Objek itu berlokasi di Kota Baubau, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Benteng yang dibangun untuk melindungi Keraton Buton di masa
lampau tersebut juga dikenal sebagai Benteng Keraton Buton dengan 100
meriamnya.
Benteng ini berdiri kokoh dengan luas wilayah
22,8 hektar dan dikelilingi tembok sepanjang 2.740 meter di atas bukit.
Bangunan abad ke-16 ini berbahan dasar batu gunung yang direkatkan dengan pasir
dan batu kapur, tinggi benteng bervariasi antara 1-8 meter. Ketebalannya juga, antara 0,5-2 meter.
Terdapat
12 pintu dengan 16 pos pertahanan benteng ini yang pada setiap pintu dan
sudutnya terpasang meriam yang berjumlah seratus pucuk. Dalam area yang
dikelilingi dinding benteng, juga ada banyak benteng kecil. Karena itu, Benteng
Keraton Buton tersebut juga dikenal dengan nama Seribu Benteng. Benteng-benteng
kecil itu menjadi pendukung benteng induk. Setiap benteng dihubungkan dengan
jalan-jalan rahasia.Diantara sekian banyak benteng kecil itu, yang terkenal adalah Benteng Sorawolio. Dari cerita yang beredar, benteng itu berfungsi sebagai tempat pertahanan sekaligus persembunyian keluarga keraton jika benteng utama dikuasai musuh. Yang lain adalah Benteng Baadia yang berfungsi sebagai benteng pengintaian. Posisinya lebih tinggi dari lembah di sekelilingnya. Ada juga Benteng Katobengke. Menurut legenda, di benteng itulah musuh yang tertangkap dieksekusi.
Dalam benteng juga ditemukan situs-situs bersejarah, seperti batu Popaua (batu pelantikan raja/sultan), Malige (rumah adat), Masigi (masjid), dan Sulana tombi (tiang bendera). Sulana Tombi terletak di sebelah kanan Masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultanan Buton.
Tiang bendera setinggi 21 meter tersebut dibangun pada 1712 di antara masa pemerintahan Sultan Ke-4 Dayanu Iksanuddin dan Sultan Ke-5 La Balawo yang bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna Yi Watole.
Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati itu pernah tersambar petir, tapi masih terpancang dan sudah mengibarkan banyak bendera. Mulai bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang, dan tentu saja Merah Putih.
50 Tahun
Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi kompleks istana. Tujuannya, membuat pagar pembatas antara kompleks istana dan perkampungan masyarakat.
Benteng
itu dibangun sejak pemerintahan La Sangaji III (1591-1597) dan selesai secara
keseluruhan pada masa akhir pemerintahan Sultan Ke-6 La Buke Gafarul Wadadu
(1632-1645). Dengan demikian, benteng tersebut dibangun dalam kurun waktu
sekitar 50 tahun dalam masa kepemimpinan tiga sultan yang berbeda.
Kerajaan Buton yang juga dikenal dengan nama Kerajaan Wolio diperkirakan berdiri pada abad ke-14. Para pendirinya adalah pendatang dari Johor, Malaka. Kerajaan itu memiliki hubungan erat dengan kerajaan besar Nusantara, Majapahit di Jawa. Ratu I Buton Wakaakaa kawin dengan Pangeran Sibatara dari Majapahit.
Raja
Buton ketiga bernama Bataraguru dan raja keempat, Tuarade, pernah mengunjungi
Majapahit. Kunjungan Tuarade itu membawa pulang empat tanda kekuasaan raja yang
kemudian dikenal sebagai Syara Jawa (Pranata Jawa).
Prof
Pim (J.W.) Schoorl dari Vrije University, Amsterdam, yang meneliti budaya Buton
sangat menduga bahwa Kerajaan Buton berada di bawah pengaruh Jawa-Hindu. Dua
abad kemudian, kerajaan itu berubah menjadi kesultanan Islam.
Perubahan
sistem kerajaan menjadi kesultanan tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Raja
terakhir di antara 6 raja sekaligus sultan pertama di antara 38 sultan itu memerintah
mulai 1538 hingga 1584 dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya
hingga saat ini masih terawat dengan baik dalam kompleks keraton.
Murhum masuk Islam pada 1540. Adalah Syekh Abdul Wahid bin Sulaiman, ulama asal Semenanjung Tanah Melayu, yang pertama memperkenalkan Islam kepada raja Buton hingga berkembang di jazirah tenggara Pulau Sulawesi.
Murhum masuk Islam pada 1540. Adalah Syekh Abdul Wahid bin Sulaiman, ulama asal Semenanjung Tanah Melayu, yang pertama memperkenalkan Islam kepada raja Buton hingga berkembang di jazirah tenggara Pulau Sulawesi.
Nama Sultan Murhum diabadikan menjadi nama pelabuhan dan nama jalan di Kota Baubau. Di depan pelabuhan bahkan ada patung Murhum yang berfungsi sebagai bundaran simpang enam yang menghubungkan jalan-jalan utama dalam kota. Sungguh kan, di salah satu sudut negeri saja sudah memiliki keindahan yang patut dikagumi tidak saja warga setempat tapi juga turis dari berbagai negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar