Dalam literatur
sosiologi (Stewart, 1978) dikemukakan bahwa ada dua atribut sikap
kemasyarakatan yang amat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat yaitu historis
atau kebanggaan sejarah dan vitalitas yaitu kemampuan untuk tetap bertahan
hidup. Masyarakat yang menyikapi kedua atribut tersebut secara positif akan mencapai
kemajuan lebih dari pada masyarakat lain yang kurang/tidak memiliki respon
terhadap hal tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah
masyarakat Buton pada masa lampau memiliki kedua atribut sikap kemasyarakatan
tersebut? Secara akademik pertanyaan diatas tidak dapat dijawab dengan sebuah
pernyataan hitam putih. Diperlukan penelusuran dan pengkajian data kesejarahan
masyarakat Buton selama kurang lebih 6 abad masa pemerintahan dan kesultanan
Butuni.
Dari catatan sejarah yang
telah diketahui, ada satu nilai budaya Wolio-Buton yang patut dibanggakan oleh
masyarakat Buton dewasa ini oleh karena menjangkau lingkup unversal. Nilai ini
diterima dan berlaku bagi seluruh umat manusia, tanpa mengenal perbedaan warna
kulit, ras, asal keturunan, agama dan aliran kepercayaan maupun faham politik
dimanapun di seluruh dunia. Nilai yang dimaksud adalah Bhinci-Bhinciki Kuli.
Dikemas hanya dalam tiga kata bahasa Wolio-Buton, singkat, padat dan sarat
makna. Konsepnya begitu sederhana, mudah difahami dan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Direkamnya ke dalam batin dan pikiran setiap manusia untuk
mencubit diri sendiri, sebelum mencubit orang lain. Yang digugah adalah
kejujuran pada hati nurani kemanusiaan dalam mengekspresikan “rasa” yang dalam
terminologi bahasa Wolio disebut “namisi” Konsep rasa inilah yang
menjadi akar persamaan manusia yang menjadi satu dengan sesamanya.
Kejujuran
dalam hati nurani adalah kunci penentu dalam menggerakkan akal budi manusia.
Seseorang yang tidak jujur pada hati nuraninya, hampir dapat dipastikan orang
bersangkutan berpotensi dan cenderung untuk tidak jujur pada orang lain.
Kejujuran hati nurani untuk mengakui kesamaan rasa kemanusiaan akan
berpengaruh besasr terhadap jiwa dan akal budi yang mendorong perlaku sesorang.
Sebagai unsur terkecil dari sebuah masyarakat, maka perilaku anggotanya dapat
mempengaruhi lingkungannya. Dalam hubungan ini maka azas Bhinci-Bhinciki
Kuli berperan sebagai etika sosial dan alat kontrol bagi masyarakat.
Bhinci-Bhinciki Kuli
sebagai pandangan hidup dan etika sosial masyarkat Buton selama lebih 6 abad
sejarahnya, telah dihayati dan mewarnai perilaku masyarakat, malah pada tingkat
yang lebih dalam telah membentuk apa disebut oleh To Thi Anh (1984) sebagai
“ketaksadaran Kolektif” yang mendasari hidup masyarkat Buton. Di dalam
masyarkat, Bhinci-Bhinciki Kuli telah menjadi “batu timbangan” untuk
menimbang dan menilai perilaku seorang termasuk perilaku penguasa. Azas ini,
tidak hanya menyangkut kesamaan rasa antara sesama anggota masyarakat,
melainkan juga berkenaan dengan kesamaan rasa antara penguasa pemerintah
negeri. Pada saat masyarakat menyaksikan perilaku penguasa, pejabat, atau
siapapun yang bertindak melampaui batas kewajaran sehingga merugikan orang
lain, terdengar kecaman masyarakat: “…yinda abhinciki kulina..”.
Maksudnya: …tidak mencubit dirinya sendiri. Ini merupakan ungkapan kebencian,
prihatin dan protes masyarkat terhadap perilaku yang tidak wajar tersebut.
Tiga aliran kebudayaan Timur
yakni Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme telah mempengaruhi seluruh Asia lebih
dari 2000 tahun. Konfusianisme sangat besar pengaruhnya dalam keterikatan
sosial untuk sebagian besar Asia: Cina, Jepang, Korea dan Vietnam. Hakekat
ajaran Konfusianisme berpusat pada “zen” yang biasa diterjemahkan dengan
kemanusiaan yang benar, kehendak baik, manusia yang mempunyai hati, empati,
hubungan sesama manusia.
Tse Kong, salah seorang murid
Konfusius, menanyakan apakah ada peraturan yang dapat membimbing manusia selama
hidupnya? “Cinta”, jawab Konfusius. Jangan berbuat kepada orang lain apa yang
dia tidak suka orang lain berbuat terhadap dirinya (Lun Yu, dalam To Thi An,
1984). Seperti dijelaskan oleh Houston Smith, zen serentak mengandung rasa
perikemanusiaan terhadap orang lain dan penghargaan terhadap diri sendiri,
suatu yang harus ada dalam kelayakan martabat hidup manusia dimana saja berada.
Kelapangan hati seperti ini
tidak mengenal batas-batas negara, karena seorang manusia “zen” tahu
bahwa “dalam batas empat samudera semua orang bersaudara”.
Sebagai suatu etika antara
manusia dalam masyarakat, kemanusian zen bukan suatu kemanusian yang abstrak
atau suatu arketib planonis atau suatu yang diperintahkan oleh langit yang
tidak bisa diwujudkan. Zen adalah perasaan dari realitas manusia dan
keberadaannya diantara manusia-manusia (Pierre Dodinh, 1969).
Pada dasarnya konfusianisme
adalah suatu sikap humanistis yang mengesampingkan segala metafisika dan
mistisme yang tidak berguna menaruh perhatian yang sangat dalam terhadap
hubungan hakiki antara manusia, dan tidak dalam dunia rokh atau dalam
keabadian. Ajaran paling kuat dari humanisme ini adalah “ukuran manusia
adalah manusia” (Lin Yutang, 1943).
Dari penjelasan tentang zen
yang menjadi inti ajaran konfusianisme tersebut diatas terlihat jelas adanya
kesamaan dengan etika sosial Bhinci-Bhinciki Kuli yang mulai berkembang
di Buton pada permulaan abad 14. Keduanya mengambil “rasa kemanusiaan”
sebagai ukuran dalam hubungan sesama manusia.
Substansi humanisme “Bhinci-Bhinciki
Kuli” adalah persamaan manusia, sebagaimana juga hal ini diajarkan dalam
humanisme Islam bahwa “pada manusia dasarnya adalah sama di hadapan Allah Swt,
yang membedakan adalah nilai taqwanya. Implikasi dari pandangan hidup seperti
ini melahirkan moral yang mendorong manusia untuk berbuat baik kepada
sesamanya. Secara demikian manusia akan mencapai tingkat martabat yang layak
untuk hidup dengan sesamanya dimanapun di dunia.
Di dalam pandangan Islam
manusia diposisikan pada tempat yang mulia, sejauh ia beriman kepada Allah Swt.
Dalam Surat Ali Imran ayat 110 Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang beriman,
kamu ini sebaik-baik manusia yang dikeluarkan, dijadikan untuk manusia lain,
tugasmu ada tiga, sebagai pelopor menegakkan yang baik, yang wajar dan layak,
yang memberikan kebahagiaan hakiki; menghindarkan segala yang merusak, yang
munkar dan semua itu kamu lakukan dengan dasar iman kepada Allah Swt. Inilah
kualitas umat Islam yang harus dicapai sebagai tujuan hidupnya (Muh Natsir,
1969).
Sangat patut diduga bahwa
masuknya Islam ke Buton yang tidak menimbulkan “benturan” dalam masyarakat
adalah oleh karena humanisme Islam mendapatkan tempat dalam pangkuan etika
sosial Bhinci-Bhinciki Kuli yang dianut masyarakat Buton. Justru etika
sosial Bhinci-Bhinciki Kuli dengan humanisme Islam yang berlandaskan
tauhidullah mendorong terjadinya “aklturasi budaya” dan menjadikan
bhinci-bhinciki kulit sarat dengan muatan makna serta nuansa simbol-simbol baru
yang mampu merekatkan masyarakat buton yang majemuk menjadi masyarakat kohesif
dalam perjalanan sejarah yang panjang beberapa ratus tahun yang lampau.
Dewasa ini etika
Bhinci-Bhinciki Kuli sudah kurang difahami oleh generasi muda Buton, sementara
di kalangan generasi tua sudah jarang pula memberikan keteladanan yang memadai.
Oleh karena itu dipandang perlu untuk disosialisasikan kembali dengan berbagai
jalan antara lain lewat artikel ini dengan harapan semoga kita generasi muda
Buton bisa memulai mengimplementasikan pertama bagi diri kita sendiri, keluarga
seterusnya dalam kehidupan bermasyarakat. (MWM-LMO-ful-walio)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar