By : Hasmina Syarif
Dunia
berjalan dalam suatu proses transisi dari persaingan lokal menuju persaingan
global yang kian ketat dan membutuhkan karakteristik unik multinasionalitas
agar dapat bertahan didalamnya karena globalisasi selalu berujung pada
kompetisi yang ketat dan terkadang diselimuti ketidakpastian.
Keunggulan manajemen Jepang yang berkarakter “cost-saving” dan "hi-quality" dalam menghadapi
persaingan global tidak lebih karena penerapan manajemen yang baik yang
diperoleh melalui kerja keras,
terbuka dan mau belajar dari negara lain pasca kekalahan negara tersebut di PD-II tanpa mengabaikan
identitas nilai kultur leluhur mereka. Karakter yang menonjol yang menjadi sumber keunggulan negeri matahari terbit itu adalah tertanamnya “filosophy kerja kaizen”, yaitu keinginan untuk selalu melakukan perbaikan yang tidak pernah berakhir yang telah mendarah daging bahkan sudah merupakan cara hidup dikalangan masyarakat, pebisnis maupun pemerintahnya.
terbuka dan mau belajar dari negara lain pasca kekalahan negara tersebut di PD-II tanpa mengabaikan
identitas nilai kultur leluhur mereka. Karakter yang menonjol yang menjadi sumber keunggulan negeri matahari terbit itu adalah tertanamnya “filosophy kerja kaizen”, yaitu keinginan untuk selalu melakukan perbaikan yang tidak pernah berakhir yang telah mendarah daging bahkan sudah merupakan cara hidup dikalangan masyarakat, pebisnis maupun pemerintahnya.
Masyarakat Jepang menyadari bahwa setiap hari adalah tantangan baru yaitu perbaikan untuk perubahan lebih baik. Bahkan dikalangan pelaku bisnis dikenal memiliki moto yaitu; “Engineers at Japanese plants are often warned, ‘There will be no progress if you keep on doing things exactly the same way’” (para insinyur di Jepang sering diingatkan akan sebuah moto, ‘Tidak pernah akan ada kemajuan jika anda mengerjakan sesuatu dengan cara yang sama dari waktu ke waktu). Kaizen menganjurkan untuk tidak boleh diam karena, pembangunan berkelanjutan harus dimulai dengan perbaikan dari hal-hal yang kecil yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang. Tidak ada usaha yang kecil akan memperoleh hasil yang besar terkecuali usaha kecil tersebut di dilakukan sesering mungkin.
Kaizen
Workshop di salah satu Perusahaan Jepang
|
Manajemen
yang berbasis Kaizen saat ini begitu berkembang diterapkan di Jepang
bahkan sudah merambat dan menjangkau luas kebeberapa negara lainnya di Eropa, Amerika dan di Asia. Diberbagai mas media di Jepang mulai dari koran-koran, radio, serta televisi hampir setiap hari
diserang dengan pernyatan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pengusaha, pejabat
pemerintah, politisi mengenai kaizen tentang pertimbangaan perdagangan dengan
negara-negara lain, kaizen tentang sistem kesejahteraan sosial dan kaizen
tentang peningkatan kinerja perusahaan swasta dsb.
Istilah "Kaizen"
bersumber dari kontraksi dua karekter dalam
bahasa Jepang yang berasal dari kata “Kai” yaitu "perubahan", “Zen” yang berarti “lebih baik”. Jadi pengertian kaizen secara sederhana adalah usaha perbaikan/penyempurnaan secara
kecil-kecilan dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua jajaran dalam level
organisasi, dari manajemen tingkat atas/pimpinan sampai ketingkat bawah agar
selalu lebih baik dari kondisi sekarang. Kaizen juga telah diterjemahkan oleh
manajemen barat dengan “Continuous Improvement” dalam pengelolaan dan perbaikan proses di tempat
kerja.
Kaizen system juga diterapkan dibanyak perusahaan Amerika
dan Eropa.
|
Awal keberadaan kaizen, didasari budaya leadership Jepang klasik yang bersumber dari kredo “bushido” dari kelompok kesatria Jepang yang dikenal dengan samurai, suatu kelompok dengan posisi semacam leader dalam masyarakat Jepang kuno yang menanamkan tujuh nilai leluhur yang telah diterapkan sejak 1100 tahun yang lalu yaitu Chu (tugas dan kesetiaan) Gi (adil & bermoral), Makoto (tulus ikhlas), Rei (sopan santun), Jin (kasih sayang), Yu (keberanian heroik) dan Meiyo kehormatan).
Sebagai suatu falsafah hidup masyarakatnya, pemahaman dan implementasi kaizen tidak saja diamalkan dalam kehidupan kerja di perusahaan maupun pemerintahan, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial, kehidupan rumah tangga, yang mengarahkan agar selalu berfokus pada upaya perbaikan terus menerus secara bertahap, sekecil apapun perbaikan itu pasti akan berguna.
Pada awal abad ke-20, istilah
kaizen perlahan mulai muncul dalam karya terbitan orang Jepang, namun kata itu belum digunakan secara luas pada masyarakat umum. Istilah Kaizen mulai berkembang di Toyota 1950 – 1960an, sebagai bagian
dari strategi pengembangan dalam konsep Toyota Production System (TPS) yang diprakarsai oleh
Taichi Ohno (mantan executive vice presiden Toyota Motor Jepang) yang menghasilkan
orang-orang yang dapat menganalisis metoda kerja dan membuat perbaikan untuk
meningkatakan kinerja proses yang mengutamakan kreatifitas ketimbang modal sebagai prioritas besar toyota saat itu.
Dominasi keunggulan manajemen Toyota
Production System (TPS) yang berintikan kaizen terbukti telah menghasilkan
loncatan kinerja yang luar biasa dan karena efektif berorientasi "low cost" bahkan berhasil diterapkan dibeberapa negara lainnya termasuk Indonesia. Hal ini juga telah memprakarsai munculnya konsep-konsep manajemen operasional yang sudah banyak dikenal
seperti konsep aliran Produksi Tepat Waktu (Just In Time), 7 Pemborosan
(7 waste), 5S/5R (Ringkas, Rapih, Resik, Rawat, Rajin), sistem Kanban, Total Perawatan
Terpadu (Total Productive Maintenance), 8 Langkah Proses Penyelesaian Terpadu
(8 Steps Problem Solving Process) dan yang lainnya. Keberhasilan penerapan pendekatan diatas telah terbukti banyak memberi konstribusi keunggulan
yang ditunjukan oleh perusahaan Jepang lainnya seperti Honda, Nikon, Canon,
Mitsubishi, Nisan dan lain-lain, termasuk dalam tatanan manajemen pemerintahan
Jepang.
Toyota misalnya, sebagai
nama besar dan ikon keberhasilan industri manufaktur dalam bidang otomotif
Jepang yang berawal dari industri tekstil ini mampu menjelma dan
mengembangkan produk otomotif komersialnya sebagai produsen mobil Jepang
sekaligus yang terbesar dan tersukses hingga menjangkau seluruh pelosok
didunia. Keberhasilan toyota dalam menerapkan pola perbaikan ala kaizen yang
berkembang merupakan awal keberhasilan sistem produksi mereka yang dikenal
dengan Toyota Production System (TPS) atau di barat dikenal dengan istilah "Lean Manajement', telah dianggap sebagai salah satu
praktisi utama yang paling terkenal berhasil dalam menerapkan sistem kaizen yang
terintegrasi dengan budaya organisasi yang revolusioner melalui pola 4P
(Philosophy, People, Process dan Problem solving).
Penerapan kaizen di lini produksi
Toyota pada awalnya sangat memungkinkan setiap pekerja dalam mendeteksi
kerusakan yang terjadi secara otomatis dengan mudah, lalu menghentikan seluruh jalur
perakitan untuk kemudian memperbaiki cacat yang terjadi, sembari mengidentifikasi akar
permasalahannya dengan menggunakan mentoda pendekatan Plan-Do-Check-Action
(PDCA) yang bersumber dari teori Deming. Pertemuan-pertemuan dalam satuan kerja kelompok kecil di mana karyawan mengetahui masalah di tempat kerja
yang sebenarnya dapat memberikan saran kepada manajemen tentang cara meningkatkan efisiensi seperti
waktu siklus (cycle Time), waktu ancang ancang (lead time) untuk memenuhi waktu
pacu (takt time) yang telah ditentukan untuk menjamin jadwal permintaan
pelanggan dalam kontek internal (didalam jalur produksi) maupun pelanggan
external (pembeli).
Sejalan dengan visinya, strategi
kaizen di toyota diarahkan pada aspek apa yang paling penting untuk meningkatkan kinerja yaitu kualitas (quality), biaya(cost) dan
pengiriman (Delivery), tidak lain hanya untuk memuaskan pelanggannya. Aspek kualitas tidak hanya berkaitan dengan kualitas produk jadi atau jasa
layanan, namum juga kualitas dari proses yang menghasilkan produk maupun jasa
layanan. Biaya terkait dengan biaya keseluruhan sejak dari merancang, menjual,
memelihara produk dan jasa layanan, sedang aspek penyerahan (delivery) adalah
menyerahkan produk atau jasa layanan dalam jumlah dan waktu yang tepat.
Toyota meyakini benar, apabila ketiga kondisi yang dirumuskan dalam hal
yang menjadi sasaran kaizen tersebut terpenuhi maka konsumen akan terpuaskan.
Untuk mewujudkan ketiga aspek diatas, metoda kerja dan sumberdaya yang meliputi tenaga kerja, informasi, peralatan dan material harus dikelola dengan tepat yang pengelolaannya membutuhkan standar. Untuk menjamin standar yang baik, setiap kali terjadi masalah atau ketidakwajaran harus dilakukan identifikasi untuk mengetahui akar permasahan yang timbul dan segera ditanggulangi dengan cepat, sekaligus mengubah standar yang ada dan selanjutnya menerapkan standar baru serta mencegah terjadinya suatu permasalahan yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian standar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kaizen sebagai dasar dari perbaikan berkesinambunagan yang dilakukan sehari-hari.
Awal penerapan filosofi kaizen dalam mengoptimalkan kinerja TPS, peran kaizen sangat serius mengarahkan seluruh karyawan untuk melihat bahwa tidak semua kerja bernilai tambah, oleh sebab itu elemen kerja yang tidak memiliki nilai tambah harus diperangi karena akan berdampak pemborosan yang dikenal dengan Mura (ketidakseimbangan proses kerja), Muri (kelebihan beban kerja) dan Muda yang merupakan 7 pemborosan ("7 waste") yang harus dihilangkan meliputi ; 1) produksi berlebihan (overproduction), (2) persediaan berlebihan (excess inventory), (3) sisa bahan dan pengerjaan ulang (scrap and rework), (4) waktu tunggu (waiting time), (5) pengangkutan berlebih (excess conveyance), (6) gerakan berlebihan (excess motion) dan (7) pemprosesan berlebihan (overprocessing). Ketiga fenomena diatas merupakan rintangan yang berpotensi menghambat produktifitas proses produksi dan terciptanya qualitas produk yang baik.
Oleh karena ketujuh pemborosan diatas awalnya diterapkan di Toyota, seiring
dengan perkembangannya banyak perusahaan yang merubah atau menambahkan kemungkinan
bentuk pemborosan yang berpotensi muncul sesuai dengan kondisi masing-masing,
misalnya saja kegagalan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia, sistem dan
prosedur yang tidak efisien, banyaknya energi yang terbuang dengan sia-sia,
pelayanan yang tidak efisien, lamanya menunggu dokumen tiba maupun diproses
atau berkenaan dengan kesalahan dalam dokument atau transaksi dan sebagainya
adalah merupakan hal-hal yang sering ditemukan dan ditambahkan.
Penerapan 5S di meja kerja.
|
Lingkungan kerja ala kaizen yang efisien
|
Seiring dengan perkembangan waktu dan dominasi pendekatan serta
keberhasilan penerapan sistem perbaikan ala “kaizen” yang sebelumnya hanya
diterapkan dan menjadi rahasia keberhasilan manajemen Jepang kini telah menarik dunia barat dan beberapa negara lainya
di Asia. Indikator inilah yang telah memicu banyaknya pihak diluar Jepang yang berlomba-lomba mempelajari bagaimana implementasi
manajemen kaizen yang sebenarnya di negeri matahari terbit
tersebut.
Tulisan ini, bukan untuk
mengatakan bahwa cara "kaizen" adalah akhir dari semuanya untuk menjadikan solusi
dalam memperbaiki semua masalah ekonomi maupun sosial saat ini, tetapi
merupakan awal yang baik untuk memecahkan beberapa permasalahan subtansial. Adalah wajar jika tidak sedikit dari yang membaca tulisan ini
akan bertanya khususnya kepada meraka yang berperan sebagai pembuat keputusan
dalam suatu organisasi baik organisasi bisnis maupun pemerintahan ada yang akan
bersenandung dengan mengatakan ; apa mungkin budaya kaizen termasuk proses
manufaktur Toyota akan berhasil dilakukan dengan cara saya menjalankan
perusahaan atau pemerintahan ditempat saya?
Beberapa orang akan mengatakan segalanya dan juga tidak sedikit yang akan mengatakan "tidak". Bahkan bagi mereka yang berasal dari instansi pemerintahan secara tegas akan bertanya ; apakah kaizen dapat diterapkan di pemerintahan? maka jawabannya, kaizen adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada pendekatan manusiannya (personal approach) untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan dan merubah kultur organisasi menjadi lebih baik. Bukankah hal tersebut juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan manajemen pemerintahan.
Beberapa orang akan mengatakan segalanya dan juga tidak sedikit yang akan mengatakan "tidak". Bahkan bagi mereka yang berasal dari instansi pemerintahan secara tegas akan bertanya ; apakah kaizen dapat diterapkan di pemerintahan? maka jawabannya, kaizen adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada pendekatan manusiannya (personal approach) untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan dan merubah kultur organisasi menjadi lebih baik. Bukankah hal tersebut juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan manajemen pemerintahan.
Hasil
kaizen di salah satu industri komponen otomotif di Indonesia
dibawah arahan Wolio
Genba Manajement Specialist
|
Untuk berubah harus berawal dari
tekad dan kemauan yang besar melalui perubahan mindset kita dengan harus
membuka terhadap pengetahuan yang mampu memberi nilai tambah (value added) demi perubahan lebih baik, dari manapun asalnya selama itu tidak keluar dari
tatanan nilai budaya kita dan lebih bijak jika direspons secera positif dengan sifat keterbukaan kita untuk menerimanya. Bukankah untuk lebih baik maka perubahan
dengan cara cerdas mutlak dilakukan karena didunia tidak ada yang kekal
kecuali perubahan itu sendiri. (Wolio-Kaizen & Genba Manajement Specialist )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar