat bahkan dapat pula berfungsi sebagai pakaian hari-hari pada masa lampau. Baju terdiri dari satu buah baju berwarna polos (kuning, biru, hijau, ungu) begitu juga sarung yang digunakan. Baju ini berbentuk ponco dan tidak memiliki kerah baju. Lengan baju hanya sampai pada bawah siku dengan bahan satin.

Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini digunakan pula kain sarung yang terdiri dari tiga lapis layaknya yang digunakan pada baju Kaboroko , sedang yang bukan bangsawan hanya menggunakan satu lapis sarung yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea.

Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam baju Kambowa ini dapat dilihat pada kutipan hasil wawancara sebagai berikut :

leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai aturan adat dan agama yang harus dipatuhi dan dijalankan sepenuh hati demi kebaikannya sendiri”.

baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai ajaran adat dan agama yang harus dilindunginya atau dapat saya katakan bahwa makna yang terdapat pada baju Kambowa ini adalah sama dengan makna yang terkandung dalam baju Kaboroko ”.

“untuk memudahkan adik mengartikan makna yang terdapat pada baju Kambowa maka makna apa yang terdapat pada baju Kaboroko  itulah juga makna baju Kambowa”.

“baju Kambowa memiliki makna yang sama dengan baju Kaboroko ” (Wawancara; La Ode Zaady, September 2006).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa makna yang terdapat pada baju Kambowa adalah sama dengan makna yang terdapat pada baju Kaboroko . Namun demikian menurut para informan ada beberapa perbedaan kecil tentang makna antara baju Kambowa dengan baju Kaboroko.

     7.  Baju perangkat adat (Pakeana Syara)
Pakaian disebut demikian karena pakaian ini digunakan oleh para perangkat adat agama masjid agung Keraton Buton, Sultan dan Perangkat adat lainnya. Perbedaan makna akan ditemukan pada pakaian yang digunakan oleh perangkat masjid agung Keraton dengan Sultan dan pejabat dalam pemerintahan kesultanan Buton.

Pakaian ini adalah jenis pakaian jubah lengan panjang dengan motif  tenunan tradisional Buton. Motif ini adalah garis-garis yang membujur dan melingkar. Motif membujur pada baju sedang melingkar pada lengan baju. Makna yang terdapat di dalamnya adalah sebagai berikut :   

perbedaan motif yang terdapat pada pakaian perangkat adat adalah besar kecilnya tanggung jawab pada masing-masing bidang kerja”.

Pakaian sarana hukum atau perangkat adat adalah pakaian yang hanya digunakan oleh perangkat masjid agung keraton dengan Sultan dan pejabat dalam pemerintahan Kesultanan Buton dengan ciri yang spesifik yaitu penggunaan motif garis-garis yang besar untuk sara ogena,sedang untuk sara kidina menggunakan motif garis-garis kecil.hal ini berkaitan debngan besar kecilnya tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masung sara.

Perbedaannya terletak pada motif garis baju. Jika perangkat masjid agung Keraton Buton mempunyai motif garis yang lebih kecil, maka Sara Ogena memiliki motif garis yang lebih besar. Garis kecil berarti terbatasnya bidang kerja sedangkan motif besar adaah luasnya bidang kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Motif melingkar pada lengan baju bermakna bahwa pemakai dilingkari oleh berbagai aturan atau hukum-hukum adat dan agama dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing anggota kedua syara ini dalam menjalankan tugasnya dilengkapi pula dengan tongkat jabatan (Katuko)”.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa motif garis pada baju yang kemudian berbeda dalam ukurannya (besar-kecilnya garis) bermakna besar kecilnya pula masing-masing bidang pekerjaan atau tugas yang dijalankan. Sedang garis melingkar pada lengan menandakan bahwa pemakainya atau pejabat syara yang bersangkutan diikat / dilingkari oleh aturan atau hukum adat dan agama yang harus dipatuhi dalam menjalankan tugasnya.

Warna-Warna Yang Digunakan Pada Pakaian Adat Tradisional Buton
Pakaian tradisional Buton agak berbeda dengan pakaian adat tradisional daerah lain. Paling tidak hal ini ditunjukkan dari penggunaan warna-warna tertentu dalam pakaian adat tradisional buton itu sendiri yang hanya terdiri dari enam macam warna yaitu Hitam, Merah, Kuning, Biru, Hijau, Putih dan Ungu.

Pada pakaian adat tradisional Buton masing-masing pakaian umumnya menggunakan jenis warna dan motif hiasan yang sama pada baju dan celana. Kalaupun terdapat perbedaan warna itu terjadi pada kelengkapan pakaian seperti sarung ataupun lainnya yang bukan merupakan komponen dari baju dan celana.

Berikut adalah kutipan wawancara mengenai makna yang terkadung dalam warna-warna yang digunakan pada pakaian adat tradisional Buton :

Di Buton warna yang digunakan terdiri dari beberapa macam dan sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur yang ada pada manusia. Pertama adalah Merah, yang bermakna keberanian dan juga darah. Ini diwujudkan pada pakaian atau kelengkapan yang digunakan. Sebagai contoh, Destar (Kampurui ) ikat kepala, hanya digunakan oleh panglima perang yang disebut dengan Kapitalao….yang berarti keberanian yang dimiliki seorang panglima perang dalam melindungi sultan dan pembelaan terhadap ajaran agama maupun adat yang berlaku di kesultanan Buton (Ya katakan Ya dan Tidak katakan Tidak). Hitam, yang bermakna kedalaman pemahaman atau kebijakan atau ketetapan hati dalam memutuskan berbagai ketentuan dalam kehidupan masyarakat. Putih, melambangkan kesucian dan ketulusan dalam bersikap maupun beribadah kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Artinya jika menggunakan warna ini maka pada hakikatnya adalah wujud kertaatan seluruh komponen masyarakat dan lainnya kepada sultan sebagai khalifah atau pembimbing dalam berbagai aspek kehidupan. Hijau, warna ini digunakan karena melambangkan kedewasaan sikap yang harus dimiliki setiap manusia. Kuning, yang bermakna adanya kemandirian dalam menjalankan ajaran-ajaran agama islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa warna-warna yang digunakan dalam pakaian adat tradisional Buton hanya terdiri dari warna hitam, merah, kuning, biru, hijau dan ungu. Umumnya baju dan celana pakaian adat tradisional buton terdiri dari warna dan motif yang sama. Warna-warna ini ternyata mengandung beberapa arti bagi masyarakat Buton antara lain yang berhubungan proses kejadian alam dan manusia, serta arti yang menunjukkan sikap masyarakat Buton itu sendiri serta menyatakan bahwa di Buton terdapat penggolongan masyarakat.

Aksesoris
Disamping sebagai penambah keindahan dalam berpenampilan, aksesoris yang digunakan dalam pakaian adat tradisional Buton disamping berfungsi sebagai pelengkap, juga menjadi simbol kebesaran dari masing-masing jenis pakaian adat Buton yang digunakan. Aksesoris ini umumnya terdiri dari pengikat kepala, anting-anting, akaluing, gelang tangan, cincin dan sebagainya.

Pada pakaian adat tradisional Buton terdapat beberapa jenis aksesoris begitu juga makna yang terkandung di dalamnya antara lain sebagai berikut :

(1) Panto
Panto adalah salah satu jenis aksesoris sekaligus sebagai penghias ikat rambut wanita dalam setiap kali menggunakan pakaian Buton. Bahnnya terbuat dari kain yang diberi hiasan-hiasan motif bunga dengan berbagai macam warna.

(2) Dali-Dali
Dali-Dali dalam bahasa Indonesia adalah anting-anting. Anting-anting umumnya terbuat dari emas, perak. Namun saat ini anting-anting yang digunakan dalam pemakaian pakaian adat tradisional Buton dalam berbagai kesempatan khusus umumnya terbuat dari kuningan karena hanya berfungsi sebagai kelengkapan adat saja.

(3) Giwang / kalung
Giwang atau kalung dalam bahasa Buton disebut sebagai Giwa (baca; giwva) terbuat dari emas, perak tau kuningan.

(4) Cincin
Cincin dalam bahasa Buton disebut sebagai Singkaru. Singkaru yang dimaksud adalah cincin yang berbentuk bulat. Sedang dalam masyarakat Buton terdapat salah satu jenis cincin yang bentuknya memanjang dan dipasangkan pada ibu jari pemakainya dan disebut sebagai Korokoronjo. Korokoronjo ini biasanya digunakan oleh wanita pada saat ia melaksanakan adat Posuo (pingitan) dan perkawinan.

(5) Punto
Punto disamping digunakan sebagai kelengkapan dalam berpakaian Kombo juga berfungsi sebagai sarung hias bagi pemakainya dengan dasar warna hitam dan motif Tawana Kapa yang dilekatkan pada pemukaan Punto tersebut, dan banyak ditaburi oleh berbagai manik-manik sehingga nampak indah terlihat.

(6) Kampurui
Kampurui adalah jenis ikat hiasan pria yang berfungsi sebagai pengikat kepala. Kampurui ini dalam masyarakat Buton dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Pertama, Kampurui Bewe Patawala, digunakan oleh para pejabat kesultanan Buton. Kedua, Kampuri Palangi. Digunakan oleh para pejabat maupun sultan Buton sebagai kelengkapan kebesaran. Ketiga, Kampurui Tumpa, Kampurui ini boleh dikatakan menyerupai bentuk Kampurui Bewe Patawala yang terdiri dari dua warna dengan hiasan Pasamani (benang-benang emas atau perak) pada sekeliling pinggirannya. Keempat, Bewe Poporoki, digunakan oleh para pejabat khususnya yang berhubungna dengan adat dan ajaran agama islam.

(7) Sulepe
Sulepe diartikan sebagai ikat pinggang. Berfungsi sebagai penahan / pengikat baju atau celana pada bagian pinggang yang sekaligus mengandung makna bahwa pengukuh atau pengikat adat dan ajaran-ajaran agama. Penjelasan lihat pada poin (5) pakaian baju Balahadada. (Gambar Terlampir)

Makna yang ada pada aksesoris ini adalah sebagai penghias atau penambah penampilan agar lebih indah namun seperti ikat kepala, gelang tangan dan ikat pinggang menandakan bahwa wanita Buton dalam menjalankan kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat dan agama yang harus dipatuhinya dan dijalankan dengan hati ikhlas, kampurui merupakan kelengkapan pakaian kebesaran para pria Buton”.

Dapat disimpulkan bahwa aksesoris yang digunakan pada pakaian adat tradisional Buton disamping berfungsi sebagai penambah penampilan atau kelengkapan kebesaran dalam berpakaian juga mengandung makna yang intinya menjelaskan tentang proses kejadian alam semesta dan manusia dan atau sebagai pengukuh ikatan adat dan ajaran agama masyarakat suku Buton dalam berkehidupan.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif