Pesona Wolio-Pulau Buton

Senin, 30 Juli 2012

Mengintip Pemikiran Bung Karno Membangun Landmark di Indonesia (Part1)


Ketika kita mendengar kata julukan putra sang fajar, singa podium dan pemimpin besar revolusi, ingatan kita pasti hanya tertuju kepada Bung Karno. Selain julukan-julukan tadi, Bung Karno juga diujuluki dengan “Manusia besar dengan gagasan besar”. Ciri-ciri dan kriteria manusia besar pada Bung Karno terlihat dari peninggalannya yang kekal. Ideologi Pancasila, Marhaenisme, Semangat Nasionalisme serta peninggalan dan karya besar Bung Karno (Bangunan-bangunan hasil karya seni dan arsitektur) masih bisa rasakan dan lihat hingga saat ini. Dia tidak hanya tokoh berskala nasional, akan tetapi dia masuk jajaran tokoh internasional yang berpengaruh.

Semasa berkuasa, banyak cerita tentang pembangunan bangunan-bangunan mercusuar yang dilakukan oleh Bung Karno. Pembangunan bangunan-bangunan itu tidak hanya berlandaskan keinginan ego pribadi semata tetapi semua pembangunan itu punya makna. Bangunan-bangunan yang dibangun itu tidak hanya sebagai output karya seni dan arsitektur semata, tetapi bangunan tersebut merupakan simbol-simbol jati diri bangsa, politik internasional, kepribadian bangsa dan bangsa Indonesia itu sendiri.

ImageCoba kita lihat pembangunan Gelora Bung Karno, kompleks olah raga bertaraf internasional ini didirikan atas gagasan Bung Karno yang memberikan perhatian besar kepada olahraga sebagai bagian penting dari kehidupan dan kebudayaan bangsa dan gagasannya tentang olahraga yang tidak bisa dipisahkan dari politik (politik internasional) yang dia katakan berkali-kali di dalam pidatonya. Pada tahun 1950, Bung Karno mempunyai gagasan untuk membangun stadion raksasa bagi bangsa. Pada waktu itu, ketika berbicara dengan perdana menteri Uni Soviet, Nikita Krushchev, yang berkunjung ke Indonesia Bung Karno mengatakan bahwa dia menginginkan didirikan sebuah stadion besar, megah dan bisa menjadi kebanggaan seluruh bangsa sampai ratusan tahun. 

Seiring dengan gagasan Bung Karno tersebut, penyelesaian kompleks Gelora Bung Karno adalah sebuah jawaban kesiapan Bung Karno atas tantangan menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dan sikap politik internasional Bung Karno (Indonesia) dengan pelaksanaan GANEFO (Games of The New Emerging Forces). GANEFO merupakan gagasan pesta olahraga tandingan olimpiade yang digagas oleh Bung Karno sebagai simbol perlawanan dan sikap politik Indonesia karena Indonesia diskors dalam olimpiade Tokyo tahun 1964. Latar belakang Indonesia diskors tersebut disebabkan oleh pelarangan Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games 1962 di Indonesia. Sikap pelarangan ini diambil Bung Karno untuk melaksanakan strategi politik internasional Indonesia kepada RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan menunjukkan rasa simpati bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat-rakyat Arab melawan Israel.

Selain Gelora Bung Karno, dikawasan yang sama Bung Karno juga memiliki gagasan membangun gedung CONEFO. Megawati pernah berkisah bahwa waktu itu di kediaman Bung Karno kedatangan tamu seorang arsitek dan insinyur muda bangsa kala itu, Ir Sutami yang mengutarakan permasalahan kesulitan teknis pembangunan gedung CONEFO (sekarang menjadi gedung DPR/MPR) yang diperuntukkan untuk tempat pelasanaan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) yang akan diadakan tahun 1966. Ide dan rancangan awal bangunan megah itu digagas oleh Bung Karno yang juga seorang arsitek jebolan Technische Hoge School (THS) Bandung, sekarang  Institut Teknologi Bandung (ITB). Bung Karno lalu memberikan motivasi pada Ir Sutami, anak muda negeri ini harus bisa mewujudkan gagasan-gagasan besar. Bung Karno saja bisa untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa ini yang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun sebuah gedung. Akhirnya, Ir Sutami pulang dan kemudian berdaya upaya dengan segenap kemampuan dan kepercayaan diri yang utuh untuk menyelesaikan pembangunan gedung land mark kebanggan bangsa Indonesia.

ImagePembangunan gedung conefo (Conference of The New Emerging Forces) ini dilatarbelakangi oleh gagasan Bung Karno tentang hakikat non-blok yang memiliki filosofi tinggi. Bung karno menginginkan Indonesia dan Conefo menjadi salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan. Gagasan Bung Karno ini juga bagian dari penerjemahan cita-cita kemerdekan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD45. Pada saat meyakinkan pembangunan gedung ini Bung Karno mengatakan “Gedungnya tidak selesai tidak jadi apa. Asal conefonya berjalan terus. Sebab bagiku, Conefo adalah sesuatu yang vital. Jikalau kita benar-benar setia kepada deklarasi kemerdekaan kita, jikalau kita benar-benar setia kepada apa yang tertulis di dalam pembukaan UUD kita, UUD45 yang selalu kita katakan harus kita junjung setinggi-tingginya, maka kita mengerti bahwa Conference of the New Emerging Forces adalah perlu”.

Selain penerjemahaan cita-cita kemerdaan Indonesia, gagasan Bung Karno untuk melaksanaan Conefo bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia pantas menjadi pusat dunia keempat yang pantas diperhitungkan setelah blok barat, blok timur dan RRC yang diramalan Bung Karno menjadi pusat ketiga. Hal ini terlihat pada pandangan seorang diplomat, Ganis Harsono, tentang kebijakan sukarno menyelenggarakan Ganefo dan Conefo dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali karangan Asvi Warman Adam. Brigjen Sabur, komandan cakrabirawa, menjelaskan kepada ganis, “Beliau (maksudnya Presiden Sukarno) ingin memperlihatkan kepada tamunya bahwa jakarta memang pantas menjadi pusat yang keempat dari dunia”
*****
ImagePeradaban bangsa, salah satu bentuknya diwujudkan dalam bangunan bersejarah. Jika pada masa lalu sejarah peradaban nusantara meninggalkan maha karya candi Borobudur dan Prambanan, maka bangsa Indonesia yang Merdeka haruslah mempunyai simbol peradabannya sendiri. Untuk itu Bung Karno membangun Tugu Monumen Nasional (Monas) yang megah untuk mengenang perjuangan bangsa ini melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme dan juga untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pada 29 Juli 1963 dalam pidatonya, Bung Karno mengatakam “Kita membangun Tugu Nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap, seluruh Bangsa Indonesia membantu pembangunan tugu nasional itu”.  

Dalam naskah pidato saat pembukaan jalan silang Monumen Nasional, 16 Agustus 1964, Soekarno megatakan, “Seluruh rakjat Indonesia jang djiwanja, hatinja, rochnja, kalbunja, harus mendjulang tinggi ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini”.  Daniel Dhakidae dalam bukunya cendikiawan dan kekuasaan dalam orde baru, mengatakan bahwa Bung Karno sangat sungguh-sungguh merencanakan pembangunan monumen ini yang katanya harus “mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, melambangkan api yang berkobar, bersifat dinamis dan memberikan kesan bergerak.

Pembangunan tugu monumen nasional ini bertujuan agar bangsa Indonesia tidak pernah lupa akan patriotisme dan perjuangan para pahlawannya untuk mencapai Indonesia Merdeka dimana tonggak-tonggak sejarah bangsa Indonesia terihat pada 51 diorama dalam museum serta memberikan makna agar bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah padam atau surut sepanjang masa seperti dilambangkan oleh “api yang tak kunjung padam” di puncak togu monumen nasional tersebut.
ImageMasjid Istiqlal adalah mesjid terbesar se asia tenggara dan mesjid yang sebagai simbol kebanggaan umat Islam Indonesia dibangun sebagai land mark spiritual bangsa Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Masjid istiqlal merupakan simbol ungkapan dan wujud rasa syukur bangsa Indonesia kepada Allah SWT atas kemerdekaan yang telah diberikan dan dianugerahkan olehNya. Istidlal dibangun diatas tanah yang menjadi basis kekuatan kolonial, van den bosch defensie linie, maka nama yang diberikan Bung Karno, Istiqlal, yang berarti merdeka, menjadi lengkap, merdeka diatas pusat kekuatan militer kolonial dan merdeka diatas tanah sendiri. 

Menurut roso daras dalam tulisannya, pada saat menentukan tempat pembangunan Bung Karno bersikukuh mendirikan mesjid ini di atas taman Wilhelmina, sebab ratu wihelmina sebagai representasi penjajahan di bumi Indonesia dan menurut Bung Karno harus dihancurkan, dimusnahkan dan diganti mesjid bernama “kebebasan”, Istiqlal. Makna pembangunan mesjid istiqlal tidak hanya itu. Roso daras dalam tulisannya menyatakan bahwa pembangunan mesjid di arsiteki oleh Frederich Silaban, seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara dan lokasi yang terletak di seberang lapangan Banteng itu, dipilih karena berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal. 

Dalam proses pembangunan mesjid istiqlal Bung Karno pernah berkata “Jika Candi Borobudur yang dibangun leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa tahan ratusan tahun, maka saya ingin Masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan tahun, tetapi ribuan tahun!” begitu tekad Bung Karno, seraya melanjutkan, “agar kelak anak-cucu kita paham, bahwa Presiden Indonesia yang pertama sangat mencintai Islam.” (tempo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif