Pesona Wolio-Pulau Buton

Jumat, 20 Juli 2012

Puasa Tergerus Pesta

Apakah hakikat puasa itu? Puasa adalah sarana bagi manusia untuk berlatih mengendalikan hawa nafsu. Sayang, semangat itu kian lama kian tergerus gaya hidup yang justru mendorong orang untuk memperturutkan hawa nafsu.
KH Mustofa Bisri, pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, menjelaskan, dalam puasa, manusia dididik untuk bisa melawan musuh yang paling besar, yaitu diri sendiri. Dengan puasa, kita dilatih menahan makan. Rasa lapar dalam puasa mendidik kita untuk tidak egois.
”Kita disuruh mencoba merasakan rasa lapar saudara kita yang miskin. Itu latihan kepekaan sosial,” ujarnya.


Saat puasa, kita memiliki waktu untuk berdialog dengan diri sendiri. Kita diberi kesempatan untuk mengevaluasi perbuatan, keimanan, serta peradaban kita selama ini. ”Setelah Ramadhan, kita diharapkan memperoleh jawaban-jawaban atas hasil evaluasi tadi. Apakah kita sudah menjadi orang yang bertakwa dan mawas diri,” katanya.
Penulis asal Banyumas, Jateng, Ahmad Tohari, memandang puasa sebagai laku prihatin untuk mencapai keselarasan dengan Tuhan. Semua harus dikendalikan terutama emosi, nafsu, dan keinginan.
”Karena puasa adalah laku keprihatinan, maka selama berpuasa kita harus mengedepankan kesederhanaan. Sikap bermewah-mewahan justru bertentangan dengan semangat berpuasa sebab sikap itu justru memperturutkan hawa nafsu dan keinginan kita,” ujarnya.


Tergerus
Sayangnya, spiritualitas puasa yang digambarkan Ahmad dan Mustofa sekarang bergeser seiring dengan menguatnya cengkeraman kapitalisme dan maraknya teknologi komunikasi. Puasa dan Lebaran kini cenderung menjadi peristiwa bisnis.
”Sekarang kita selalu diiming-iming indahnya berbuka puasa dengan makanan yang dijual di mal. Kita disodori sensasi berlebaran dengan mobil dan handphone baru,” ujar Ahmad.
Pengamat sosial keagamaan dan Dewan Ahli Nurcholis Madjid Society, Yudi Latif, mencatat, dulu, kemeriahan di bulan puasa masih dalam satu tarikan napas dengan gairah keagamaan. Di desa-desa, kemeriahan tradisi memukul beduk berjalan seiring dengan kegairahan mereka datang ke masjid untuk shalat dan mengaji.

Sekarang, hubungan antara kemeriahan dan gairah keagamaan terputus. Kemeriahan puasa mengalami proses pendangkalan luar biasa, bahkan hilang ditelan perayaan konsumerisme.
Yudi berpendapat, kondisi ini merupakan efek dari teknologi komunikasi. Televisi memberi efek penjadwalan ulang kegiatan masyarakat. ”Dulu sehabis maghrib orang ke masjid untuk shalat isya dan tarawih. Sekarang orang memilih nonton acara televisi dulu,” katanya.
Selain itu, televisi menjadikan agama sebagai komoditas yang dikemas dalam paket hiburan. Jangan heran, jika di televisi bermunculan ustadz-ustadz instan yang lebih menonjolkan daya tarik ketimbang kedalaman.
Zainal Abidin Bagir, Direktur Eksekutif Center for Religious and Cross-cultural Studies, sepakat bahwa bulan puasa sudah dieksploitasi secara besar-besaran oleh dunia bisnis, antara lain, lewat tayangan televisi. ”Kita dimanjakan dengan tayangan televisi yang secara serentak berubah menjadi lebih ’islami’. Bahkan, gosip pun menjadi ’islami’,” ujarnya.

Apa akibat semua ini? Puasa kehilangan aspek spiritualitasnya. Puasa menjadi sekadar ritual tahunan. ”Puasa seperti hanya mengubah jadwal makan. Makan siang jadi makan malam. Makan siang jadi makan dini hari,” tukas Mustofa.
Begitulah. Komodifikasi, menurut Yudi, menjadi satu dari dua ancaman terbesar dalam religiusitas masa kini. Satunya lagi adalah politisasi agama dalam bentuk yang sangat norak, yakni perusakan atas nama agama.
Keduanya, kata Yudi, berjalan beriringan dan memiliki fokus yang sama hanya ekspresinya berbeda. Keduanya sama-sama fokus dalam melihat nilai guna agama, bukan dimensi rohaniah agama.
Bagaimana mengantisipasi kedua ancaman ini? Mustofa menasihati, ”Janganlah terlalu mencintai dunia agar kita tidak lupa Tuhan…. Urip neng alam dunyo mung mampir ngombi, toh hidup di dunia hanya seka dar mampir minum. Semua serba selintas.” (BSW/IAM/MH, Sumber: Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif