Hari ini, saya menyaksikan tahapan awal menuju proses pernikahan dalam payung adat Buton. Saya cukup beruntung bisa menyaksikan tahapan tersebut dari dekat karena pihak yang menikah adalah adik saya Atun.
Tahapan awal yang saya saksikan hari ini adalah potauraka oogena. Secara harfiah, potauraka oogena bermakna pertunangan besar. Sebelum potauraka oogena, biasanya diadakan lebih dahulu potauraka yang lebih kecil yaitu pertunangan dan yang hanya dihadiri oleh kedua belah pihak.
Biasanya, dalam potauraka ini hanya dihadiri
keluarga inti yaitu ayah, ibu, maupun si anak. Namun dalam potauraka
oogena, prosesnya lebih kompleks karena dihadiri oleh perwakilan dua
keluarga yang hendak bertaut. Tidak hanya keluarga inti, namun
perwakilan dua keluarga besar itu ikut hadir. Dua keluarga besar itu
akan dipertemukan dalam satu ruangan kemudian dilakukanlah pembicaraan
penting menyangkut pernikahan, termasuk berapa jumlah boka, kapan
tanggal pernikahan, serta bagaimana perlengkapan acara tersebut. Boka
adalah jumlah mahar yang harus ditunaikan kedua belah pihak. Saya tak
tahu persis apa makna boka, namun diperkirakan tradisi ini sudah ada
sejak Islam pertama masuk ke Tanah Buton.
Besaran boka bervariasi, tergantung pada strata sosial seseorang. Di masyarakat Buton, strata sosial itu terdiri atas tiga bagian, yaitu kaomu, walaka, dan papara. Kaomu adalah kelas kaum bangsawan yang sejak masa silam menjadi eksekutif atau pimpinan tertinggi di pemerintahan. Mereka dicirikan oleh adanya gelar Laode di depan namanya. Sedangkan golongan walaka adalah golongan legislatif yang menjadi pilar utama pemerintahan. Mereka mewakili rakyat biasa, termasuk para intelektual ataupun cerdik pandai di seluruh negeri. Sedangkan papara adalah kelas pekerja yang menjalankan berbagai pekerjaan kasar.
Meskipun pembagian ini
kelihatannya simpel (sederhana), sesungguhnya tidaklah sesederhana ini.
Sebab pada masing-masing strata, terdapat dinamika serta kelas-kelas
tersendiri. Di masing-masing strata, juga terdapat dialektika serta
negosiasi antar kelompok sehingga gelar dan kehormatan tidak selalu
dilihat dalam kerangka yang sederhana.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian kelas ini sudah tidak terlalu nampak. Kategori sosial yang berdenyut di masyarakat sudah mengalami pergeseran menjadi kategori ekonomi. Seorang papara yang kaya atau ekonominya sangat makmur, bisa mendapatkan posisi yang lebih terhormat di masyarakat ketimbang golongan kaomu. Gelar Laode sudah tidak menjadi keistimewaan di tengah laju zaman yang kian menekankan pada profesionalitas dan kapabilitas.
Gelar-gelar itu seakan nyanyi sunyi atau kadang menjadi bahan olok-olok
di tengah stratifikasi masyarakat yang kian menghamba pada putaran laju
ekonomi. Persoalan jumlah besaran boka itu sudah bisa dinegosiasikan.
Seorang walaka yang kemudian menjadi pejabat, seakan bisa menentukan
berapa jumlah boka di acara pernikahan. Ini bukan sekedar guyon. Bulan
lalu, saya pernah menyaksikan dialog di satu keluarga yang bingung
bagaimana mengukur jumlah boka jika kelak anak wali kota Bau-Bau yang
hendak menikah. Ia memakai ukuran zaman kesultanan tentang berapa besar
boka seorang pemimpin. “Yang jelas, jumlahnya harus disamakan dengan
sultan. Ini kan pemimpin kita,” katanya kepadaku.
Saya agak geli juga mendengarnya. Ternyata, persoalan adat bisa dinegosiasikan ketika ada pertimbangan politik di tengah pergeseran zaman seperti ini. Boleh jadi, keluarga itu hendak menjilat di hadapan wali kota. Tapi, itu adalah urusan pribadinya.
Kembali ke soal pernikahan. Keluarga saya berasal
dari golongan walaka. Sedangkan keluarga Acan (kekasih Atun) berasal
dari golongan Kaomu. Dikarenakan dua strata yang berbeda inilah,
persoalan potauraka menjadi arena yang sangat seru disaksikan. Pihak
keluarga laki-laki mengirimkan seorang utusan yang bertindak sebagai
duta (the ambassador) untuk menegosiasikan berbagai urusan keluarga. Ia
mewakili keluarga dan menyampaikan pesan atau amanat.
Sedang kami dari
pihak perempuan, juga memiliki wakil dari anggota keluarga yang paling
paham soal adat. Saat pertemuan, saya menyaksikan ada dialog serta
negosiasi yang cukup alot dan sangat menarik untuk divisualisasikan.
Keduanya laksana berada di forum negosiasi alot antar negara dan
sama-sama berusaha menunjukkan supremasi masing-masing sehingga tuntutan
atau keinginannya bisa diapresiasi yang lain. Sedangkan bagi pihak
satunya, keinginan itu boleh jadi dipandang tidak adil sehingga harus
dicari titik temunya. Maka terhamparlah satu proses dialog yang seru dan
mengasyikkan.
Utusan keluarga laki-laki selalu mempertegas identitas
kebangsawanannya. Sedang kami dari keluarga perempuan lebih banyak
defensif (bertahan) sambil mengedepankan jalan yang terbaik. Yang
menarik bagiku adalah kedua belah pihak sama-sama mengeluarkan
kalimat-kalimat yang “bersayap” dan penuh makna atau simbol yang tidak
dipahami oleh mereka yang tidak banyak mencebur dalam kebudayaan Buton.
Misalnya saja ungkapan dari wakil keluargaku yang menyebut dirinya
sebagai “bapak” dan menyebut golongan Laode sebagai “anak”. Istilah ini
hanya bisa dipahami dengan mengetahui bagaimana dialektika atau pola
hubungan antara kaomu dan walaka.
Dua negosiator ini beberapa kali menyebut adat dan sejumlah contoh-contoh bagaimana selayaknya persoalan tersebut didudukkan. Berbagai contoh kasus sengaja dihamparkan sebagai tanda luasnya pemahaman akan adat sebagai dasar dalam mengambil sebuah putusan. Misalnya saja, kesalahan yang pernah dilakukan Imam Masjid Keraton Buton karena dianggap tidak mengerti adat. Begitu juga dengan banyak kasus yang lain. Bagi saya, contoh kasus yang diangkat adalah upaya yurispudensi atau upaya melihat bagaimana putusan pada kasus terdahulu. Ternyata, masyarakat Buton telah menerapkan aspek yurispudensi saat hendak menetapkan sebuah keputusan penting.
Dalam beberapa hal, saya bisa menangkap ada kesamaan dengan kebudayaan Bugis. Misalnya saja istilah yang mengatakan, “Lelaki memikul dan perempuan menjunjung.” Istilah ini dikemukakan ketika kedua belah pihak bernegosiasi tentang berapa harga yang sama-sama dibayarkan demi menggelar sebuah resepsi pernikahan. Istilah ini juga ada dalam kebudayaan Bugis yaitu “Urane malempa, makunrae majunjung” yang maknanya sama yaitu lelaki memikul, perempuan menjunjung. Artinya, lelaki memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan sebab pikulan selalu lebih besar dari junjungan. Saya tidak paham sejak kapan istilah ini mulai dikemukakan, yang jelas ini sudah menjadi adat dan kebiasaan yang sukar untuk diubah.
Ada beberapa pelajaran berharga yang saya petik hari ini. Pertama, perkara identitas menjadi penting hanya pada momen tertentu, di antaranya adalah pernikahan. Acara pernikahan menjadi arena bagi seorang bangsawan untuk menunjukkan dominasi atau keunggulan dirinya. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka kian marginal sebab kategori yang paling penting adalah profesionalitas, namun di ajang pernikahan, mereka akan mempertegas superioritasnya.
Wilayah adat lahir tidak saja sebagai way of life atau
pola yang mengatur kehidupan sehari-hari, namun juga melestarikan strata
atau ketidaksamaan kelas di masyarakat. Adat jelas terkait kekuasaan.
Bahwa di masa silam, adat sengaja dibuat demi menegaskan superioritas
satu kelompok atas kelompok yang lain. Tatkala zaman mengalami
pergeseran, adat masih menjadi “senjata” yang dipertahankan kelompok
tertentu untuk mempertegas dominasinya. Di sinilah letak anehnya adat
yang seakan jalan di tempat di saat perubahan terus mengepung kita.
Kedua, pernikahan bukan cuma soal mempertemukan dua anak manusia, namun sebuah pesta besar yang mempertemukan dua keluarga besar. Makanya, terjadi negosiasi yang cukup alot dan menyangkut gengsi kedua belah pihak. Ketiga, pernikahan juga bisa menjadi jembatan untuk menguatkan jaringan sosial dua keluarga besar. Hubungan keluarga yang sudah mulai retak, bisa dipertautkan kembali dalam momen pernikahan.(*)(Jihan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar