Apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan kearifan lokal ? Secara umum, kearifan lokal
dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kearifan
lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Adapun kearifan budaya lokal
ialah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan,
norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut
dalam jangka waktu yang lama.
Inovasi
dan kearifan lokal acapkali dipandang saling bertentangan. Inovasi, sebagai
cikal bakal atau pemicu awal bergulirnya perubahan sosial, dianggap mewakili
sisi masyarakat yang modern, dinamis, serta penuh semangat untuk mencapai
kemajuan. Sedangkan kearifan lokal sering dituding terlalu tradisional, statis,
dan cenderung mengandung keinginan mempertahankan keadaan tetap sebagaimana
adanya. Asumsi tersebut diperkuat pula oleh pendapat kebanyakan
tokoh teori modernisasi bahwa budaya tradisional, termasuk kearifan lokal,
merupakan tanda keterbelakangan dan penghambat dalam pencapaian kemajuan sosial
ekonomis. Suatu
pendapat yang semakin mengokohkan polarisasi antara inovasi dengan kearifan
lokal.
Namun, pendapat berbeda dikemukakan
oleh Michael R. Dove (dalam Suwarsono, 1994 : 62-63). Bagi Dove,
tradisional tidak harus berarti terbelakang. Dalam kajiannya mengenai interaksi
antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia dengan beragam budaya
maupun kearifan lokal, Dove melihat bahwa budaya tradisional sangat dan selalu
terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat
pada tempat dimana budaya tradisional tersebut melekat. Jika demikian halnya,
menurut Dove, budaya tradisional akan senantiasa mengalami perubahan yang
dinamis, sehingga sama sekali tidak menghambat inovasi menuju kemajuan.
Sebagai contoh, lihat saja
bagaimana dua bangsa Asia Timur, yaitu Jepang dan Cina, telah lama
menggabungkan kearifan lokal serta tradisi spiritualitasnya yang kaya dengan
inovasi dan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Jepang, misalnya, selalu
memadukan prinsip-prinsip manajemen modern dengan tradisi Kaizen yang diwarisi
dari era Samurai dahulu. Bukan hanya itu, dalam proses modernisasi Jepang,
nilai-nilai tradisional seperti ’loyalitas tanpa batas pada Kaisar’ akan dengan
mudah diubah menjadi ’loyalitas pada perusahaan’, sehingga sangat membantu
meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi pembajakan ataupun
perpindahan tenaga kerja antar perusahaan. Sedangkan di Cina, nyaris semua
gedung bertingkat yang ada di kota-kota besar negeri Tirai Bambu itu dirancang
berdasarkan prinsip Feng Shui, meski tentunya tanpa mengabaikan kaidah-kaidah
arsitektur modern.
Mencermati kegemilangan
yang diraih bangsa-bangsa lain ketika berhasil mencari titik temu antara
kearifan lokal dan inovasi, rasanya terlalu naif bila masih saja
mempertentangkan keduanya. Terlebih bila mengingat bahwa bangsa Indonesia lahir
atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat)
maupun sentrifugal (daerah). Dengan demikian, abai terhadap nilai dan kearifan
lokal berarti melawan kodrat sebagai negara bangsa.
Dalam masyarakat Indonesia yang
multikultural, sesungguhnya tidaklah sulit menemukenali berbagai kearifan lokal
yang hidup dan menghidupi masyarakat. Kearifan lokal dapat ditemui dalam
nyanyian, pepatah, petuah, ataupun semboyan kuno yang melekat pada keseharian.
Kearifan lokal biasanya tercermin pula dalam kebiasaan-kebiasaan hidup
masyarakat yang telah berlangsung lama ataupun nilai-nilai yang berlaku di
kelompok masyarakat bersangkutan. Nilai-nilai tersebut umumnya dijadikan
pegangan, bahkan bagian hidup yang tak terpisahkan, hingga dapat diamati
melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Kearifan lokal tadi, jika didayagunakan
dengan tepat, diyakini akan mampu mendorong inovasi dan perubahan ke arah kemegahan
serta kegemilangan seutuhnya.
Berbicara tentang
inovasi, tentunya takkan mungkin terjadi bila tak didukung oleh penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang memadai. Ini sudah diingatkan sejak dahulu oleh
kearifan lokal Yogyakarta. Mencari pengetahuan itu adalah
keharusan bagi setiap orang. Pencarian pengetahuan harus dijalani dengan usaha
keras agar dapat dicapai hasil yang memadai (ngèlmu iku kelakoné kanthi
laku).
Selanjutnya, di Sumatera Utara, ada
kearifan lokal yang menyatakan ’adat hidup berkaum bangsa, sakit senang sama
dirasa, adat hidup berkaum bangsa, tolong menolong rasa merasa’. Kearifan lokal ini sesungguhnya sangat
bermakna dalam merekatkan solidaritas antar anggota masyarakat. Bila
benar-benar dipedomani, maka kegairahan untuk berinovasi dan mengembangkan diri
dipastikan meningkat karena dirasa bermanfaat bagi kepentingan bersama. Kemajuan
salah satu pihak akan dipandang sebagai kemajuan bersama dan dapat dimanfaatkan
demi mengangkat harkat sesama. Sebaliknya, kemunduran harus dihindari karena
merugikan semua orang.
Meskipun
dibatasi oleh kefanaan, tetapi kearifan lokal yang cukup menonjol
di Yogyakarta ialah bahwa setiap manusia sepatutnya
bersungguh-sungguh berusaha keras secara tanpa kenal lelah (sepi
ing pamrih ramé ing gawé). Bila dimaknai secara mendalam,
ini berarti bahwa setiap orang harus ulet dalam bekerja untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga. Keuletan serta produktivitas kerja
dipandang sebagai hal yang bernilai. Dengan demikian, tak mengherankan bila
yang timbul kemudian adalah semangat untuk senantiasa berinovasi dan
meningkatkan kinerja. Perlu diingat pula bahwa bekerja
tidak boleh sembarangan, tergesa-gesa, atau asal jadi, melainkan harus teliti,
cermat, dan penuh perhitungan, supaya beroleh hasil maksimal (alon-alon
waton kelakon, kebat kliwat, gancang pincang).
Adapun di Lampung, terdapat prinsip
’nemui nyapur’ atau membuka diri dalam pergaulan. Bagaimana prinsip ini
dapat dimanfaatkan untuk mendukung inovasi ? Inovasi tak pernah datang begitu
saja. Inovasi lazimnya diawali keingintahuan atau ketidakpuasan, upaya mencari
jawaban atau pemecahan, pengumpulan sumber daya untuk memulai inovasi sebagai
jawaban atau pemecahan, dan lantas diakhiri dengan menyebarluaskan inovasi agar
diketahui serta nantinya dapat dimanfaatkan oleh sebanyak mungkin anggota
masyarakat. Dalam pengumpulan sumber daya serta upaya menyebarluaskan inilah
pergaulan menjadi sangat penting.
Dengan
pergaulan dan jejaring sosial yang luas, takkan sulit bagi seorang inovator
untuk menghimpun sumber daya yang dibutuhkannya. Jejaring sosial pada
gilirannya juga dapat menumbuhkan rasa percaya, saling memahami, saling
mendukung, juga kesamaan nilai, sehingga
turut mendukung ditemukannya inovasi serta terobosan-terobosan baru. Dan ketika
inovasi telah mewujud, jejaring sosial kembali bisa dimanfaatkan sebagai media
untuk menyebarluaskannya.
Beralih
ke Nusa Tenggara Timur, prinsip ’bugu wai kungu, uri wai logo’ merupakan
kearifan lokal yang cukup menonjol. Prinsip ini bermakna bahwa setiap orang
harus ulet dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan
keluarga. Disini tampak betapa keuletan serta produktivitas kerja dipandang
sebagai hal yang berharga. Dengan demikian, tak mengherankan bila setiap orang
pada akhirnya terpacu untuk senantiasa berinovasi dan bekerja.
Di Gorontalo, terdapat kearifan lokal yang mengandung ajakan ’dulo
ito momongu lipu’ (mari kita membangun negeri). Dalam hal ini, segenap
pemangku kepentingan (stakeholders) masyarakat diajak untuk terlibat
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Pembangunan merupakan segenap
usaha yang diinginkan dan direncanakan (intended
and planned changes) untuk mencapai kemakmuran material (standard
of life) dan sosial (quality of life)
yang lebih baik, lebih maju, lebih diharapkan dari kondisi sebelumnya.
Dalam pembangunan, faktor terpenting sesungguhnya adalah manusia,
karena merupakan pelaksana, sekaligus sebagai sasaran pembangunan itu sendiri.
Keterlibatan manusia dalam
pembangunan adalah sebagai subyek pelaku dan penikmat pembangunan itu sendiri.
Mengutamakan manusia dalam pembangunan berarti memberi peluang pada manusia
lebih banyak untuk berperan aktif, mengerahkan kapasitasnya, dan menjadi aktor
sosial ketimbang obyek yang pasif. Ini, antara lain, dapat ditempuh
melalui dorongan terhadap lahirnya beragam inovasi yang dapat meningkatkan
taraf hidup dan mendukung upaya pencapaian tatanan sebagaimana dicita-citakan
bersama. Ajakan ’dulo ito momongu lipu’ hampir senada dengan kearifan
lokal yang dikenal di Papua, yakni ’sep de pep ne depik tibo senem’
(kita bergandengan tangan untuk membangun) dan ’mbilim kayam’ (membangun
bersama).
Pada akhirnya, inovasi semestinya pula mempertimbangkan pengembangan
keberlanjutan (sustainable development),
agar pembangunan dapat sejalan dengan upaya mempertahankan daya dukung
lingkungan. Inovasi di bidang energi, misalnya, diharapkan mampu menemukan
sumber-sumber energi alternatif dan cara pemanfaatannya secara massal untuk
menggantikan sumber energi fosil (minyak bumi, batubara, gas alam) yang telah
terbukti sebagai penyebab utama meningkatnya kerusakan lingkungan serta
pemanasan global.
Pemenuhan
kebutuhan masa kini juga selayaknya mempertimbangkan keberlanjutan di masa
depan (lumintu) sebagaimana diingatkan oleh kearifan lokal masyarakat
Yogyakarta. Jangan sampai, dengan alasan inovasi, malah terjadi keserakahan
ataupun eksploitasi secara berlebihan (angkara murka) sehingga
mengancam kelestarian lingkungan. Bagaimana pun, kelestarian amat ditentukan
oleh kecakapan dan kebijaksanaan manusia (rahayuning bawana kapurba
waskithaning manungsa). Lagi-lagi, inovasi dibutuhkan untuk
mengintensifkan pemanfaatan lingkungan, tanpa harus memperluas lingkup
eksploitasinya.
Tentunya masih banyak lagi kearifan lokal lainnya yang belum dapat diuraikan satu per satu. Apapun itu, sejatinya menjadi tantangan bersama untuk terus berupaya menggali kearifan lokal sebagai upaya mendukung penciptaan inovasi dalam masyarakat. Semoga dengan demikian, bangsa Indonesia akan selangkah lebih dekat lagi ke arah kebangkitan, kemegahan, dan kegemilangan seutuhnya tanpa sedikit pun mengabaikan identitas budayanya sebagai bangsa yang besar. (Oleh Raja Maspin Winata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar