Pesona Wolio-Pulau Buton

Selasa, 24 April 2012

Membangun Optimisme Kebutonan.

By : Hasmina Syarif
Ditengah hingar bingarnya diskusi tentang pembangunan Buton menyongsong masa dapan yang dilakoni beberapa generasi Buton yang sangat antusias dengan semangat yang tinggi dibeberapa group diskusi yang ada di media Facebook, kita banyak menemukan munculnya ide-ide dan pikiran cerdas dari berbagai aspek keilmuan, mulai dari yang berstatus dosen, mahasiswa, aparat pemerintahan, pelajar, bahkan para professional asal Buton yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Eksistensi mereka seakan menggambarakan potensi yang menjanjikan bahwa ketersedian sumberdaya manusia yang dimiliki daerah sebagai potensi kekuatan kolektif dalam menghadapi tantangan pembangunan yang penuh persaingan baik sekarang maupun dimasa yang akan datang. 

Untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi dalam menemukan masa depan daerah yang lebih baik, nurani kita terkadang membisikan sesuatu dan bertanya, apakah pemerintah daerah selaku pemegang kekuasaan yang memiliki otorisasi penuh sebagai pengemban amanat rakyat dan pengambil keputusan yg terkait dengan pembangunan di Bumi Bolimo Karo Somano Lipu itu, memiliki konsep dan arahan yang jelas, diawali pola pikir (mindset) yang tepat, memiliki greget, rasa memiliki (sense of belonging), keperdulian, bahkan merespon pikiran positif yang konstrukif dari manapun datangnnya sebagai masukan yang potensial untuk memaksimalkan target pencapainnya?. Apakah  mereka yg tengah berkuasa dan memperoleh gaji dari jabatannya, justru tengah sibuk memikirkan nasib dirinya dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara untuk memperkaya diri dan sibuk mencari pencitraan lalu membuat kalkulasi selanjutnya bagaimana melanggengkan kekuasaan di tengah derita rakyat kita yang berkepanjangan. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, jangan-jangan forum diskusi yang dilakukan anak-anak daerah selama ini,  gaungnya hanya sebatas lingkungan dimana diskusi tersebut dilakukan dan hanya diteriakan ataupun didengarkan oleh orang-orang yang sama.

Ketika muncul pemikiran demikian, seharusnya kita segera meralat dan menghibur diri dengan pemikiran positif bahwa berbuat kebaikan sekecil apapun, harus dilandasi keihlasan  tanpa mengharapkan balasan dan pujian. Tidak usah menganggap diri baik dan menjelekan yang lain, menganggap diri lebih pintar dan orang lain bodoh, kalaupun mengeluarkan kritik hendaknya dilakukan dengan santun, tulus dan sampai sasaran dalam konteks falsafah persatuan yang kita miliki yaitu "poromu yinda saangu pogaa yinda kolota".

Kita harus tetap optimis, semoga pikiran-pikiran cerdas yg keluar dari hati kita yang tulus dengan dilandasi nilai-nilai kearifan lokal, dapat menjelma sebagai pilar kekuatan & kepintaran kolektif kedaerahan kita, sembari kita berharap akan berkembang lalu memiliki sayap serta kaki untuk menyapa masyarakat luas, menyebarkan penyadaran kolektif di bumi eks-kerajaan buton yang tercinta. Jika semua kekuatan sosial yang ada mampu membangun sinergi dengan mengedepankan visi-misi dan nilai dan agenda utama daerah sebagai acuan pokok, bukannya dengan semangat saling menjegal dan menjatuhkan maka pemilihan pemimpin kali ini akan merupakan tonggak momentum kebangkitan kebutonan yang berwujud sebuah prestasi dan loncatan dalam aspek politik yang dahsyat.

Kekayaan yang dimilki daerah kita dalam wujud “Endowment” baik modal fisik berupa kekayaan alamnya maupun modal sosial dalam wujud keunggulan nilai leluhur dari Allah Swt, haruslah disyukuri dan disikapi dalam wujud implementasi yang nyata (real), dengan selalu konsisten berada dilintasan “nilai kebutonan” yang berorientasi pada kemakmuran kesejahteraan rakyat dengan identitas yang kebutonan  akan maju dan bermartabat menatap masa depannya kalau langkah awal (start-up) pola pikir dan pemahaman kita, diawali dengan mencangkokkan pendekatan nilai filosofi yang kita miliki seperti Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalepe Lipu(Memperbaiki diri sebelum memperbaiki Kampung ) sebagai prinsip nilai-nilai kearifan local yang seharusnya di junjung tinggi.

Kalimat sederhana yang bersumber dari nilai leluhur diatas, mengingatkan saya kepada seseorang teman dekat yang banyak memahami konsep nilai budaya strategis bangsa Jepang, dengan mengatakan bahwa nilai spirit diatas, memiliki kesamaan dengan strategi “Perbaikan Berkesinambungan " ala bangsa Jepang dengan menekankan penahaman ke masyarakatnya untuk selalu melakukan perbaikan sekcil apapun perbaikan itu. Konsep perbaikan ini telah mendunia yang dikenal dengan  filosofi “Kaizen (Continuous Improvement). Filosofi kaizen juga mengajarkan bahwa dalam membangun sesuatu karus diawali dengan mempersiapkan manusia-manusia yang memiliki ketrampilan, kejujuran dan integritas yang tinggi sebagai pemahaman dari simbol nilai yang mereka fahami yaitu “Create People Before Create Product”. Kedahsyatan pendekatan ini telah menjadi salah satu kunci kesuksesan negeri sakura itu sehingga mampu bangkit melaui persaingan untuk menjadi bangsa yang maju.

Timbul pertanyaan, apakah hal diatas mengindikasikan bahwa filosofi  perbaikan orang yang dimiliki dan  tertuang dalam falsafah hidup orang Buton sudah ada sebelum konsep Kaizen itu ada. Jawabannya sangat fariatif tentunya, tapi dalam kontek melihat kesubtansi pencapaian dalam konteks membangun negri, secara faktual pendekatan filosofi „Kaizen“ sebagai warisan nilai yang dimiliki bangsa Jepang telah membuktikan konstribusinya untuk mensejahterakan rakyatnya. Sementara wujud implementasi dari nilai filosifi "Pekalapepo Karota Sebelumna Tapekalape Lipu" , hilang dan lenyap hampir tidak berbekas karena terlindas roda penuaan dunia politik yang menghalalkan segala macam cara dengan tidak menempatkan nilai kearifan lokal sebagai fondasi koko untuk berpijak dalam menopang kekuatan pembangunan.

Melihat Fenomena yang ada didepan kita, mungkin para leluhur akan meneteskan airmata  dengan penuh penyesalan, karena melihat generasi Buton sekarang ini banyak yang menikung, menghianati, mengabaikan, merusak, menjegal cita-cita mulia mereka melalui pandangan-pandangan dan agenda pendek dengan membajak instrumen-instrumen daerah untuk kepentingan pribadinya. Banyak yang berebut untuk duduk  dalam posisi strategis pemerintahan dan jabatan politik tapi agenda yang dominan hanya kepentingan politik jangka pendek untuk diri, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana mungkin Buton akan menemukan masa depannya, jikalau sepintas sistem demokrasi pemeilihan pemimpin kita dalam pilkada sekarang ini telah berubah seperti pasar, dimana seorang dihargai karena duitnya sehingga pada kenyataannya yang menang bukanlah moralitas dan gagasan serta program yang jelas dan cerdas, malainkan siapa yang punya sumber dana yang besar dan berlimpah.

Siapa yang salah dari semua ini, tentunya semua adalah kesalahan kita sebagai rakyat dan pemerintahnya. Kita butuh proses transformasi yang berlandaskan nilai budaya kita sebagai inspirasi, penumbuh semangat dan fondasi yang kokoh, dan ini hanya mampu diperankan seorang pemimpin yang berkarekter yang strategi kepemimpinannya selalu mempertimbangkan keputusan yang berdimensi kulturanl dan dibangun diatas kepercarayaan yang tinggi. Semoga kedepan masyarakat Buton semakin kritis, sadar dan memegang prinsip moral dan nilai untuk tidak memilih pemimpin dan wakil rakyat yang miskin kompetensi, moral serta membeli suara dengan uang. Proses transisi yang diperlukan diharapkan semoga mendewasakan kita untuk selalu melakukan perbaikan sekecil apapun, yang penting dilakukan secara berkesinambungan.

Perubahan dari suatu orde haus kekuasaan untuk kembali ke orde pembangunan yang berbasis nilai, tidak semudah membalikan telapak tangan. Mengapa? Dalam ukuran sejarah, sebagaimana negara maju seperti Korea Selatan yang periode “Star Up” pembangunannya, paska kemerdekaan dari penjajahan Jepang memiliki kesamaan dengan negara kita yang merdeka pada bulan dan tahun yang sama, negara ginseng ini butuh waktu satu genarasi yaitu 20 – 25 tahun dengan pendekatan strategi pembangunan yang berbasisi nilai dan berkelanjutan “Sustainable”, bahkan negara ginsen in berhasil menggiring budaya mereka menjadi "budaya unggul"   yang selalu haus akan prestasi (need for Achievement) tanpa kehilangan jati diri bangsa bangsa "Hanguk". Korea Selatan juga telah membuka mata kita dengan membuktikan bahwa bukanlah sumber daya alam semata yang menjadi modal utama pembangunan tetapi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitaslah yang membawa mereka duduk dan berdiri sejajar dengan negara-negara industri utama didunia.

Dibutuhkan kepemimpinan yang tangguh yang berbasis nilai, komitmen, konsistensi, kekuatan fisik dan kesadaran para elite serta kesadaran sosial masyarakat Buton yg bermodalkan napas  panjang untuk siap berlari jarak jauh selama satu generasi. Kemudian Buton memerlukan “mind set & visi” bersama, diikuti dengan kesiapan berkorban untuk mewujudkannya, melalui strategi sosialisasi kesadaran kolektif yang effective dan berkesinambungan. Perubahan "mind set"  untuk menjadi "manusia Buton yang maju"  secara kolektif, harus menjadi  suatu target yang mutlak untuk dicapai, sebab ditengah kegamangan  orientasi nilai budaya kita, Buton semakin sulit menjaga keseimbangan olengan gelombang globalisasi, yang juga dipengarahi oleh jarak pandang kemasa depan pun sangat pendek karena kemiskinan visi yang realistis.

Perbedaan antara manusia maju dan kurang maju hanya ditentukan oleh komitmen untuk berubah melalui kehausan untuk belajar dan belajar sebagai esensi proses budaya, sementara kehausan untuk belajar berpadanan dengan keterbukaaan diri kita untuk menerima perubahan dari manapun asalnya. Sikap terbuka ini sangat menguntungkan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita, karena dengan membuka diri terhadap perubahan berarti sudah membuka jalan kearah pengalaman baru untuk dipelajari dan diterapkan.
Sikap ketertutupan dalam menyikapi hal-hal yang baru dari dunia luar yang terkesan dibentengi oleh keangkuhan kita akan keberhasilan sejarah Buton masa lalu bak seseorang yang sedang dihinggapi penyakit "titanic sindrom" hanya membuat kita selalu angkuh, terlena bahkan terperosok dalam kehidupan yang bermental inlander, tidak mau berkembang, bermalas-malasan, hampir tanpa budaya etos kerja tinggi bahkan akan berujung keterpencilan dari dunia nyata yang berarti hanya menangani kehidupan Buton dari luar permasalahan. Masa lalu Buton harusnya diposisikan sebagai pijakan dan tempat yang merujukkan arah perkembangan, tetapi fokus usahanya adalah perbaikan-perbaikan yang didorong oleh harapan hari ini dan masa depan.

Alex Inkeles, sejalan dengan pendekatan baru yang kini banyak dibicarakan dan diterapkan, yakni pandangannya yang menegaskan bahwa “Culture Matter”  kebudayaan dalam arti sikap dan orientasi nilai & karya amatlah berperan dalam membangun kemajuan bangsa & Negara diantaranya sikap dan orientasi nilai yang mengacuh pada : (1) Berorientasi kemasa depan, (2) Kerja keras, kreatifitas, prestasi penting untuk menghasilkan dan harga diri, (3) Hidup hemat pangkal investasi. (4) Pendidikan kunci kemajuan, (5) Prestasi dihargai, (6) Saling percaya modal utama, (7) Keadilan dan berbuat fair adalah nilai-nilai progresif dll. (sumber : “Culture Matter” – How Value shape human Progress) Lawrence E Harrison & Samuel P. Hutington)

Untuk mencapai sikap dan orientasi nilai diatas, maka Buton harus diawali dengan rancangan yang besar (grand design) yang progresif dengan mencanangkan program pembangunan dalam waktu satu generasi yang  “sustainable”  dengan membutuhkan strategi yang mumpuni, kepemimpinan yang tangguh yang mampu menciptakan nilai-nilai instrument yang kreatif, sistem manajemen yang efektif dan sumber daya yang terampil, jujur dan bertanggung jawab, dengan menciptakan transparansi pengawasan dan pengendalian yang efektif.

Kita harus optimis bahwa Buton belum kehabisan seluruh potensinya untuk melaksanakan tugas sejarah dalam melakukan perbaikan untuk menuju masa depan. Maka pemotretan terhadap berbagai persoalan Buton perlu dilakukan sekedar tumpuan melakukan transformasi pikiran, mental, dan tindakan untuk berbagai langkah perbaikan. Maka sangatlah penting untuk menggelar perdebatan umum dan membuka dialektika pendapat antara sesama generasi Buton sembari mengharap semoga sikap pemerintah daerah untuk selalu membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran generasi buton yang ada didalam maupun diluar sistem pemerintahan. I

Saatnya merubah mind set kita untuk menyikapi bersama bahwa “Key Performance Indikator (KPI)” kemajuan pembangunan suatu daerah tidak hanya cukup dilihat dengan menggunakan kacamata fisik, namun juga harus memadai dilihat dalam kacamata  ahlak dan budi pekerti, sebagai modal utama kita dalam menghadap Allah SWT.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat, amin.
Hasmina Syarif, Jakarta 10 June 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif