Oleh : Hasmina Syarif
Kerinduan untuk mencicipi kembali
makanan khas tradisional Pulau Buton - Sulawesi Tenggara dimana tempat saya berasal , kini terkabul sudah setelah dalam kurun kurang lebih dari 5 tahun hampir tidak pernah melihat lansung dan merasakan lagi kelezatan makanan khas tradisional kesukaan saya.
Kerinduan itu terasa tuntas dan terobati pascamudik lebaran pada pertenganhan bulan Agustus sampai awal September 2012 lalu, karena berkat undangan dan ajakan keluarga, teman maupun kenalan, kami
sempat meluangkan waktu untuk menghadiri acara tradisi pesta "pekande-kandea" yang biasanya dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri di hampir seluruh pelosok Pulau Buton yang merupakan eks kesultanan Buton..
Dalam acara tersebut bisanya banyak menyajikan makanan khas tradisional Buton secara lenkap, yang jarang ditemukan pada hari-hari biasa bahkan merupakan makanan langka, lebih-lebih bagi kami yang bermukim di daerah rantau seperti Jakarta.
Kerinduan itu terasa tuntas dan terobati pascamudik lebaran pada pertenganhan bulan Agustus sampai awal September 2012 lalu, karena berkat undangan dan ajakan keluarga, teman maupun kenalan, kami
sempat meluangkan waktu untuk menghadiri acara tradisi pesta "pekande-kandea" yang biasanya dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri di hampir seluruh pelosok Pulau Buton yang merupakan eks kesultanan Buton..
Dalam acara tersebut bisanya banyak menyajikan makanan khas tradisional Buton secara lenkap, yang jarang ditemukan pada hari-hari biasa bahkan merupakan makanan langka, lebih-lebih bagi kami yang bermukim di daerah rantau seperti Jakarta.
Nggak kuat |
Karena faktor keterbatasan waktu, maka kami hanya menyempatkan diri menghadiri acara tradisi turun temurun tersebut dibeberapa tempat yang mudah kami jangkau, antara lain pekande-kandea yang bertempat di Desa Baruta dan Desa Tolandona yang kerap kali dikenal sebagai acara “Bhongkaana Tao” atau “Pembukaan Tahun” dan selain itu kami juga sempat menghadiri acara pekande-kandea yang diadakan Pemda Kota Baubau saat menjamu raja-raja serta sultan di seluruh nusantara yang ikut hadir bertepatan dengan penyelenggraan Festifal Keraton Nusantara VIII (FKN) tahun 2012, yang bertempat dipelataran kantor walikota Baubau, Palagimata.
Pekande-kandea dalam tradisi
masyarakat Buton berarti “makan-makan”, sebagai warisan leluhur suku Buton yang sudah berlansung berabad-abad yang awalnya dimaknai sebagai acara tradisi syukuran kepada sang pencipta atas keberhasilan aktifitas masyarakatnya khususnya dalam bertani dan menangkap ikan.
Pekande-kandea juga dapat dimaknai sebagai ajang silaturahmi untuk memupuk rasa kebersamaan lintas masyarakatnya maupun antara pemimpin dengan masyarakatnya serta mereka-meraka yang merantau yang kebetulan pulang kampung bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Fitri.
Dalam prosesi acara pekande-kandea
berawal dari seluruh warga berkumpul di satu lapangan terbuka atau digedung
besar yang luas untuk menikmati berbagai hidangan makanan tradisional yang
digelar di atas tikar. Penyedian makanan yang disuguhkan berasal dari setiap
anggota keluarga sebagai wujud keterlibatan nyata setiap warga komunitas
kampung/desa. Demikian juga dalam acara pekande-kandea yang diselenggarakan untuk menyambut tamu oleh pemda Baubau menjelang FKN VIII, penyediaan makanan disediakan pihak kelurahan/kecamata/
instansi pemerintaha maupun sekolah-sekolah yang ada di Kota Baubau..
Aneka macam makanan khas daerah diletakan
diatas talang berkaki yang terbuat dari logam (kuningan) dan diisi berbagai macam makanan khas daerah seperti lapa-lapa
(beras dimasak/dikukus dengan santan lalu dibungkus dengan janur), lauk pauk ( ayam
masak kelapa, ikan kadhole, ikan parende dll.), serta aneka macam kue tradisonal seperti cucur,
palaiya, epu-epu (gorengan adonan beras ketan di campur gula merah/gula aren ), onde-onde,
bharuasa (adonan tepung yang disangrai di campur telur) , bolu dan aneka kue
lainnya yang rata-rata manis serta dilengkapi dengan makanan ringan (penganan).
Pada setiap talang makanan yang disediakan
dijaga oleh gadis-gadis cantik yang mengenakan pakaian adat Buton, yang
berwarna warni dengan bercirikan aneka hiasan, manik-manik yang indah dipandang
mata bagi setiap pengunjung yang melihatnya. Para pengunjung yang datang menghadiri acara tersebut berasal
dari semua lapisan, dimulai dari pemimpin daerah, para pejabat tinggi daerah bersama jajarannya,
camat, kepala desa, tokoh masyarakat maupun rakyat biasa yang
mau menyempatkan diri untuk hadir (he he he..mumpung gratis kaliiiii)
Para
tamu dari beberapa lapisan masyarakat dan golongan yang mengikuti prosesi acara pekande-kandea,
sebagian terlihat sedang dilayani makan oleh gadis gadis penjaga masing-masing talang yang sudah
tersedia. Situasi ini tentunya semakin menambah semangat dan selerah makan setiap orang yang terlibat dalam prosesi acara tersebut sekaligus menambah semaraknya acara adat yang selama ini sering dinantikan warga.
Bapak Bupati Kab Buton (ujung) beserta jajarannya |
Dalam pidatonya bapak bupati menyebutkan paska prosesi pilkada Buton 2012 yang sangat meletihkan, dimana setiap orang masih terikat secara
emosional dengan partai atau golongannya, marilah kita kembali bersatu padu dengan
menaggalkan simbol golongan maupun partai yang ada untuk bersama-sama membangun Kabupaten
Buton yang kita cintai.
Minta dibungkus..doong. |
Pekande kandea di Palagimata. |
Keikutsertaan kami sekelaurga dalam acara pekande kandea kali ini, patut disyukuri karena merupakan salah satu cara yang efektif dalam upaya memperkenalkan makanan tradisional khas daerah asal, kepada anak-anak kami sebagai wujud dalam usaha mencintai daerah asal.
Kami menyadari betul, sebagai
keluarga rantau yang bermukim di kota metropolitan seperti Jakarta, menjamurnya tempat makan maupun restoran-restoran berasal dari luar negeri yang
menjual makanan-makanan asing mendorong
anak-anak cenderung hanya mengenal makanan-makanan
asing cepat saji. Sungguh sangat memperhatikan kalau meraka lebih
mengenal pizza, hot dog, ayam kentucky, dunkin donat dan
spagheti dll, dibanding makanan tradisional daerah dimana kedua orang tuanya berasal seperti "lapa-lapa", "ikan kadole", "parende", "cucur", "baruasa", "palaiya"
dll., yang juga sebagai makanan tradisional leluhurnya.
Jika ini dibiarkan malah pada akhirnya membuat “asing" makanan tradisional atau makanan asli daerah dimata anak-anak kita. Ini jelas-jelas sangat memprihatinkan saya sebagai ibu dari anak-anak saya yang selalu berharap dan menghimbau meraka agar selalu menghargai tradisi leluhur.
Jika ini dibiarkan malah pada akhirnya membuat “asing" makanan tradisional atau makanan asli daerah dimata anak-anak kita. Ini jelas-jelas sangat memprihatinkan saya sebagai ibu dari anak-anak saya yang selalu berharap dan menghimbau meraka agar selalu menghargai tradisi leluhur.
Yang patut dijaga dalam melestarikan tradisi pekande-kandea, jangan sampai dimensi
religius dan sosialnyanya hilang, ditambah pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang
kuat, maka pesta rakyat mungkin sekedar kegembiraan yang meninabobokan masyarakatnya.
Artinya, pesta rakyat itu tidak lagi menjadi sarana “pencerahan” untuk
memajukan kehidupan komunitas masyarakat maupun memajukan pembangunan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar