Indonesia
terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, agama dan kebudayaan. Keanekaragaman
inilah yang menjadi ciri khas bagi bangsa Indonesia dibandingkan
negara-negara lain di dunia ini. Salah satu unsur yang masih tetap dibina dan
dilestarikan serta dikembangkan dari keanekaragaman tersebut ialah adat
istiadat dan diselenggarakan oleh kelompok masyarakat adat pada suatu suku
secara tradisional. Arti penting pemahaman unsur-unsur kebudayaan semacam ini
adalah untuk mengetahui nilai-nilai budaya apa saja yang ingin disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung baik secara sadar maupun tidak disadari
telah dijadikan kerangka atau acuan pola bertindak oleh sekalian warga
masyarakat pendukung budaya bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan acara tersebut pakaian adat
merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari prosesi adat yang
diselenggarakan. Pakaian adat yang digunakan biasanya bergantung dari jenis
acara-acara adat yang diselenggarakan atau dilaksanakan. Pakaian adat yang
digunakan oleh masyarakat mempunyai fungsi adat, disamping itu juga terkandung
nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial, nilai-nilai agama atau kepercayaan dan
lain-lain. Dalam hal ini adalah pakaian adat tradisional Buton yang dipakai
oleh masyarakat baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Bagi masyarakat kota Bau-Bau (dulu kabupaten Buton), pakaian
adat tradisional mempunyai makna secara khusus. Dalam arti bahwa masyarakat
yang menggunakan pakaian adat tradisional tersebut dengan ciri-ciri atau
spesifikasi tertentu baik warna, bentuk, perhiasan dan jumlah aksesoris yang
digunakan maupun perlengkapan lainnya adalah mereka yang memiliki status sosial
yang lebih tinggi dalam tingkat kehidupan masyarakat Buton pada masa lampau
maupun saat ini. Keberadaan pakaian adat tradisional pada suatu daerah
merupakan suatu kebanggaan masyarakat itu sendiri dalam menyampaikan pesan
kepada lingkungan sosial dimana dia berada secara tidak langsung.
Pakaian adat tradisional yang digunakan oleh
masyarakat Buton terdiri dari berbagai jenis dan fungsi yang berbeda dalam
setiap penggunaannya. Pada umumnya pakaian adat tradisional yang ada lebih
cenderung digunakan oleh golongan-golongan bangsawan seperti Sultan, perangkat masjid
agung Keraton Buton, pegawai kesultanan dan jabatan-jabatan yang ada dalam
struktur pemerintahan kesultanan Buton. Hal ini dapat dibenarkan karena secara
lahiriah subyek-subyek yang dikemukakan di atas merupakan perwakilan dari
perwujudan tata kehidupan sosial masyarakat suku Buton secara keseluruhan.
Namun demikian, penggunaan atau pemakaian pakaian
adat tradisional adat Buton dalam berbagai kesempatan khusus hampir sebagian
masyarakat sudah tidak mengetahui makna-makna yang terkandung dalam pakaian
adat tradisional Buton tersebut. Sebagai contoh; pemakaian pakaian pingitan
atau (Posuo) bagi anak putri yang memasuki usia remaja antara lain jenis
pakaian yang dipakai, aksesoris yang digunakan, perlengkapan-perlengkapan dan
lain-lain sehingga apa hubungannya dengan makna yang terkandung pada pakaian
adat tradisional tersebut, karena hal-hal tersebut juga dilaksanakan oleh
seluruh masyarakat suku Buton. Dengan kata lain apa, kenapa, dimana dan
bagaimana pakaian adat tradisional tersebut digunakan.
Seiring perkembangan kehidupan dalam masyarakat
saat ini penggunaan pakaian adat tradisional pada berbagai kesempatan khusus
masih sering digunakan. Namun sangat disayangkan sebagian masyarakat sudah
tidak lagi memahami makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional
tersebut. Hal ini berarti akan mengurangi nilai-nilai keutuhan adat secara
luas.
Gambaran Umum Pakaian Adat Tradisional Buton
Secara singkat, pakaian adat
tradisional Buton yang sampai saat ini masih digunakan adalah sebagai berikut :
a). Pakaian anak-anak
1. Tipolo (Pakaian putri cilik / balita)
2. Songko Madina (Pakaian putra cilik usia balita)
b). Pakaian Posusu (perempuan) dan Tandaki (laki-laki) (Pakaian putra putri pada saat dikhitan/ sunat)
b). Pakaian Posusu (perempuan) dan Tandaki (laki-laki) (Pakaian putra putri pada saat dikhitan/ sunat)
c). Pakaian Remaja
1. Ajo Bantea (Pakaian putra)
2. Mobawana Mantomu (pakaian putri)
d). Pakaian Kombo (Pakaian gadis) ketika
baru selesai di pingit.
e). Pakaian Kalambe (Pakaian gadis yang
sudah dipingit).
f). Pakaian Sio Limbona (Pakaian orang
tua)
g). Pakaian Sultan dan Permaisuri
(Sumber : Dinas Pariwisata Seni
dan Budaya Kota Bau-Bau : 2001)
Kehidupan masyarakat Buton tidak terlepas pula
dari adanya stratifikasi/penggolongan kelas sosial masyarakat, yang terdiri
dari:
a). Golongan Kaomu
Golongan Kaumu adalah golongan bangsawan
dengan gelar La Ode bagi laki-laki dan Wa Ode bagi
perempuan. Golongan inilah yang paling berhak menduduki jabatan-jabatan dalam
struktur pemerintahan kesultanan Buton seperti Sultan, Imam Mesjid Agung
(ulama), Khatib, Sapati, Kapitalao (panglima perang) dan
lain-lain, dengan tanda-tanda kebesaran khusus baik pakaian maupun lainnya
berdasarkan adat dan ketentuan yang telah disepakati bersama.
b). Golongan Walaka.
Golongan Walaka adalah golongan masyarakat
biasa, atau masyarakat merdeka atau masyarakat pada umumnya. Namun golongan ini
diantaranya ada yang dipilih oleh kelompok-kelompok masyarakatnya tersebut
menjadi anggota adat / legislatif dalam penyelenggaraan adat. Golongan ini
jugalah yang berhak memilih dan melantik calon sultan Buton pada saatnya.
c). Golongan Papara
Golongan masyarakat ini sebenarnya tidak ada
dalam masyarakat Buton, hanya saja dipakainya istilah ini karena terjadinya
sistem perbudakan atau pengasingan politik oleh kesultanan Buton pada masa
lampau. Tetapi sesungguhnya tidak pernah terjadi sistem perbudakan dalam
masyarakat atau kesultanan Buton sendiri. Perbudakan hanya dilakukan oleh para
penjajah kolonial Belanda.
Jenis dan Makna yang terkandung pada pakaian adat tradisional Buton
Pakaian adat tradisional yang ada pada suatu daerah umumnya juga digunakan oleh hampir setiap orang yang berada pada suatu daerah adat tertentu, terlepas dari stratifikasi sosial yang ada. Namun demikian pada penggunaan pakaian adat tradisional tersebut biasanya ada saja sesuatu hal yang membedakan status sosial penggunanya, apakah golongan bangsawan kedudukannya ataukah masyarakat biasa. Salah satu contoh pemakaian pakaian adat tradisional oleh masyarakat yaitu pakaian pengantin.
Dalam tradisi masyarakat Buton yang masih terikat
erat dengan sistem adat yang berlaku, penggunaan atau pemakaian pakaian adat
tradisional juga digunakan oleh seluruh masyarakat yang menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan yang masih berhubungan dengan adat. Hanya saja pengguna
pakaian adat tersebut dapat dengan mudah diketahui kedudukan sosialnya
berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Buton yang telah dikemukakan
sebelumnya.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan
para narasumber atas beberapa pertanyaan yang diajukan maka dapat diperoleh
data-data mengenai makna yang terkandung dalam pakaian adat tradisional Buton.
1. Pakaian
Balahadada
Pakaian Balahadada merupakan pakaian
kebesaran bagi seorang laki-laki suku Buton baik bagi seorang bangsawan maupun
bukan bangsawan. Hal ini disebabkan karena pada masa lampau pakaian ini
merupakan pakaian para pejabat-pejabat kesultanan Buton. Pakaian ini juga, pada
masa masih jayanya masa pemerintahan kesultanan Buton yang berakhir pada sultan
ke 38 La Ode Muhammad Falihi Isa Qaimuddin (Oputa Moko
Baadianai) hingga tahun 1963 adalah digunakan oleh pejabat dari golongan
bangsawan (La Ode) yang dilkengkapi dengan berbagai macam kelengkapan
pakaian baik untuk jabatan Lakina, Bobato, Bonto Ogena, Kapitalao,
Syahabandara, dan jabatan-jabatan lain yang khusus dijabat oleh golongan
bangsawan.
Pakaian Balahadada dapat diartikan sebagai
pakaian belah dada. Dikatakan demikian karena pakaian tersebut tidak memiliki
kancing sehingga sipemakai dapat terlihat dadanya. Pakaian ini baik dari kepala
sampai pada kaki terdiri dari :
(1) Destar
Dalam bahasa Wolio (Buton) destar dikenal dengan
nama Kampurui. Kampurui terdiri dari beberapa jenis antara
lain Kampurui Bewe Patawala, Kampurui Bewe Palangi, Kampurui
Tumpa dan Kampurui Bewe Poporoki berdasarkan bentuk dan
warnanya. Keempat Kampurui ini pada bahagian sekelilingnya dijahitkan
benang emas atau perak yang disebut ”Jai” atau ”Pasamani”.
(2) Baju
(2) Baju
Baju yang digunakan adalah baju Balahadada
yang bahan dasarnya sesuai dengan aslinya terbuat dari beludru berwarna hitam.
Sekujur bagian baju dipenuhi dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari emas atau
perak. Hiasannya merupakan bundaran-bundaran kecil yang bertaburan secara
teratur dan dinamakan sebagai Buka-Buka. Pada pinggiran baju terdapat
hiasan Pasamani. Pada leher baju hiasan Pasamani lebih besar dan
mencolok dan ditempelkan Ake yang terbuat dari emas atau perak. Pada
masing-masing belahan belahan dada baju dilekatkan sebuah Ake besar yang
berpangkal dari bawah leher baju langsung turun sampai perut baju. Di atas Ake
baik yang ada pada leher maupun belahan dada, disebelah kanan masing-masing
dilekatkan enam sampai tujuh buah kancing kerucut segi lima pada ujung kengan
baju yang hanya berfungsi sebagai hiasan.
(3) Celana
Celana yang digunakan disebut dengan Sala
Arabu atau dapat diartikan sebagai celana panjang Arab. Warna dan motif
yang terdapat pada celana Sala Arabu ini sama dengan motif yang ada pada
baju Balahadada. Pada bagian kaki celana terdapat belahan sedikit, pada
pinggir belahan ini dilekatkan pula masing-masing tujuah buah kancing.
(4) Sarung
Disamping memakai celana, pakaian Balahadada
juga dilengkapi oleh sarung Samasili Kumbaea, yaitu berdasar warna hitam
serta motif kotak-kotak putih. Benang putih yang dijadikan kotak-kotak tersebut
adalah benang perak yang dalam bahasa Buton disebut sebagai Kumbaea.
(5) Ikat Pinggang
Ikat pinggang dalam bahasa Buton disebut sebagai Sulepe.
Ikat pinggang yang digunakan dalam pakaian Balahadada terbuat dari kain
warna hitam dengan kepala ikat pinggang terbuat dari emas atau perak. Bentuk
kepala ikat pinggang lonjong telur atau empat persegi panjang dengan ukiran
kalimat Tauhid dan motif bunga-bunga dengan nama bunga Rongo pada
sekeliling pinggirnya. Ikat pinggang ini dikenakan pada bagian atas baju dengan
sebelumnya pada bagian bawah baju dilekatkan sarung.
(6) Keris
Keris dalam bahasa Buton disebut sebagai Tobo
(baca: Tobho) atau Puu Salaka atau Puu Taga bergantung
dari asal bahan hulu keris.
(7) Bia Ogena
Bia Ogena berarti sarung besar. Tetapi
bukan bentuknya yang besar tetapi lebih merupakan sebagai sarung kebesaran yang
hanya digunakan oleh pejabat atau anak keturunan bangsawan (La Ode).
Bentuk Bia Ogena lebih cenderung menyerupai selendang yang terbuat dari
kain sutera berwarna polos dan tidak berjahit. Pemakaiannya dililitkan pada
pinggang sedang kedua bagian ujungnya terselip pada hulu keris. Bia Ogena
dihiasi pula oleh Pasamani diseluruh pinggirannya.
MAKNA:
“Destar atau Kampurui dalam bahasa
Buton berarti ikat kepala. Yang mengandung makna kebesaran.kampurui bagi
seorang pejabat kesultanan buton sangatlah penting. ini dikaitkan dengan
kebijakan atau keputusan yang diambil berhubungan dengan kepentingan dan
kemaslahatan rakyat yang ditandai dengan adanya tundu pada bahagian
tengah lilitan Kampurui yang bermakana sebagai penjelmaan dari matahari
yang berarti memberikan pencerahan.
Balahadada adalah baju yang tidak memiliki
kancing yang mengandung arti sebagai perlambangan keterbukaan sikap
pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi
pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan
musyawarah untuk mufakat. Baju balahadada memiliki dasar warna hitam yang
mengandung arti kebenaran yang tak dapat diubah-ubah, warna putih yang
ditampilkan pada hiasan-hiasannya mengandung kesucian.
Bia Ogena pada baju Balahadada bermakna
kebesaran dan keagungan. Tetapi dibalut oleh ikat pinggang (Sulepe)
bertuliskan kalimat Tauhid sebagai perlambangan dari pengukuhan atau pengikat
hukum agama dan adat yang harus ditaati oleh orang Buton. Keris yang diselipkan
pada bahagian pinggang memiliki makna sebagai perlambangan keberanian yang
dibalut dengan sikap lembut dan bijaksana . Akhirnya celana Sala Arabu
memiliki makna filosofis yang sama dengan baju Balahadada”.
Balahadada adalah baju dengan dasar warna
hitam yang memiliki makna sebagai perlambangan keterbukaan sikap seorang
pejabat atau sultan terhadap segala sesuatu khususnya urusan masyarakat demi
pencapaian kesejahteraan dan kebenaran hukum yang diputuskan dengan jalan
musyawarah untuk mufakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikutip dari
hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak La Ode Zaady mengenai baju
Balahadada.
“Kampurui melambangkan kebesaran,
kebaikan, kebijakan, kebenaran, ketepatan, kelembutan (fleksibilitas dalam hal
tertentu) yang dipancarkan oleh seorang sultan atau stafnya dalam menangani
urusan pemerintahan dan untuk kemaslahatan/kesejahteraan masyarakat Buton pada
masa lampau. Ini dapat dilihat dari bentuk Kampurui yang diikat
sedemikian rupa sehinga tampak seperti memancarkan cahaya.
Baju Balahadada warna aslinya hitam kalau
ada warna lain pada baju Balahadada maka hanya untuk memberikan variasi
warna dan sama sekali tidak mengurangi makna yang terdapat di dalamnya.
Balahadada ini terdiri dari satu pasang
(baju dan celana) dengan warna dan motif yang sama pula. Belahan baju
menandakan sikap keterbukaan pemakainya dalam bermusyawarah untuk mencapai
mufakat dengan dasar hukum adat maupun agama demi kepentingan bersama.
Keris adalah lambang kejantanan tetapi
digunakan secara bijak dan sesuai fungsinya (waktu dan tempat) jika tidak maka
keris lebih bermakna sebagai kelembutan sikap pemakainya dimana hal ini sesuai
dengan yang terdapat pada hulu keris. Sulepe sebagai pengikat, atau
pengukuh aturan-aturan adat artinya bahwa orang yang memakainya harus
dikukuhkan dengan ajaran maupun aturan agama islam”.
Kampurui yang digunakan sebagai penutup
kepala/ikat kepala bagi masyarakat Buton mengandung lambang kebesaran.
Dimana kepala adalah bagian teratas dari badan manusia yang dipandang sebagai
penjelmaan dari lapisan langit yang dipancarkan keseluruh alam jagad raya.
Kiranya Kampurui ini dapat disamakan dengan nimbus, prabha,
aureul seperti yang terdapat pada lukisan-lukisan orang suci atau
lukisan-lukisan pada patung dengan lingkaran cahaya di bagian kepala.
Baju Balahadada dari warnanya yang hitam
mengandung arti ketegasan sikap dalam setiap pengambilan keputusan, sedang
sarung Bia Ogena dan keris adalah perlambangan sikap kebesaran dan
keagungan serta keberanian pemakainya tetapi tetap pada ikatan aturan-aturan
adat yang berpangkal pada ajaran agama islam sehingga digunakan secara
bijaksana. Sedang motif dan berbagai hiasan lainnya lebih merupakan penambah
keindahan dari tampilan pakaian tersebut.
Kesimpulan makna yang terdapat pada pakaian Balahadada
ini adalah terlepas dari status kebangsawan masyarakat Buton baik golongan Kaomu
(La Ode / (Wa Ode) maupun golongan Walaka (Pejabat Penyelenggara
Adat dan masyarakat Buton secara umum) karena kenyataan pada saat ini bahwa
semua unsur-unsur tradisional (adat, pakaian dan lainnya) sudah digunakan
secara keseluruhan oleh masyarakat. Hanya saja dalam pemakaiannya tentu saja
masih terdapat perbedaan-perbedaan antara golongan bangsawan maupun bukan
bangsawan khususnya pada kelengkapan-kelengkapan pakaian. Karena sampai saat
ini masyarakat Buton baik yang berada di daerah maupun di luar daerah masih
memegang teguh sistem peradatannya.
2. Pakaian
Ajo Bantea
Ajo Bantea merupakan pengertian dari
pakaian yang indah-indah. Pakaian ini hanya terdiri dari celana panjang (Sala
Arabu) dan tindak menggunakan baju. Ajo Bantea adalah pakaian yang
dikenakan oleh anak-anak atau lebih disebut sebagai Pakeana Mangaanaana
yang belum menduduki jabatan khusus dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton.
Pakaian ini dilengkapi pula dengan berbagai kelengkapan seperti Kampurui
Bewe Patawala atau Kampurui Tumpa atau Kampurui Palangi
yang dikenakan bersama Lepi-Lepi, Keris, sarung Samasili Kumbaea atau
Bia Ibeloki , dan Bia Ogena.
Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Ajo
Bantea berikut ini adalah kutipan wawancara yang dilakukan dengan para
budayawan Buton :
Pakaian Ajo Bantea juga disebut sebagai pakeana
manganaana. Pakaian ini dipakai oleh anak laki-laki yang belum menduduki
suatu jabatan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Pakaian ini tidak memakai
baju (bertelanjang dada), hanya terdiri dari ikat kepala (Kampurui Bewe
Patawala atau Bewe Palangi atau Kampurui Tumpa),
Bia Ogena, Bia Samasili Kumbaea, Keris dan Celana panjang (Sala
Arabu). Makna yang terkadung dari masing-masing tersebut di atas adalah
sama dengan makna yang terkandung pada pakaian Balahadada.
Ajo Bantea memiliki pengertian yang
berbeda yaitu; Ajo adalah mengenakan, memakai, menggunakan dan
sejenisnya, sedang Bantea adalah barak atau tempat berkumpul untuk
melakukan musyawarah.yang kemudian digunakan oleh para anak dari golongan
bangsawan untuk belajar, bermain, berkumpul dan sebagainya dengan masyarakat.”
Dengan kata lain pakaian Ajo Bantea memiliki
makna bahwa sifat keterbukaan dan kesederhanaan para anak golongan bangsawan
untuk berkumpul bersama dengan masyarakat untuk melakukan berbagai hal secara
bersama dengan tidak memandang status sosialnya masing-masing.
Sejalan dengan pendapat dari bapak La Ode Zaady
tentang pakaian Ajo Bantea Berikut ini kutipan hasil wawancara dengan
bapak Hazirun Kudus mengenai baju Ajo Bantea.
“Ajo Bantea dalam bahasa Buton disebut
dengan Pakeana Manga Anaana atau dapat diartikan sebagai pakaian para
anak khususnya dari golongan bangsawan. Untuk diketahui bahwa pakaian ini tidak
mengenakan baju layaknya pakaian lain tetapi hanya menggunakan celana panjang (Sala
Arabu), sedang kelengkapan pakaian ini terdiri dari Kampurui , Bia
Ogena, Bia Samasili Kumbaea, dan Keris. Makna yang terkandung pada
masing-masing kelengkapan ini adalah sama halnya dengan makna yang terdapat
pada pakaian Balahadada. Sedang makna secara keseluruhan dari pakaian Ajo
Bantea ini adalah adanya sifat keterbukaan dan kesederhanaan yang
ditunjukkan para anak golongan bangsawan (La Ode) kepada masyarakat dengan
mengaplikasikannya dengan terlibat secara langsung kedalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan”.
Ajo Bantea merupakan pakaian yang indah-indah
yang khusus digunakan oleh anak golongan bangsawan yang belum menduduki suatu
jabatan dalam pemerintahan kesultanan Buton masa lampau. Pakaian Ajo Bantea ini
dilengkapi oleh beberapa kelengkapan yang terdiri dari Kampurui (destar/ikat
kepala) yang dibentuk sedemikian rupa yang melambangkan kebesaran dan keagungan
sipemakai sebagai seorang pemimpin dan juga bermakna bahwa Ajo Bantea ini
adalah memiliki makna adanya keterbukaan baik sikap maupun sifat untuk
bermusyarawarah dan menerima hal-hal yang belum diketahuinya atau juga adanya
sikap tegas seorang calon pemimpin Buton namun tetapi tidak dikhilafkan oleh
kedudukan tersebut karena terikat sebuah ikat pinggang yang bertuliskan kalimat
Tauhid yang berarti adanya ikatan atau pengukuhan adat berdasarkan ajaran agama
dalam berkehidupan sehari-hari dan mau menerima keberadaan masyarakat umum
lainnya sebagai satu kesatuan alam semesta yang telah diciptakan oleh
Allah SWT.
3. Pakaian
Ajo Tandaki
Ajo Tandaki adalah pakaian yang hanya
terdiri dari selembar kain besar (Bia Ibeloki) dan berwarna hitam yang
hanya dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya. Pada permukaan pakaian Ajo
Tandaki dilekatkan manik-manik motif ukiran bunga Rongo secara
beraturan, sedang pada sekeliling pinggiran kain dijahitkan Pasamani atau
hiasan yang terbuat dari benang emas atau perak.
Pakaian ini dapat digunakan pada saat seorang
anak akan diislamkan (disunat) atau bahkan seseorang yang akan menikah duduk
sebagai mempelai pria. Pakaian ini sangat mirip dengan pakaian ihram jemaah
haji hanya yang berbeda adalah warnanya.
Kelengkapan pakaian terdiri dari Tandaki (semacam
mahkota) yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan berbagai hiasan dan
aneka rupa sehingga tampak sebagai suatu lambang kebesaran pemakainya.
Ikat pinggang yang diukir dengan kalimat Tauhid dan sebilah keris.
Kekhususan baju ini terdapat pada Tandaki sebagai
mahkota yang digunakan sekaligus sebagai penyebutan nama baju tersebut. Tandaki
terbuat dari kain merah, manik-manik, bulu burung cenderawasih yang
putih, benang-benang sutra merah dan berbagai macam hiasan yang terbuat dari
perak, tembaga bahkan emas.
Berikut ini kutipan hasil wawancara mengenai
makna yang terdapat pada pakaian AjoTandaki :
“Ajo Tandaki adalah pakaian kebesaran anak
bangsawan yang juga boleh dikenakan oleh masyarakat biasa pada saat
menyelenggarakan acara adat khususnya prosesi sunatan (pengislaman). Pakaian
ini sengaja dibuat sedemikian rupa dengan warnanya yang hitam dikandung maksud
bahwa pada saat anak disunat, maka darah yang keluar dapat berkamuflase dengan
warna kain sehingga tidak menimbulkan perasaan ngeri atau takut pada anak-anak
tersebut.
Disamping itu Ajo Tandaki juga memiliki
arti keterbukaan, kesederhanaan golongan Kaomu dalam berpenampilan adalah
sesuatu yang harus diutamakan sehingga tidak menimbulkan berbagai fitnah dalam
masyarakat.
Mahkota Tandaki sendiri merupakan
perlambangan dari keagungan dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi dan
dipatuhi dengan hati tulus ikhlas. Hal ini nampak pada jumbai yang turun dari
kepala langsung ke dada yang berarti diserapkan kedalam kalbu. Keris yang
terselip dipinggang adalah suatu lambang keberanian untuk membela hak
berdasarkan adat dan agama dan Sulepe (ikat pinggang) adalah sebagai
pengukuh berdasarkan ajaran agama dari pengertian-pengertian yang telah saya
jelaskan”.
Ajo Tandaki adalah pakaian yang digunakan
oleh para anak bangsawan yang memiliki arti keterbukaan,kesederhanaan golongan
kaomu (golongan bangsawan) dalam hal berpenampilan dan menerima ajaran-ajaran
dari orang tua tentang aturan-aturan yang berlaku di kesultanan Buton dan ajaran
agama.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh
bapak La Ode Zaady dalam kutipan wawancara mengenai Ajo Tandaki.
“Tandaki terdiri dari dua unsur
yaitu Tandaki sebagai mahkota dan Tandaki sebagai
pakaian. Tandaki sebagai mahkota adalah wujud kebesaran, keagungan
dan kedamaian yang harus dijunjung tinggi yang dilaksanakan dengan hati tulus
ikhlas. Sedangkan Tandaki sebagai pakaian adalah lambang
keterbukaan, kebersahajaan, kesederhanaan dan sejenisnya oleh golongan
bangsawan.
Kain yang digunakan sebagai baju dalam pakaian Ajo
Tandaki ini adalah Bia Ibeloki yang dapat kita terjemahkan dalam
bahasa Indonesia yaitu sarung yang dililitkan kesekujur tubuh.
Makna dari keris yang digunakan adalah lambang
keberanian untuk membela hak dan kewajiban dan ikat pinggang atau Sulepe
adalah sebagai pengukuh ikatan adat yang berlandaskan ajaran agama. Ajo
Tandaki secara umum digunakan pada saat anak akan di islamkan/disunat.
Dengan warna hitam yang dimilikinya paling tidak akan mengurangi rasa takut dan
ngeri anak pada saat darahnya keluar. Itulah sebabnya Ajo Tandaki digunakan
pada saat anak akan disunat.
Berdasarkan kutipan hasil wawancara di atas dapat
disimpulkan bahwa AjoTandaki adalah pakaian yang hanya terdiri dari
mahkota dan selembar kain lebar/besar yang disebut sebagai Bia Ibeloki
dan berwarna hitam dengan dilekatkan manik-manik yang dijahit secara teratur. Tandaki
sebagai mahkota memiliki makna kebesaran, keagungan dan kedamaian
yang harus dijunjung tinggi dilaksanakan dengan hati tulus dan ikhlas oleh
pemakainya sedang bajunya adalah perlambangan sifat keterbukaan dan
kesederhanaan kaum golongan bangsawan yang ditunjukkan kepada masyarakat
sebagai contoh teladan dengan tidak membanggakan dirinya.
Selain makna di atas, pakaian ini juga mengandung
arti ketenteraman. Yang dimaksudkan ketenteraman dalam hal ini adalah kurangnya
rasa takut anak pada saat di sunat akibat yang dikeluarkan sehingga kalaupun
darah merembes kepermukaan kain maka darah tersebut akan tertutupi oleh
warna hitam kain.
4. Baju Kombo
Baju Kombo adalah pakaian kebesaran kaum
wanita Buton. Bahan dasar baju adalah kain satin dengan warna dasar putih,
penuh dihiasi dengan manik-manik, benang-benang berwarna yang biasanya terdiri
dari benang emas atau benang perak serta berbagai ragam hiasan yang terbuat
dari emas, perak maupun kuningan.
Pakaian ini terdiri dari satu pasang, bagian
atasan adalah baju dengan bawahan sarung yang disebut Bia Ogena (sarung
besar). Bia Ogena adalah sarung yang terdiri dari gabungan beberapa
macam warna polos seperti merah, hitam, hijau, kuning, biru dan putih dan
dijahit secara bertingkat-tingkat.
Pada permukaan baju dijahitkan rangkaian
manik-manik dengan formasi belah ketupat. Pada setiap petak-petak belah ketupat
terdapat hiasan dari perak atau kuningan dengan motif Tawana Kapa (daun
kapas) dan pada ujung daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga yang
berdiri tegak.
Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara
mengenai makna yang terdapat pada baju Kombo:
Makna yang terdapat pada baju Kombo adalah
sebagai berikut : (1) Dasar warna baju adalah putih yang melambangkan kesucian,
kepolosan wanita Buton, (2) Bunga-bunga yang tumbuh tegak pada ujung Tawana
Kapa adalah melambangkan harapan-harapan atas kebaikan, kesuburan,
kesejahteraan, kelapangan dan hal-hal yang memiliki pengertian yang sama pada
saat ia menjadi mempelai wanita dikemudian hari untuk membangun satu keluarga
yang madani, (3) Perhiasan yang digunakan khususnya gelang tangan sebagai
pertanda bahwa wanita Buton selalu taat dan patuh pada ikatan sistem peradatan
dan ajaran agama yang dilingkarkan pada pergelangan tangannya, (4) Punto,berwarna
dasar hitam yang dimaksudkan untuk melindungi rembesan darah haid wanita jika
sedang dating bulan sehingga dapat tersamarkan, (5) Bia Ogena atau
sarung yang dijahit secara bertingkat-tingkat adalah menunjukkan alam kejadian
manusia dan jagad raya.
......Selanjutnya warna-warna tersebut bagi
masyarakat Buton memiliki makna. Sebagai contoh warna biru bagi masyarakat Buton
adalah lambang ketaatan dan kepatuhannya terhadap berbagai hal utamanya hukum
adat dan agama yang harus selalu dikuti dan dijaga secara terus menerus”.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan
bapak hazirun kudus mengenai baju kombo maka hal ini sejalan dengan pendapat
dari bapak La Ode Zaady.
Baju Kombo syarat akan makna. warna dasar
baju adalah warna putih yang melambangkan kesucian, kedamaian dan sejenisnya.
Pada permukaan baju dijahitkan manik-manik (Tawana Kapa) yang beraneka
rupa,dimana pada bagian ujung Tawana Kapa dijahitkan pula masing-masing
sebuah hiasan bunga-bunga yang disebut sebagai bunga Rongo. Bunga inilah
yang kemudian melambang keinginan-keinginan atau harapan-harapan wanita Buton
untuk kehidupan masa depannya dalam upaya membentuk suatu keluarga.
Gelang yang berjumlah masing-masing empat buah
pada tangan kanan dan kiri merupakan arti dari bahwa wanita Buton dalam semua
aspek kehidupannya telah diikat oleh adanya hukum adat dan agama yang harus
selalu menjadi sandaran dalam berkehidupan dengan lingkungannya.
Bia Ogena yang terdiri dari beberapa warna
yang dijahit menjadi sebuah sarung merupakan lambang proses kejadian alam
dan manusia. sesuai dengan kepercayaan agama masyarakat Buton.Yang dijahit
secara bersusun, pertama adalah warna hitam. Warna ini khususnya pada Punto
atau sarung hias yang berfungsi untuk mencegah merembesnya darah haid wanita
pada saat datang bulan sehingga tidak terlalu nampak. Selanjutnya warna kuning.
Warna kuning ini dimaksudkan sama, yaitu apabila darah telah merembes dari Punto
maka darah tadi masih dapat pula disamarkan oleh warna kuning. Susunan kain ini
sampai kebawah akan berfungsi sama dengan warna kuning dan hitam”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat
disimpulkan bahwa baju Kombo pada prinsipnya mengandung arti adanya
harapan-harapan kebaikan atas segala kebaikan dalam berkehidupan, disamping itu
juga baju ini mempunyai makna yaitu warna dasar baju yang putih merupakan
lambang kesucian wanita Buton untuk selalu dijaga. Sedang kain berwarna
yang dijahit secara bersusun disebut sebagai Lonjo. Lonjo dijahit
secara bersusun bukan tanpa maksud tetapi dikandung maksud apabila rembesan
darah haid tersebut telah menembus Punto, maka selanjutnya darah
tersebut dapat pula tersamarkan oleh warna hijau atau kuning sampai pada bagian
bawah susunan kain yang berwarna merah. Lonjo juga berarti susun atau
tata. Lonjo ini diatur tiga susun warna yang menandakan bahwa di Buton
terdapat 3 golongan masyarakat yaitu Kaomu, Walaka dan Papara. Dari sudut
pandang islam Buton, Lonjo bermakna hubungan yang harus dijalani oleh
manusia yaitu (1) Hubungan manusia dengan Tuhan/Hablum minallah, (2) Hubungan
antar sesama manusia/Hablum Minannas, dan (3) Hubungan manusia dengan
alam.mengandung dua makna yaitu makna lahir dan makna batin. Makna lahir adalah
bahwa warna-warna yang digunakan tersebut digunakan sebagai pencegah
rembesan darah haid wanita agar tidak tampak pada saat wanita yang bersangkutan
berada di keramaian, atau juga berfungsi sebagai sarung kebesaran wanita Buton
itu sendiri. Makna batin yaitu adanya kaitan antara pemahaman atas pengertian
warna terhadap proses kejadian alam dan manusia begitu juga dengan kepercayaan
beragama masyarakat Buton dulu maupun sekarang. Seperti contoh gambar berikut
(Gambar 4).
5. Baju
Kaboroko
Kaboroko berarti krah (leher)
dikatakan demikian karena baju ini agak berbeda dengan jenis baju Buton
lainnya, dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai dengan adanya berbagai
macam hiasan dan aksesoris yang dilekatkan padanya. Terdapat empat buah kancing
logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada lengan baju.
Kancing-kancing itu tidak berfungsi sebagaimana lazimnya kacing baju, namun
hanya merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam berwarna putih
sedangkan lapisan luas (atas) sarung warna dasar hitam dengan corak
garis-garis. Sarung tersebut disebut sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia
Itanu. Pada sanggulnya diikatkan potongan-potongan yang digulung dari kain
yang berwarna putih dan kuning.
Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Kaboroko
ini berikut akan disajikan kutipan hasil wawancara :
Kaboroko berarti baju berkerah atau
memiliki kerah. Penggunaan baju Kaboroko bagi wanita Buton adalah pada
saat-saat diadakannya upacara adat (khususnya golongan Walaka/golongan tengah/
bukan La Ode/Wa Ode).
Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang
digunakan oleh bangsawan maupun bukan bangsawan. Pemakaian kain sarung yang
dipakai secara berlapis-lapis ini dimaksudkan bahwa orang yang memakainya
adalah para ibu rumah tangga yang telah memiliki anak keturunan sehingga
bermakna telah mempunyai tanggung jawab yang harus selalu dijaga dan
dilindunginya yang ditandai dengan penggunaan selendang yang dililitkan pada
sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.
Tetapi jika ia masih gadis, Kaboroko digunakan
tidak dengan berlapis-lapis kain sarung, hanya satu buah sarung saja yang
sekaligus berfungsi sebagai rok”.
Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun
Kudus sama halya dengan pengertian dari bapak La Ode Zaady, berikut
kutipan hasil wawancaranya .
Kaboroko adalah salah satu baju adat yang
digunakan oleh para wanita Buton. Baju ini terdiri dari satu lembar baju dan tiga
lapis kain sarung yang dipergunakan secara bersamaan dengan lapisan paling
bawah adalah kain sarung yang berwarna putih, lapisan kedua adalah Bia-Bia
Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah kain lebar yang
lebih mirip selendang dan dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya dengan cara
bagian ujung kain sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke dalam.
Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang
oleh para ibu pada baju Kaboroko . Antara lain warna Biru adalah bagi
para ibu yang telah memiliki anak lebih dari satu orang, warna merah atau hitam
bagi ibu yang baru mempunyai satu anak dan warna kuning adalah bagi para janda.
Sedang maknanya adalah melindungi hak dan kewajiban pribadi maupun anggota
keluarga dari segala hal yang dapat membahayakan kehidupannya, begitu juga
tanggung jawab akan melindungi adat dan ajaran agama demi tercapainya
keselamatan dan kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara”.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas maka dapat
disimpulkan bahwa baju Kaboroko mempunyai makna bahwa seorang wanita
harus melaksanakan hak dan kewajibannya dalam melindungi diri dan anggota
keluarganya dari segala sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan, adat dan
ajaran agama. Sedang perbedaan warna yang terdapat pada selendang yang
digunakan lebih cenderung kepada makna bahwa perbedaan jumlah anak yang
telah dimiliki.
6. Baju
Kambowa
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian
adat Buton yang digunakan oleh para ibu, gadis maupun anak-anak dalam berbagai
kesempatan adat bahkan dapat pula berfungsi sebagai pakaian hari-hari pada masa
lampau. Baju terdiri dari satu buah baju berwarna polos (kuning, biru, hijau,
ungu) begitu juga sarung yang digunakan. Baju ini berbentuk ponco dan tidak
memiliki kerah baju. Lengan baju hanya sampai pada bawah siku dengan bahan
satin.
Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini
digunakan pula kain sarung yang terdiri dari tiga lapis layaknya yang digunakan
pada baju Kaboroko , sedang yang bukan bangsawan hanya menggunakan satu
lapis sarung yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea.
Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam
baju Kambowa ini dapat dilihat pada kutipan hasil wawancara sebagai
berikut :
leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa
pemakainya dilingkari oleh berbagai aturan adat dan agama yang harus dipatuhi
dan dijalankan sepenuh hati demi kebaikannya sendiri”.
baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari
oleh berbagai ajaran adat dan agama yang harus dilindunginya atau dapat saya
katakan bahwa makna yang terdapat pada baju Kambowa ini adalah sama
dengan makna yang terkandung dalam baju Kaboroko ”.
“untuk memudahkan adik mengartikan makna yang
terdapat pada baju Kambowa maka makna apa yang terdapat pada baju Kaboroko
itulah juga makna baju Kambowa”.
“baju Kambowa memiliki makna yang sama
dengan baju Kaboroko ” (Wawancara; La Ode Zaady, September 2006).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat
diketahui bahwa makna yang terdapat pada baju Kambowa adalah sama dengan
makna yang terdapat pada baju Kaboroko . Namun demikian menurut para
informan ada beberapa perbedaan kecil tentang makna antara baju Kambowa dengan
baju Kaboroko.
7. Baju
perangkat adat (Pakeana Syara)
Pakaian disebut demikian karena pakaian ini
digunakan oleh para perangkat adat agama masjid agung Keraton Buton, Sultan dan
Perangkat adat lainnya. Perbedaan makna akan ditemukan pada pakaian yang
digunakan oleh perangkat masjid agung Keraton dengan Sultan dan pejabat dalam
pemerintahan kesultanan Buton.
Pakaian ini adalah jenis pakaian jubah lengan
panjang dengan motif tenunan tradisional Buton. Motif ini adalah
garis-garis yang membujur dan melingkar. Motif membujur pada baju sedang
melingkar pada lengan baju. Makna yang terdapat di dalamnya adalah sebagai
berikut :
perbedaan motif yang terdapat pada pakaian
perangkat adat adalah besar kecilnya tanggung jawab pada masing-masing bidang
kerja”.
Pakaian sarana hukum atau perangkat adat adalah
pakaian yang hanya digunakan oleh perangkat masjid agung keraton dengan Sultan
dan pejabat dalam pemerintahan Kesultanan Buton dengan ciri yang spesifik yaitu
penggunaan motif garis-garis yang besar untuk sara ogena,sedang untuk sara
kidina menggunakan motif garis-garis kecil.hal ini berkaitan debngan besar
kecilnya tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masung sara.
Perbedaannya terletak pada motif garis baju. Jika
perangkat masjid agung Keraton Buton mempunyai motif garis yang lebih kecil,
maka Sara Ogena memiliki motif garis yang lebih besar. Garis kecil
berarti terbatasnya bidang kerja sedangkan motif besar adaah luasnya bidang
kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Motif melingkar pada lengan baju bermakna
bahwa pemakai dilingkari oleh berbagai aturan atau hukum-hukum adat dan agama
dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing anggota kedua syara ini dalam
menjalankan tugasnya dilengkapi pula dengan tongkat jabatan (Katuko)”.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat
disimpulkan bahwa motif garis pada baju yang kemudian berbeda dalam ukurannya
(besar-kecilnya garis) bermakna besar kecilnya pula masing-masing bidang
pekerjaan atau tugas yang dijalankan. Sedang garis melingkar pada lengan
menandakan bahwa pemakainya atau pejabat syara yang bersangkutan diikat /
dilingkari oleh aturan atau hukum adat dan agama yang harus dipatuhi dalam
menjalankan tugasnya.
Warna-Warna Yang Digunakan Pada Pakaian Adat
Tradisional Buton
Pakaian tradisional Buton agak berbeda dengan
pakaian adat tradisional daerah lain. Paling tidak hal ini ditunjukkan dari
penggunaan warna-warna tertentu dalam pakaian adat tradisional buton itu
sendiri yang hanya terdiri dari enam macam warna yaitu Hitam, Merah, Kuning,
Biru, Hijau, Putih dan Ungu.
Pada pakaian adat tradisional Buton masing-masing
pakaian umumnya menggunakan jenis warna dan motif hiasan yang sama pada baju
dan celana. Kalaupun terdapat perbedaan warna itu terjadi pada kelengkapan
pakaian seperti sarung ataupun lainnya yang bukan merupakan komponen dari baju
dan celana.
Berikut adalah kutipan wawancara mengenai makna
yang terkadung dalam warna-warna yang digunakan pada pakaian adat tradisional
Buton :
Di Buton warna yang digunakan terdiri dari
beberapa macam dan sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur yang ada pada
manusia. Pertama adalah Merah, yang bermakna keberanian dan juga darah.
Ini diwujudkan pada pakaian atau kelengkapan yang digunakan. Sebagai contoh,
Destar (Kampurui ) ikat kepala, hanya digunakan oleh panglima perang
yang disebut dengan Kapitalao….yang berarti keberanian yang dimiliki
seorang panglima perang dalam melindungi sultan dan pembelaan terhadap ajaran
agama maupun adat yang berlaku di kesultanan Buton (Ya katakan Ya dan Tidak
katakan Tidak). Hitam, yang bermakna kedalaman pemahaman atau kebijakan
atau ketetapan hati dalam memutuskan berbagai ketentuan dalam kehidupan
masyarakat. Putih, melambangkan kesucian dan ketulusan dalam bersikap
maupun beribadah kepada Allah SWT sebagai seorang hamba. Artinya jika
menggunakan warna ini maka pada hakikatnya adalah wujud kertaatan seluruh
komponen masyarakat dan lainnya kepada sultan sebagai khalifah atau pembimbing
dalam berbagai aspek kehidupan. Hijau, warna ini digunakan karena
melambangkan kedewasaan sikap yang harus dimiliki setiap manusia. Kuning,
yang bermakna adanya kemandirian dalam menjalankan ajaran-ajaran agama islam
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat
disimpulkan bahwa warna-warna yang digunakan dalam pakaian adat tradisional
Buton hanya terdiri dari warna hitam, merah, kuning, biru, hijau dan ungu.
Umumnya baju dan celana pakaian adat tradisional buton terdiri dari warna dan
motif yang sama. Warna-warna ini ternyata mengandung beberapa arti bagi
masyarakat Buton antara lain yang berhubungan proses kejadian alam dan manusia,
serta arti yang menunjukkan sikap masyarakat Buton itu sendiri serta menyatakan
bahwa di Buton terdapat penggolongan masyarakat.
Aksesoris
Disamping sebagai penambah keindahan dalam
berpenampilan, aksesoris yang digunakan dalam pakaian adat tradisional Buton
disamping berfungsi sebagai pelengkap, juga menjadi simbol kebesaran dari
masing-masing jenis pakaian adat Buton yang digunakan. Aksesoris ini umumnya
terdiri dari pengikat kepala, anting-anting, akaluing, gelang tangan, cincin
dan sebagainya.
Pada pakaian adat tradisional Buton terdapat
beberapa jenis aksesoris begitu juga makna yang terkandung di dalamnya antara
lain sebagai berikut :
(1) Panto
Panto adalah salah satu jenis aksesoris sekaligus
sebagai penghias ikat rambut wanita dalam setiap kali menggunakan pakaian
Buton. Bahnnya terbuat dari kain yang diberi hiasan-hiasan motif bunga dengan
berbagai macam warna.
(2) Dali-Dali
Dali-Dali dalam bahasa Indonesia adalah
anting-anting. Anting-anting umumnya terbuat dari emas, perak. Namun saat ini
anting-anting yang digunakan dalam pemakaian pakaian adat tradisional Buton
dalam berbagai kesempatan khusus umumnya terbuat dari kuningan karena hanya
berfungsi sebagai kelengkapan adat saja.
(3) Giwang / kalung
Giwang atau kalung dalam bahasa Buton disebut
sebagai Giwa (baca; giwva) terbuat dari emas, perak tau kuningan.
(4) Cincin
Cincin dalam bahasa Buton disebut sebagai Singkaru.
Singkaru yang dimaksud adalah cincin yang berbentuk bulat. Sedang dalam
masyarakat Buton terdapat salah satu jenis cincin yang bentuknya memanjang dan
dipasangkan pada ibu jari pemakainya dan disebut sebagai Korokoronjo.
Korokoronjo ini biasanya digunakan oleh wanita pada saat ia melaksanakan
adat Posuo (pingitan) dan perkawinan.
(5) Punto
Punto disamping digunakan sebagai kelengkapan
dalam berpakaian Kombo juga berfungsi sebagai sarung hias bagi
pemakainya dengan dasar warna hitam dan motif Tawana Kapa yang
dilekatkan pada pemukaan Punto tersebut, dan banyak ditaburi oleh
berbagai manik-manik sehingga nampak indah terlihat.
(6) Kampurui
Kampurui adalah jenis ikat hiasan pria
yang berfungsi sebagai pengikat kepala. Kampurui ini dalam masyarakat
Buton dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Pertama, Kampurui
Bewe Patawala, digunakan oleh para pejabat kesultanan Buton. Kedua, Kampuri
Palangi. Digunakan oleh para pejabat maupun sultan Buton sebagai
kelengkapan kebesaran. Ketiga, Kampurui Tumpa, Kampurui ini boleh
dikatakan menyerupai bentuk Kampurui Bewe Patawala yang terdiri dari dua
warna dengan hiasan Pasamani (benang-benang emas atau perak) pada
sekeliling pinggirannya. Keempat, Bewe Poporoki, digunakan oleh para
pejabat khususnya yang berhubungna dengan adat dan ajaran agama islam.
(7) Sulepe
Sulepe diartikan sebagai ikat pinggang.
Berfungsi sebagai penahan / pengikat baju atau celana pada bagian pinggang yang
sekaligus mengandung makna bahwa pengukuh atau pengikat adat dan ajaran-ajaran
agama. Penjelasan lihat pada poin (5) pakaian baju Balahadada. (Gambar
Terlampir)
Makna yang ada pada aksesoris ini adalah sebagai
penghias atau penambah penampilan agar lebih indah namun seperti ikat kepala,
gelang tangan dan ikat pinggang menandakan bahwa wanita Buton dalam menjalankan
kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat dan agama yang harus dipatuhinya
dan dijalankan dengan hati ikhlas, kampurui merupakan kelengkapan
pakaian kebesaran para pria Buton”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar