Pesona Wolio-Pulau Buton

Kamis, 13 September 2012

Mengobati Kerinduan Terhadap Makanan Khas Tradisional Buton di Pesta Adat “Pekande-kandea”.

Oleh : Hasmina Syarif 

Kerinduan untuk mencicipi kembali makanan khas tradisional Pulau Buton - Sulawesi Tenggara dimana tempat  saya berasal , kini terkabul sudah setelah  dalam kurun  kurang lebih dari 5 tahun hampir tidak pernah melihat lansung dan merasakan lagi kelezatan makanan khas tradisional kesukaan saya.

Kerinduan itu terasa tuntas dan terobati pascamudik lebaran pada pertenganhan bulan Agustus sampai awal September 2012 lalu, karena berkat undangan dan ajakan keluarga, teman maupun kenalan, kami
sempat meluangkan waktu untuk menghadiri acara tradisi pesta "pekande-kandea" yang biasanya dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri di hampir seluruh pelosok Pulau Buton yang merupakan eks kesultanan Buton..

Dalam acara tersebut bisanya banyak menyajikan makanan khas tradisional Buton secara lenkap, yang jarang ditemukan pada hari-hari biasa bahkan merupakan makanan langka, lebih-lebih  bagi kami yang bermukim di daerah rantau seperti Jakarta. 

Nggak kuat

Karena faktor keterbatasan waktu, maka kami hanya menyempatkan diri menghadiri acara tradisi turun temurun tersebut dibeberapa tempat yang mudah kami jangkau, antara lain pekande-kandea yang bertempat di Desa Baruta dan Desa Tolandona yang kerap kali dikenal sebagai acara “Bhongkaana Tao” atau “Pembukaan Tahun” dan selain itu kami juga sempat menghadiri acara pekande-kandea yang diadakan Pemda Kota Baubau saat menjamu raja-raja serta sultan di seluruh nusantara yang ikut hadir bertepatan dengan penyelenggraan Festifal Keraton Nusantara VIII (FKN) tahun 2012, yang bertempat dipelataran kantor walikota Baubau, Palagimata.

Pekande-kandea dalam tradisi masyarakat Buton berarti “makan-makan”, sebagai warisan leluhur suku Buton yang sudah berlansung berabad-abad yang awalnya dimaknai sebagai acara tradisi syukuran kepada sang pencipta atas keberhasilan aktifitas masyarakatnya khususnya dalam bertani dan menangkap ikan. 


Seiring dengan perkembangan zaman hingga saat ini, sebagai wujud dalam mempertahankan tradisi leluhur maka makna dari nilai-nilai dalam acara pekande-kandea tersebut telah bergeser ke hal-hal yang berdimensi sosial lebih luas, dimensi religius sebagai masyarakat yang meyakini penciptannya, hiburan masyarakat, termasuk sebagai simbol yang berhubungan dengan keberhasilan/pencapaian tahunan dalam siklus kehidupan masyarakat dalam menyikapi perkembangan daerahnya.

Pekande-kandea juga dapat dimaknai sebagai ajang silaturahmi untuk memupuk rasa kebersamaan lintas masyarakatnya maupun antara pemimpin dengan masyarakatnya serta mereka-meraka yang merantau yang kebetulan pulang kampung bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Fitri.

Dalam prosesi acara pekande-kandea berawal dari seluruh warga berkumpul di satu lapangan terbuka atau digedung besar yang luas untuk menikmati berbagai hidangan makanan tradisional yang digelar di atas tikar. Penyedian makanan yang disuguhkan berasal dari setiap anggota keluarga sebagai wujud keterlibatan nyata setiap warga komunitas kampung/desa. Demikian juga dalam acara pekande-kandea yang diselenggarakan untuk menyambut tamu oleh pemda Baubau menjelang FKN VIII, penyediaan makanan disediakan pihak kelurahan/kecamata/ instansi pemerintaha maupun sekolah-sekolah yang ada di Kota Baubau..

Aneka macam makanan khas daerah diletakan diatas talang berkaki yang terbuat dari logam (kuningan) dan diisi berbagai macam makanan khas daerah seperti lapa-lapa (beras dimasak/dikukus dengan santan lalu dibungkus dengan janur), lauk pauk ( ayam masak kelapa, ikan kadhole, ikan parende dll.), serta aneka macam kue tradisonal seperti cucur, palaiya, epu-epu (gorengan adonan beras ketan di campur gula merah/gula aren ), onde-onde, bharuasa (adonan tepung yang disangrai di campur telur) , bolu dan aneka kue lainnya yang rata-rata manis serta dilengkapi dengan makanan ringan (penganan).

Pada setiap talang makanan yang disediakan dijaga oleh gadis-gadis cantik yang mengenakan pakaian adat Buton, yang berwarna warni dengan bercirikan aneka hiasan, manik-manik yang indah dipandang mata bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Para pengunjung yang datang menghadiri acara tersebut berasal dari semua lapisan, dimulai dari pemimpin daerah, para pejabat tinggi daerah bersama jajarannya, camat, kepala desa, tokoh masyarakat maupun rakyat biasa yang mau menyempatkan diri untuk hadir (he he he..mumpung gratis kaliiiii)

Para tamu dari beberapa lapisan masyarakat dan golongan yang mengikuti prosesi acara pekande-kandea, sebagian terlihat sedang dilayani makan oleh gadis gadis penjaga masing-masing talang yang sudah tersedia. Situasi ini tentunya semakin menambah semangat dan selerah makan setiap orang yang terlibat dalam prosesi acara tersebut sekaligus menambah semaraknya acara adat yang selama ini sering dinantikan warga.

Bapak Bupati Kab Buton (ujung) beserta jajarannya
Dalam kesempatan mengikuti acara pekande-kandea yang terletak didaerah kabupaten Buton tepatnya di Desa Baruta dan Tolandona acara dihadiri oleh bapak Bupati Buton yang baru saja terpilih untuk periode 2012-2017 bapak Umar Samiun SH.  Dalam acara tersebut bapak bupati sempat memberikan pidato yang dalam pandangan kami sebagai pihak yang berasal dari luar sistem sangat terkesan positif dalam memotifasi masyarakatnya.

 Dalam pidatonya bapak bupati menyebutkan paska prosesi pilkada Buton 2012 yang sangat meletihkan, dimana setiap orang masih terikat secara emosional dengan partai atau golongannya, marilah kita kembali bersatu padu dengan menaggalkan simbol golongan maupun partai yang ada untuk bersama-sama membangun Kabupaten Buton yang kita cintai. 

Minta dibungkus..doong.
Beliau menyadarinya bahwa sebagai Bupati Buton yang baru terpilih, tidak ada pilihan lain kecuali harus kembali  memposisikan diri untuk menjadi pemimpin setiap golongan yang ada di wilayah Kabupaten Buton dalam konteks memaksimalkan pencapaian pembangunan yang dicanangkan selama Kabupaten Buton dibawah kepemimpinannya.

Setelah menyampaikan pidatonya bapak bupati Buton beserta rombongan ikut menikmati sajian makanan tradisonal yang dikenal akan kelezatannya tersebut yang kontan saja menjadi pusat perhatian masyarakat yang menghadiri event acara tahunan yang sering ditungu-tunguh dan sungguh sangat meriah itu.

Pekande kandea di Palagimata.
Dalam acara penuh hikmat, meriah, sekali sekali diselingi dengan canda dan tawa tersebut, saya bersama keluarga juga tidak ketinggalan ikut menyantap makanan tradisonal khas daerah dengan berbagai macam alternatif pilihan sesuai selerah dan rasa, dengan duduk bersila, sambil melihat salah satu anggota kelaurga yang menatap makanan dengan mata berbinar-binar melihat sederatan makanan yang jarang dilihatnya. Pemandangan tersebut semakin memicu semangat makan saya yang didorong  rasa dendam karena berjumpa makanan yang selama ini menjadi kesukaan saya tiba-tiba muncul dihadapan kami.

Keikutsertaan kami sekelaurga dalam acara pekande kandea kali ini, patut disyukuri karena merupakan salah satu cara yang efektif dalam upaya memperkenalkan makanan tradisional khas daerah asal, kepada anak-anak kami sebagai wujud dalam usaha mencintai daerah asal.

Kami menyadari betul, sebagai keluarga rantau yang bermukim di kota metropolitan seperti Jakarta, menjamurnya tempat makan maupun restoran-restoran berasal dari luar negeri yang menjual makanan-makanan asing mendorong anak-anak cenderung hanya mengenal makanan-makanan asing cepat saji. Sungguh sangat memperhatikan kalau meraka lebih mengenal pizza, hot dog, ayam kentucky, dunkin donat dan spagheti dll, dibanding makanan tradisional daerah dimana kedua orang tuanya berasal seperti "lapa-lapa", "ikan kadole", "parende", "cucur", "baruasa", "palaiya" dll., yang juga sebagai makanan tradisional leluhurnya.

Jika ini dibiarkan malah pada akhirnya membuat “asing" makanan tradisional atau makanan asli daerah dimata anak-anak kita.  Ini jelas-jelas sangat memprihatinkan saya sebagai ibu dari anak-anak saya yang selalu berharap dan menghimbau meraka agar selalu menghargai tradisi  leluhur.

Yang patut dijaga dalam melestarikan tradisi pekande-kandea, jangan sampai dimensi religius dan sosialnyanya hilang, ditambah pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang kuat, maka pesta rakyat mungkin seke­dar kegembiraan yang meninabobokan masyarakatnya. Artinya, pesta rakyat itu tidak lagi menjadi sarana “pencerahan” untuk memajukan kehidupan komunitas masyarakat maupun memajukan pembangunan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif