By : Susanto Zuhdi |
Tidak seperti yang
masih berlangsung di Malaysia dan Brunei, pada umumnya kerajaan yang
dulu pernah berkuasa di wilayah yang kemudian bernama Indonesia, tidak
lagi berdaulat, sejak kemerdekaan 1945 sampai kira-kira tahun 1960. Di
antara kerajaan-kerajaan itu hanya Yogyakarta yang bisa disebut sebagai
“kelanjutan” (meskipun sebagian kecil) dari Kerajaan Mataram yang
didirikan Panembahan Senopati pada tahun 1584. Status Yogyakarta adalah
Daerah Istimewa yang berarti tetap berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh
Sultan Hamengku Buwana, sekaligus sebagai Gubernur dan Paku Alam,
sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam
perkembangannya, sesudah reformasi 1998, tampak ada upaya untuk
menghidupkan kembali tradisi kerajaan-kerajaan lama di Indonesia. Di
dalam acara Festival Keraton Nusantara III di Tenggarong, Kalimantan
Timur pada tanggal 20-30 September 2002 yang dihadiri tidak kurang 34
keraton dari seluruh Indonesia telah mengeluarkan maklumat antara lain
berbunyi “Kami bertekad berjuang agar keraton se-Nusantara menjadi forum
konsultasi dan silaturahmi anak bangsa demi menjaga eksistensi budaya
sebagai jatidiri bangsa”.[1] Terlihat disini bahwa keinginan para
“pewaris” keraton lebih kepada aspek sosial-budaya dan tidak pada aspek
politik kekuasaan.
Selain kesultanan Yogyakarta, kesultanan
Butuni juga merupakan salah satu kesultanan di Nusantara yang menyatakan
diri menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut
catatan sejarah lokal, sistem pemerintahan Kesultanan Buton mulai
ditubuhkan pada masa Sultan Murhum bergelar Qaimuddin I (1491-1537).
Kesultanan Butuni berakhir sebagai sistem pemerintahan bersamaan dengan
berakhirnya masa pemerintahan Sultan yang ke-38, yakni La Ode Muh.
Falihi (1938-1960). Di antara bekas wilayah kekuasaannya antara lain
Tiworo, Muna, Buton, dan Kepulauan Tukang Besi, yang merupakan daerah di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Makalah ini membentangkan Kesultanan
Butuni:[2] mengenai asal-usul berdirinya, sistem pemerintahan dan
politik, adat istiadat penetapan serta pentabalan sultan yang pernah
dijalankan. Akan disinggung juga mengenai hubungan Kesultanan Butuni
dengan Gowa, Ternate, dan VOC. Ketiga kekuatan yang bersaing
memperebutkan kepentingan dan pengaruhnya itu menjadi faktor dinamika
internal dan eksternal Kesultanan Butuni.
1. Asal-Usul Berdirinya Kesultanan
Pada
umumnya berbicara mengenai asal usul penubuhan kerajaan di Nusantara
tidak dapat dipisahkan dari mitos. Demikian pula dengan asal-usul
Butuni. Akan tetapi sumber tertulis tentang Butun terdapat dalam
Nagarakertagama yang selesai ditulis Mpu Prapanca pada 1365. Di dalam
kakawin itu terungkap nama Butun-Banggawi, sebagai nama tempat yang
termasuk dalam wilayah Majapahit.[3] Sebelum itu Butun kiranya sudah
merupakan negeri bahkan dengan susunan sosial-politik tertentu. Selain
Butun, nama Wolio juga melekat pada nama kerajaan itu. Munculnya nama
Wolio bersamaan dengan kisah kedatangan Mia Patamiana ke Butun.
Menurut
mitos Hikayat Sipanjonga disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Butun, Mia
Patamiana berasal dari Johor. Mia Patamiana secara harafiah berarti “si
empat orang” yakni Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati.
Sipanjonga, pemimpin kelompok yang berpindah ke Butun berasal dari Pulau
Liyaa, Johor. Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Buton terbagi
dua, yaitu: kelompok Sipanjonga dan Simalui di Kalampa dan kelompok
Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Kedua kelompok itu membangun
permukiman di tepi pantai. Kemudian kedua kelompok itu bergabung dan
bersama-sama membuka suatu permukiman. Kegiatan membuka belukar dan
menebangi kayu disebut “welia”. Dari “welia” itulah konon muncul kata
Wolio. Penggabungan itu mungkin sekali untuk menghadapi bajak laut yang
sering merampas kepemilikan mereka.
Adapun mitos yang
mengisyaratkan adanya unsur “asli” dalam pembentukan Butuni adalah kisah
Wa Kaa Kaa. Ia seorang perempuan yang keluar dari “buluh bambu”. Mitos
ini memiliki muatan hegemoni kebudayaan Bugis, karena identik dengan
konsep Tomanurung, manusia yang turun dari langit. Akan tetapi yang
menarik disimak bahwa Wa Kaa Kaa kemudian kawin dengan Sibatara,
bangsawan keturunan raja Majapahit.
Sementara itu mitos yang lain
mengisahkan adanya kelompok yang hidup di pedalaman. Kelompok
masyarakat itu dikepalai oleh Dungkungcangia. Ia adalah pemimpim
kelompok pasukan Khubilai Khan yang terpencar akibat serangan balik
Raden Wijaya pada akhir abad ke-13. Oleh karena perbedaan kepentingan,
Sijawangkati dalam suatu waktu berhadapan dengan Dungkungcangia untuk
mengadu kesaktian. Tidak ada yang kalah-menang dalam perkelahian itu.
Mereka kemudian bersepakat untuk membangun kehidupan dengan ikatan
persaudaraan baru. Dungkungcangia yang menguasai Kerajaan Tobe-Tobe itu
bersedia memasukkan negerinya ke Wolio.
Dalam historiografi
tradisional Butuni, sebutan kerajaan dan raja dimulai dari dua orang
perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Setelah itu raja Butuni
adalah laki-laki: Batara Guru, Tuarade dan Raja Mulae. Sejak raja Butuni
keenam, yaitu Lakilaponto yang kemudian lebih dikenal dengan Murhum
(1491-1537), inilah Islam mewarnai kesultanan. Dengan demikian Islam
telah memberi legitimasi baru bagi Butuni dan Wolio.
Dari mitos
versi kisah masuknya Islam, Butun berasal dari bahasa Arab, butun atau
batin atau bathin yang berarti “perut” atau “kandungan”. Dalam kabanti
(bahasa Wolio berarti syair) bernama Kanturuna Mohelana (bahasa Wolio=
Lampunya Orang Berlayar) terungkap:
Tuamo si iaku kupatindamo Demikian itu saya bertanya minta kejelasan
Ikompona incema uincana Di perut siapa kamu nyata
Kaapaaka upeelu Butuuni Karena engkau suka Butuni
Kuma anaiya Butuuni kokompo Kuartikan Butuuni mengandung
Motodikana inuncan kuruani Yang tertulis di dalam Kur‘an
Yitumo duka nita akooni Di situlah pula nabi kita hersabda
Apaincanamo sababuna tana siy Menyatakan sebabnya tanah ini
Tuamo siy awwalina wolio Demikian ini awalnya Wolio
Inda kumondoa kupetula-tulaa keya Tidak selesai kuceritakan
Soo kudingki awwalina tia siy Hanya kusinggung awalnya seperti ini
Taokana akosaro butuuni Sebabnya bernama Butuuni
Aaboorasimo pangkati kalangaana Menempati pangkat yang tinggi
Tentang mitos Wolio dengan versi Islam kisahnya adalah:
“Adalah
seorang musafir Arab yang diperintah Nabi Muhammad untuk berlayar ke
timur menuju sebuah pulau yang sudah lama merindukan kedatangan Islam.
Setibanya di pulau itu, musafir menaruh jubahnya di suatu tempat. Maka
jubah itu menjadi perhatian penduduk. Untuk sekian lama mereka ingin
tahu siapa pemilik jubah itu. Sementara itu bertengger 7 burung di pohon
dekat jubah, sambil menyuarakan bergantian “butuni-butuni-butuni”. Maka
bersujudlah orang-orang di sana begitu melihat musafir yang tiada lain
adalah “Waliyyulloh” (pesuruh Alloh). Dari kata Waliyyulloh itulah
kemudian dikenal kata Wolio”.[4]
2. Masuknya Islam
Ada
beberapa versi tradisi lokal mengenai masuknya Islam ke Buton. Pertama,
Islam masuk kira-kira pada tahun 1540. Tradisi lokal menyebutkan bahwa
pembawa Islam ke Butun ialah Syekh Abdul Wahid, putra Syekh Sulaiman
keturunan Arab yang beristeri puteri Sultan Johor. Sekembali dari
Ternate melalui Adonara menuju Johor, Syekh Adul Wahid berpapasan dengan
gurunya Imam Pasai bernama Ahmad bin Qois Al Aidrus di perairan Flores
(dekat Pulau Batuatas). Sang guru menugaskan muridnya untuk tidak segera
kembali ke Johor melainkan terlebih dahulu menuju ke utara ke negeri
Butun. Berbeloklah perahu yang ditumpangi Syekh Abdul Wahid ke utara dan
berlabuh di Burangasi, di Rampea bagian selatan pulau Butun.
Kehadirannya menimbulkan kecurigaan penduduk sekitar pantai yang selalu
bersiaga menghadapi segala kemungkinan datangnya pasukan La Bolontio
pemimpin bajak laut dari Tobelo. Untuk sementara waktu mereka tidak
diperbolehkan mendarat (Abubakar, 1980: 24).
Selain itu, ada
kisah lain yang berasal dari sumber Melayu yang mengatakan bahwa pada
tahun 1564, seorang bernama Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Patani mengadakan perjalanan dari Patani ke Butun agar penduduknya
memeluk Islam.[5] Kaum muslim Patani adalah orang-orang Melayu baik
secara etnis maupun budaya. Oleh sebab itu, setiap pembicaraan mengenai
sejarah Islam di dunia Melayu secara keseluruhan tidak mungkin tanpa
membahas kaum muslim di Patani. Peralihan keyakinan penduduk wilayah
Patani Siam Selatan kepada Islam terjadi dalam abad ke-14 hingga abad
ke-I. Kesultanan Patani adalah sebuah kerajaan yang cukup banyak
penduduknya dan makmur di Semenanjung Tanah Melayu sampai ia jatuh ke
tangan kekuasaan Thai pada tahun 1786 (Azra, 1994: 258; A. Teeuw dan
D.K. Wyatt, 1970).
Tradisi lisan yang kemudian didokumentasikan
oleh seorang pejabat Belanda mengungkapkan lebih rinci mengenai masuknya
Islam di Butun. Dari tradisi lisan itu dikisahkan:
“bahwa inilah
riwayat dari kita poenja toeroen-temoeroen dikisahkan orang-orang toea
pada anak tjoetjoenja, sehingga dewasa ini. Sedemikianlah boenjinja:
Awahekalam-pada masa Radja Boston jang ke VI bernama Lakina La Ponto
bertachta keradjaan maka kira-kira tahoen 940 hidjrah an Nabi, maka
datanglah seorang goeroe bernama Abdul Wahid dengan dia poenja isteri
bernama Wa Ode Solo dan seorang anak Iaki-laki Ledi Penghoeloe moesjafir
keradjaan Boeton. Maka bertemoelah dengan Radja Boeton laloe
bersahabat.
Goeroe itu seorang KERAMAT serta menerangkan
tentangan dirinya: “saja ini kelahiran Mekkah, toeroenan Sajid, tjoetjoe
Nabi Moehammad s.a.w. Saja ada toeren dinegeri Djohor, laloe berangkat
ke negeri SOLO, achirnja berangkat ke BARANGASI masoek di negeri Boeton.
Maksoed saja adalah membawa Igama Islam di negeri ini dengan
penghadapan soepaja Radja Boeton masoek memeloek Igama Islam.
Terdahoeloe diminta akan kawin dengan seorang familienja, kedoeanja akan
mendirikan Madjid (sic!) lalu mengadjar anak negeri tentang igama
Islam.
Diterangkan lebih Djaoeh bahwa Radja Boeton poen setelah
mendengar chabar Radja Solo, Radja Djawa, dan Radja Bone telah memeloek
igama Islam, maka Radja poen masoek islamlah joega.
Sjahdan maka
dihikayatkan peri Radja Boeton dengan manteri dan wasir-wasirnja
memeloeklah Igama Islam dan dikawinkan Goeroe itoe dengan seorang
perempoean nama Wa Ini TAPI-TAPI, kemudian diperdirikanlah mesjid dan
Goeroe itoe diangkat mendjadi Goeroe Islam dalam keradjaan Boeton. Laloe
diperdirikan seboeah roemah jang besar oentoek “roemah Peroeroean Igama
Islam“. Sedemikianlah sampai tahoen 948 Hidjrah an Nabi”.[6]
Jika
tahun 948 Hijriah dijadikan dasar perhitungan masuknya Islam, maka
masuknya Islam ke Butun kira-kira pada tahun 1540 Masehi. Versi kedua
mengenai masuknya Islam ke Butun adalah pada tahun 1580 ketika Sultan
Baabullah dari Ternate memperluas kekuasaannya (Ligtvoet, 1878).
Dari
kedua versi di atas, orang Butun cenderung menetapkan yang pertama,
bahwa Islam masuk pada tahun 1540, tidak langsung dari Ternate tetapi
melalui Solor. Agaknya ada semacam bentuk “pengingkaran” atas dominasi
kultural dan politik Ternate sehingga ada pengaruh terhadap tafsir
masuknya Islam ke Butun. Sumber tradisional Butun memperlihatkan kesan
itu. Dominasi kultural dan politik Ternate atas Butun merupakan kendala
struktural yang sulit ditepis. Kendala struktural tersebut dapat dilihat
pada kanturuna Mohelana di bawah ini:
ieitmo osulutani irumu di situ sultan di rum
bya sapomo itana wolio siy hendak turun di negeri Wolio ini
pgauaka kambotuna bawaangi membicarakan keputusan dunia
iabakina sulutani talu miya yang ditanya tiga orang sultan
oaranate soloro tee woilo Ternate, Solor, dan Wolio
tmo karona kamondona pata miya dengan dirinya (sultan Rum) menjadi
moo pata miya sulutani ibawaangi hingga empat orang sultan di dunia,
ieitumo duniya atoatoromo di situ dunia diaturlah
iarongimo mulaena bawaangi yang dinamakan mulainya dunia
oababuna dunia amalusamo sebabnya dunia sudah usang
slapasina pada inciya siytu setelah selesai demikian itu
aogaumo mangapata miayia berbicaralah mereka berempat
aaincanamo mulae bawaangi mewujudkan mulainya dunia
Sebagai
sumber sejarah tradisional untaian kabanti di atas dapat dianalisis
beberapa hal. Pertama, penyebutan Rum yang dimaksud Kesultanan Turki
adalah sebagai gejala biasa bahwa pada dunia Melayu ada kecenderungan
suatu kerajaan kecil mengaku mempunyai hubungan erat dengan kerajaan
atau kesultanan yang lebih besar dan kuat. Dengan disebutkan bahwa
“Sultan Rum hendak turun di negeri Wolio” jelas menunjukkan proses
legitimasi kekuasaan. Kerajaan besar dan kuat di luar dunia Melayu
biasanya yang diacu adalah Kesultanan Rum (Turki) dan Cina, sedangkan
untuk kerajaan yang kuat di dalam dunia Melayu adalah Aceh, Minangkabau,
Jawa (Majapahit), Luwu (Chambert-Loir, 1985).
Yang kedua
mengenai proses penyetaraan kedudukan Sultan Butuni dengan sultan-sultan
yang lain. Bersama dengan “Sultan Rum, Sultan Solor, dan Sultan
Ternate”, Sultan Butuni berperan serta dalam “membicarakan keputusan
dunia”, dalam kerangka itu “datangnya Islam”. Yang ketiga, kedatangan
Islam di Butun dianggap sebagai “pembeda” antara “zaman lama” dan “zaman
baru”, yang dalam kerangka Islam sebagai “pemisah” antara masa
“jahilliyah” (“kegelapan”) dengan “zaman terang”. Oleh karena semula
“dunia sudah usang” maka muncullah “zaman baru”. Pembuktian mengenai
datangnya “zaman baru”, tradisi lokal mengisahkan peristiwa bunuh diri
pengikut kelompok Hindu yang kuburannya dipercaya masih dapat dilihat di
Batauga, bagian selatan Butun, yang dikenal sebagai “kuburan Majapahit”
(Zahari, 1980; Schoorl, 1987: 59)
Kedatangan Islam dianggap
sebagai datangnya peradaban yang lebih unggul, jadi semacam “a higher
civilization” daripada peradaban sebelumnya (Abdullah 1993). Namun
demikian, tradisi kepercayaan sebelum Islam terus berjalan di dalam
masyarakat Butun. Paling tidak sampai tahun 1970-an, Zahari mencatat
tentang masih adanya ucapan “katauna baramana” (“paham Brahmana”) dari
orang tua jika melihat anaknya melakukan tindakan tidak sesuai dengan
hukum dan ajaran Islam (Zahari, 1977 (I): 51-2).
3. Martabat Tujuh: Landasan Undang-Undang Kesultanan (Sarana Wolio)[7]
Sejak
awal abad ke-16 dan mencapai puncaknya abad ke-17, merupakan periode
paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Ketika
itu perdagangan internasional dan interinsuler semakin luas, seiring
dengan fakta kejayaan beberapa kerajaan di Nusantara, antara lain: Aceh,
Mataram, Banten, Makassar/Gowa-Tallo dan Ternate. Pada masa itu,
landasan tradisi intelektual dan politik diletakkan. Tampak upaya
salin-menyalin kitab, penyebaran ide-ide keagamaan antar kerajaan yang
direkam oleh historiografi tradisional. Pada masa itu pula terlihat
penciptaan komunitas kognitif Islam sebagai tema utama yang disusul
dengan munculnya suasana kosmopolitan. Dalam suasana seperti itu maka
muncul perenungan pribadi tentang hubungan manusia sebagai makhluk
dengan sang Maha Pencipta. Dalam konteks inilah muncul Aceh sebagai
“pusat penghasil” pemikiran cemerlang dalam sejarah pemikiran Islam di
Asia Tenggara.
Dalam abad ke-17, perkembangan kerajaan-kerajaan
di Nusantara, memperlihatkan kecenderungan pandangan sufistik. Paham ini
menggambarkan hubungan yang diikat oleh tali kasih, antara “hamba” dan
“tuan” antara “raja” dan “rakyat”. Landasannya adalah mengenai keharusan
keharmonisan dan kesatuan semesta. Maka dirumuskanlah pemikiran makhluk
terhadap Khalik. Dalam konteks itulah Hamzah al-Fansuri menyusun
pemikiran sufistik dengan sistematika kosmogoni “martabat tujuh”
sebagaimana yang ditulis Muhammad ibn Fad al-Burhanpuri (1590). Hamzah
Fanzuri dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani, memainkan peran besar dan penting
dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan kaum Muslim di
Melayu-Indonesia. Meskipun tidak banyak diketahui menyangkut
kehidupannya, Hamzah seorang Melayu yang berasal dari Fansur (Barus),
pusat pengetahuan Islam di Aceh Barat Daya, hidup dalam masa sebelum dan
selama pemerintahan Sultan Aceh bernama ‘Ala‘ Al-Din Ri‘ayat Syah,
berkuasa tahun 1589-1602 (Azra 1994: 166). Syam ad-Din adalah murid
Hamzah. Mereka pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdat
al-wujud dari tasawuf (Azra 1994: 168).
Pemikiran tentang negara
pun mulai bergulir. Negara yang ideal dalam pandangan faham sufi adalah
suasana yang memungkinkan terjadinya kesatuan dan keharmonisan yang utuh
antara “makhluk” dan “al-khalik”, antara rakyat dengan raja. Konteks
keilahian adalah suasana adil. “Raja di dalam negeri adalah seperti
nyawa di dalam tubuh adanya. Maka jika nyawa itu bercerai daripada tubuh
itu niscaya binasalah tubuh itu” (Abdullah 1996: 81, mengutip dari
Tajus Salatin).
Hasil studi Milner (Milner 1982) tentang kerajaan
Islam-Melayu memperlihatkan bahwa “kerajaan” adalah situasi tentang
sosok raja. Raja adalah unsur esensial dari adanya kerajaan, yang
digambarkan secara megah dan mewah. Negara merupakan perpanjangan dari
pribadi sang raja, jadi bukan struktur maupun organisasi kekuasaan.
Negara ideal adalah sesuatu yang dicitrakan berdasarkan konsep bahwa
“negara moral” itu dipantulkan oleh sifat adil raja. Oleh karena itulah
di dalam historiografi tradisional, diperlihatkan bahwa raja dan negara
harus dilihat dari pendekatan sufistik, bukan dari sudut pandang fikih
atau syariat.
Munculnya ajaran ini dalam dunia tasawuf adalah
konsekuensi penerimaan atas adanya pengalaman (seorang sufi) tentang
fana dan baqa. Konsep “martabat tujuh” adalah ajaran dalam tasawuf
teosofis yang bertolak dari konsep bahwa hanya Tuhan yang satu-satunya
wujud hakiki. Agar ia dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya
(tajalli). Penampakkan diri Tuhan melalui “tujuh tingkatan” yang disebut
“martabat tujuh “.
Tingkat pertama adalah “martabat ahadiyyah”
yang berarti zat Allah semata, yang tidak dicontohkan dengan sifat.
Karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma), maka
tidak ada jalan akal untuk mengetahui-Nya. Kedua, adalah “martabat
wahdah” adalah sifat Allah dalam tingkat “kenyataan pertama”. Di sinilah
permulaan akal dapat mengetahui sifat Allah, seperti sifat salbiyyah
dan sifat wujudiyyah. Ketiga adalah “martabat wahidiyah‘‘, asma Allah.
Ini merupakan “kenyataan kedua”. Dalam tingkat ini Allah dapat dikenal
oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya. itulah menunjukkan zat-Nya.
Ketiga martabat tersebut di atas adalah qadim (tidak bermula) dan baqa
(kekal selamanya). Keberadaannya tidak dipahami atas dasar urutan waktu,
melainkan dari segi akal.
Martabat keempat adalah “martabat alam
arwah”. Inilah permulaan nyawa, baik bagi manusia maupun makhluk
lainnya. Nyawa yang pertama dijadikan adalah nyawa Nabi Muhammad s.a.w.
Oleh karena itu, ia bergelar “abu al-arwah“ artinya “bapak segala
nyawa”. Arwah atau ruh dalam bahasa Arab artinya “pergi”. Kelima
“martabat alam mitsal, yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaan
Tuhan. Karena hanya sebagai perumpamaan, alam mitsal ini keadaannya
halus, tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Yang keenam adalah
“martabat alam ajsam” yaitu segala keadaan yang nyata, seperti api, air,
tanah, semua yang dapat dibagi dan disusun. Yang ketujuh adalah
“martabat alam insan”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut juga
“martabat jam‘iyyat”, artinya tingkat yang mengumpulkan segala dalil
yang menunjukkan keadaan Tuhan yaitu sifat jalal dan jamal.
Dalam
diri manusia inilah berkumpul dua perumpamaan, yaitu ruh sebagai
perumpamaan dari al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh sebagai
perumpamaan al-khalq (ciptaan). Hal ini karena manusia memiliki
sifat dua puluh seperti sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dan
karena segala sesuatu sifat yang ada pada tubuh manusia ada pula pada
alam besar. Sebagai perumpamaan, batu pada alam besar ditamsilkan dengan
tulang dan daging pada manusia; angin ditamsilkan dengan napas manusia.
Dalam hubungan ini manusia disebut juga sebagai “alam kecil”
(“mikro-kosmos”) sedangkan alam yang ada di luar manusia disebut “alam
besar” (“makro-kosmos”). Segala sesuatu yang ada di alam ini ada
tamsilnya dalam diri manusia (Yunus, 1995: 96-98).
Ajaran
wujudiyyah yang berkembang di Aceh itu pada awal abad ke-17 dibawa ke
Butun oleh Syarif Muhammad atau Firus Muhammad (Yunus 1995: 67). Menurut
tradisi lokal, La Elangi “memperlihatkan” Sarana Wolio yang berciri dan
bernafaskan Martabat Tujuh kepada Gubernur Jenderal VOC, Pieter Both,
ketika mengunjungi Butun pada tahun 1615. Martabat Tujuh mengacu pada
ajaran mistik sufisme pada awal abad ke-17 di Aceh. Dari hasil
penelitian Yunus atas tiga naskah[8] di Butun, dapat disimpulkan bahwa
ajaran Martabat Tujuh telah ada sejak perempat abad ke-17, pada masa La
Elangi, bergelar Sultan Dayyan Disan ad-Din (1578-1615) (Yunus, 1995:
67).
Tujuh tingkatan itu diidentikkan dengan tujuh kedudukan di
dalam pemerintahan kesultanan. Tiga tingkatan dari tujuh martabat yang
merupakan hakikat Tuhan ditempati oleh tiga cabang bangsawan:
Tanailandu, Tapi-tapi dan Kumbewaha (Kamboru-mboru Talu Palena).
Sedangkan empat tingkatan di bawahnya diisi oleh jabatan-jabatan:
Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalao. Oleh karena dalam perkembangannya
kemudian muncul pangka yang baru, yakni Lakina Sorawolio, suatu daerah
penting bagi pertahanan kraton, maka posisi sultan diganti dan menempati
“alam barzah” (Yunus, 1995: 120-1). Kedudukan Sultan adalah sebagai
penghubung antara tiga tingkat pertama dan empat tingkat kedua. Alam ini
tempat persinggahan atau penghubung dari alam kehidupan manusia di
dunia fana menuju alam kekal: akhirat. Sapati adalah jabatan pelaksana
pemerintahan, semacam Perdana Menteri sekarang. Kenepulu adalah Hakim
Agung, dan kapitalao adalah penguasa laut dalam hal ini ada dua yakni
bagian timar kapitalao matanaeo dan bagian barat kapitalao sukanaeo.
4. Struktur Pemerintahan dan Kekuasaan
Konsep
kesultanan dalam sejarah dikenal sejarah sesudah masuknya Islam.
Sebutan sultan diadopsi dari negeri-negeri Arab atau Timur Tengah untuk
raja yang dikenal sebelumnya. Sultan pertama yang merupakan raja kelima
Kesultanan Butun adalah Lakilaponto yang kemudian bergelar Sultan
Qaimuddin (artinya “peletak Agama”).
Pembentukan Kesultanan
Butuni didasarkan atas nilai tradisi lokal dan ajaran Islam. Pelapisan
masyarakat di kesultanan terdiri atas 4 yaitu: kaomu, walaka, papara dan
batua. Kaomu adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa
Kaa Kaa, raja perempuan yang memerintah sebelum Islam. Golongan ini
dianggap lebih asli dibanding yang kedua, walaka yang sudah bercampur
dengan keturunan mubaligh dari Arab: Abdul Wahab dan Sharif Muhammad.
Dari golongan kaomu inilah sultan dipilih. Sedangkan walaka bertugas
memelihara undang-undang (sara). Papara adalah rakyat biasa, sedangkan
batua adalah orang yang bergantung kepada orang lain apakah sebagai
budak atau karena berhutang.
Sarana Wolio yang digali dari
Martabat Tujuh berisi sifat kemanusiaan kemudian diperbaharui oleh
Sultan Dayanu Ikhsanuddin menjadi Sara Pataanguna (“Adat Yang Empat”).
Keempat sara itu adalah: (1) Sara Wolio sebagai pusat pemerintahan; (2)
Sara Hukumu sebagai pusat pelaksana kegiatan dari Hukum Islam (3) Sara
Barata sebagai wilayah yang diberi kuasa untuk melaksanakan pemerintah
sendiri (otonom), khusus yaitu: (a) Barata Kaledupa (b) Barata Kulisusu;
(c) Barata Tiworo; sedangkan otonomi yang seluas-luasnya adalah (d)
Barata Wuna (Muna). Struktur pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan
Butuni itu diproyeksikan ke dalam bentuk perahu “barata.” Barata dalam
bahasa Wolio adalah perahu bercadik ganda dengan empat simpul penguat
yang diidentifikasikan pada dua kerajaan di bagian barat: Tiworo dan
Muna sedangkan di bagian timur Kulisusu dan Kaledupa (Muchir, 2003:
144-145).
Di muka telah dibentangkan bahwa asal-usul pembentukan
masyarakat dan tatanan sosial-politik Butuni dari berbagai unsur mitos:
Luwu (Bugis), Islam, Cina dan Ternate. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa Butuni adalah sebuah struktur “baru”. Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan
semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari
nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah kesultanan yang disebut
Pbinci-binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan
maka “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara
penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal
dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pbinci-binci kuli terurai
dalam ungkapan di bawah ini:
Pomae-maeka Saling menghormati
Pame-maasiaka Saling menyayangi
Popita-piara Saling menjaga/pelihara
Poangka-angkataka Saling mengangkat derajat
Adapun prinsip yang tertuang dalam falsafah kesultanan dalam arti politik, tertuang sebagai berikut:
Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat
Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu Biarpun jiwa raga hancur asal negara selamat
Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara Biarpun negara tiada asal pemerintah ada
Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan
Pada
masa pemerintahannya, Sultan La Elangi bergelar Dayanu Ikhsanuddin
(1578-1615) memanfaatkan “kekuasaannya” untuk memposisikan kaomu sebagai
golongan yang “melahirkan” Sultan. Kedekatannya dengan VOC digunakan
untuk meminta dukungan Pieter Both, Gubernur Jenderal, agar jabatan
sultan sesudah dirinya diberikan secara turun-temurun kepada
anak-cucunya (Tiele, 1886: 34, 58). Lebih jauh La Elangi melakukan
kesepakatan dengan Sapati La Singa dan Kenepulu La Bula untuk menetapkan
tiga cabang dari kaomu. La Elangi membentuk cabang bangsawan: kaomu
membentuk cabang Tanailandu, La Singa membentuk cabang keluarga
Tapi-Tapi, dan La Bula membentuk cabang keluarga Kumbewaha. Ketiga
cabang dari kaomu inilah yang dikenal dengan Kamboru-mboru (lalaki).
Talupalena secara harfiah berarti “Tiga Tiang Penyangga”. Meskipun La
Elangi dapat “memaksakan” penetapan bahwa dari keturunan Tanailandu yang
berhak sebagai Sultan, Tapi-Tapi berhak menjadi Sapati, dan Kumbewaha
sebagai Kenepulu, dalam kenyataannya tidak terwujud. Sepuluh sultan
sesudah La Elangi, ternyata hanya dua orang sultan yang berasal dari
Tanailandu, cabang keluarga La Elangi berasal.
Tampaknya justru
konsekuensi dari keberadaan Kamboru-mboru Talu Palenal menetapkan bahwa
jabatan sultan tidak diwariskan melainkan dipilih. “Proses pemilihan
sultan dilakukan oleh siolimbona yang berfungsi sebagai Dewan Kesultanan
(menteri yang sembilan). Sistem pemilihan ini disebut sebagai
“demokratis-aristokratis” (Yunus, 1995). Yang jelas sistem itu adalah
“pemilihan terbalas” dengan calon yang disiapkan dari golongan kaomu
dengan tiga cabang keluarga: Tanailandu, Tapi-Tapi, dan Kumbewaha.
Struktur
pemerintahan Butun bersumber pada sifat kemanusiaan Martabat Tujuh,
yang tersusun ke dalam kepangkatan dan jabatan pelaksana secara hirarkis
dari atas ke bawah. Susunan itu mengacu pada proses kejadian alam:
Ketuhanan dan Kehambaan. Susunan itu tampak dalam proses kejadian Alam
Ketuhanan dan Alam Kehambaan:
1. Alam Ketuhanan
a. Ahdiah (La-Ta‘-Yun) = Zat = Sulthan
b. Wahdiah (Ta‘-Yun-Awal) = Nur Zat = Sapati
c. Wahidia (Ta‘-Yun-Tsani) = Nur Muhammad = Kenepulu
2. Alam Kehambaan:
a. Alam Arwah = Nuthfah = Kapitalao
b. Alam Mitsal = Alaqah = Bonto Ogena
c. Alam Ijsam = Mudgah = Bonto Siolimbona/Bobato
d. Alam Insan = Jisim insan = Parabela
5. Adat Istiadat Pemilihan Sultan
Tradisi
pemilihan sultan Butun telah diawali sesudah masa pemerintahan Sultan
Murhum, bergelar Qaimuddin I (1538). Pengaruh Islam semakin kuat dalam
tata cara pengangkatan dan pelantikan sultan-sultan Buton. Dalam catatan
mengenai kuatnya ajaran Islam seperti di masa Sultan ke-19, Sultan
Saqiuddin Darul Alam (1712-1750).
Proses penetapan dimulai dengan
pencalonan terhadap mereka yang berasal dari golongan kaomu yang
disebut Kamboru-mboru Talu Palena. Jauh sebelum seorang sultan wafat,
berhenti atau diberhentikan, Bonto Sio Limbona (“Menteri Yang Sembilan”)
yang mewakili sembilan kampung, sudah mengamati putera-putera dari
ketiga kaomu tersebut. Siolimbona adalah sebuah dewan yang terdiri atas 9
orang berasal dari golongan walaka. Mereka adalah Bonto Baaluwu, Bonto
Peropa, Bonto Gundu-Gundu, Bonto Barangkatopa, Bonto Gama, Bonto Siompu,
Bonto Wandayilolo, Bonto Melia, dan Boiito Rakiya[9] (Zahari, 1977 dan
Tua Makmun, 1999).
Tugas Siolimbona semakin sibuk ketika
seorang sultan baru saja wafat, berhenti, atau diberhentikan. Sejak
itu dalam waktu 120 hari, semua perlengkapan sultan dipindahkan dari
yang sultan terdahulu ke rumah Bonto Baaluwu dan Peropa untuk disimpan.
Selain kesembilan bonto tersebut masih ada dua bonto yakni bonto-ogena
Matanaeo (Mantri Besar wilayah timur) dan Bonto Ogena Sukanaeo (Mantri
Besar wilayah Barat). Dalam menjalankan tugasnya Bonto Sio Limbona
berpegang pada Kitab Isdatul Azali. Adapun kriteria sultan adalah (1)
berasal dari golongan kaomu; (2) harus laki-laki; (3) memiliki
sifat-sifat: sidiq yang berarti benar, tabligh berarti menyampaikan
segala hal yang bermanfaat; amanah artinya terpercaya, dapat memegang
janji; fathanah artinya lancar dan fasih berbicara. Tidak takabur, tidak
sombong, sehat jasmani dan rohani serta mencintai dan dicintai orang
banyak. Tampak jelas bahwa dalam hal sifat-sifat sebagai kriteria
menjadi sultan adalah mengikuti sifat-sifat Nabi Muhammad SAW.
Selama
sultan baru belum terpilih, pemerintahan dijalankan oleh Sapati.
Sementara itu setelah melalui pertimbangan Siolimbona dan didapatkan
calon sultan, maka disampaikanlah kepada bonto-ogena. Kegiatan yang
dipimpin oleh bonto Baaluwu itu disebut “Buataka Katange” artinya
mengantarkan “bungkusan rahasia”. Bonto Baaluwu menyampaikan demikian:
Yikawfaaka
mami yingkitasiy, temanga andimiu oakamiu siy, padamo tapomapeelo
yikabumbu taluanguna, yincana kanaindana laki Wolio siy, modangiana siy
Yang menyebabkan kami datang pada tuan bersama dengan adik-kakak tuan
ini, sudah kami cari di bukit yang tiga (artinya Kamboru-mboru Talu
Palena), yang ada sekarangini ialah ....
Pada akhir kata-kata
modanga siy yang dimaksud ini adalah salah satu dari Tanailandu,
Tapi-Tapi, atau Kumbewaha. Tetapi dapat juga calon lebih dari satu.
Kemudian bonto ogena menjawab:
Jou Bonto Baaluwu, siy kurango
kitamo, sepodano tabanculepo, takambojayi temanga opumia, pangka, tie
yarona pangka Tuan Bonto Baaluwu, sekarang saya su¬dah dengar namun
saudara-saudara kembali dulu, berkonsultasi dengan para pejabat dan
mantan pejabat
Para pejabat dan mantan pejabat adalah dari
golongan kaomu. Pada saat inilah disebut “Akokompoakemea Siolimbona”
harfiah berarti “Calon sultan sudah dibuntingi oleh Siolimbona”. Lalu
Siolimbona menemui pejabat dan mantan pejabat, dengan mengatakan:
Siy
Jou, tumbaakamamiyingkita siy, atumpu kami opumiu itapa ruatapana.
Tamagimpi tamalalanda isapulu ruangana. Kamondomami siy, tapesusuaka
dala momakate, te dala momainawa mosakalina kainawa Sekarang Tuan yang
menyebabkan kami datang kepada tuan ini, ditugaskan oleh kakek kalian
dari kedua ujungnya. Kami mengalami kesempitan dan kegelapan terhadap
calon sultan Kesepakatan kami datang kepada tuan, memohon petunjuk ke
jalan paling terang.
Jawaban yang diberikan:
Siy
Jou, padamo Durango kita, mbaakanamo siy kulawani kitamo. Kalalaki
yinda taposala-sala, sopodona yikama-kamata siy somini Laanu ......
Sabutuakanapo yiku yinda kupogaa te Sara Sekarang saya sudah dengar,
sebab itu saya akan jawab sekarang. Kebangsa-wanan kita tidak
berbeda-beda, namun menurut pengamatan saya sekarang ini hanyalah si
.... Bagaimanapun juga saya tidak akan bercerai dengan Sara
Pada
tahap ini disebut sebagai penetapan calon yang disebut paso, artinya
“paku”. Jadi sudah “dipaku” atau “ditetapkan”. Tahap selanjutnya adalah
fali Para calon pada malam Jum‘at tengah malam pukul 00.00 melakukan
shalat sunah istikharah untuk menetapkan calon terbaik. Tahap
selanjutnya pengumuman calon kepada masyarakat luas, yang disebut sokai.
Peristiwa ini dilakukan di Baruga (balai pertemuan Sara).
Bontona
Baluwu membisikkan kepada Bonto ogena diteruskan kepada Kapitalao nama
sultan yang telah ditetapkan. “Kabolosina Laki Wolio La...” (sambil
menyebutkan nama sultan yang dimaksud). Kapitalao segera mengumumkan
secara terbuka. Adalah kapitalao Mataraeo yang mengumumkan dengan
menghadap ke arah Timur. Sedangkan Kapitalao Sukanaeo menghadap ke arah
Barat, Keduanya berdiri dengan menyandang” pedang di dadanya. Kapitalo
Matanaeo mengucapkan:
Tarango, tarango, tarango bari-bari kita
siy! Yimondo akana Baluwu Peropa, te Sara bari-baria, kabolosina Laki
Wolio siy La ... Yincema-yincema mokowala-walana ngangarandana, moko
singku-singkuna fikirina, maimo yitanga-tanga siy bekulae -lae akea
hancu siy ... haa ... haa ... haa ... Tangkanapo ...! Dengarkan,
dengarkan, dengarkan kita semua! Bahwa yang kita sepakati oleh Baluwu
Peropa bersama Sara semuanya, calon pengganti Sultan Wolio saat ini si
... (nama disebut). Siapa-siapa yang ber-cabang-cabang hatinya dan masih
mem-punyai sudut pandangan atau pikiran lain, datanglah di
tengah-tengah ini untuk saya potong-potong dengan pedang ini... (sambil
bersorak haa...haa...haa... disambut sorak gemuruh hadirin) Sekian!
6. Proses Penabalan Sultan
Sebelum
tiba pada saat penabalan maka dilakukan serangkaian upacara sebagai
berikut. Pada Kamis sore menjelang penabalan, Batu Wolio (Batu
Yigandang) diberi hiasan kelambu. Pada malam harinya, genderang dan
gong-gong dibunyikan semalam suntuk.
Pada pagi Jum‘at itu, calon
sultan dimandikan dengan air yang diambil dari Tobe-Tobe, sebuah desa 12
kilometer utara kraton. Ia dimandikan oleh Bonto Patalimbona (Menteri
dari Empat Permukiman) yakni Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona
Gundu-Gundu, dan Bontona Barangkatopa. Setelah itu dibedaki dengan
ramuan khusus dari 120 macam bahan. Pada saat itu Bontona Baluwu
mengatakan kepada calon sultan dengan kata-kata:
Rango La Ode,
teduku mumo, bangule muno, malala mumo, welalo mumo, tanda homo La Ode!
Boli upoande-ande akea otana siy tedaga moumbo, te lemangku mokaza. Boli
udawu-udawu akea kampurui yibaamu. Barangkalana upoandeandeaakea otana
siy tedaga moumba, udawu-udawu akea kampurui yibaamu, maropu masoka,
hancuru binasa, oanamu te anana Baluwu Peropa, oyingkoo te Baluwu
Peropa. Dengarkanlah La Ode, milikmulah kencur, milikmulah bangule,
milikmulah serei, milikmulah welalo, saya beri tanda kepadamu La Ode,
jangan dipersahabatkan (persekong-kolan) tanah ini dengan tamu-tamu dan
para pendatang asing, Jangan berikan destar dikepalamu (kehor-matan).
Sebab jikalau Tuan persekongkolkan negeri ini dengan pendatang asing,
memberikan destar di kepala Tuan, maka akan hancur binasa dan cucu Tuan
bersama anak cucu Beluwu Peropa, Tuan sendiri bersama Baluwu Peropa
Setelah
dimandikan, calon sultan dipakaikan seperangkat pakaian sarung, ikat
kepala, dan baju kemudian dibawa ke Mesjid. Maka dilaksanakan sholat
Jum‘at yang dipimpin Imam Masjid dengan khotbah berjudul “Khalakal
Arwah”. Kemudian tibalah: tata cara pelantikan (penabalan) sultan Buton
dalam bahasa Wolio disebut “Bululingiana Pau” (Pemutaran Payung
Kesultanan). Penabalan dilaksanakan pada hari Jum‘at di Mesjid Agung
Keraton, dengan mengundang seluruh pejabat kesultanan, Sarana Barata,
Sarana Kadie dan disaksikan masyarakat luas.
Payung kebesaran
sultan dipegang oleh seseorang yang memutarkannya di atas kepala calon
Sultan sebanyak delapan kali ke sebelah kanan dan sembilan ke sebelah
kiri disertai kata-kata pelantikan:” Bake akakomo Maulana, ouluna
rahmatimu, bea peohi akamo Walaka te Kaomu”. Artinya “Kukembangkan
(payung) kepada Tuanku. Awan rahmat Tuanku untuk melindungi Walaka dan
Kaomu”. Maka sesudah peresmian itu, Sultan kemudian dibawa ke Batu
Popaua, yang terletak tidak jauh dari mesjid untuk pemutaran payung
kedua, yang dilakukan oleh Pata Limbona.
Pada prosesi ini kaki
kiri Sultan dimasukkan ke dalam lubang “Batu Poaua”, sambil menghadap
Barat. Saat itu diputarkanlah payung kebesaran sebanyak delapan putaran.
Kemudian Sultan memasukkan kaki kanan ke dalam batu yang sama, sambil
menghadap Timur. Payung diputar lagi sebanyak sembilan kali oleh Bontona
Baluwu dengan ucapan “Walu atuntu sio alagi, sapulu akamo yingkoo La
Ode” Artinya “delapan lengkap, sembilan berkesinambungan, sepuluh dengan
engkau La Ode”. Selesai pemutaran kedua payung kebesaran itu, lalu
kedua kapitalao berseru:
Somba! Somba! Somba! Malape anana Kaomu
anana Walaka, anana Papara. Yincema-yincema yinda mosobana, maimo
yaroako siy beku tumpo-tumpoa, beku lae-lae akea hancu siy “ “Sembah!
Sembah! Sembah! Baik anaknya Kaomu, anaknya Walaka, anaknya Papara.
Siapa-siapa yang tidak menyembah, datanglah di depan agar saya
potong-potong dan saya tebas dengan pedang ini”
Maka kemudian
Sultan diantar ke Baruga untuk menerima somba dan selamat dari seluruh
pejabat kesultanan, Sarana Barata, Sarana Kadie, dan pejabat lainnya.
7. Tekanan Kekuatan Luar
Mengenai
ungkapan “jangan engkau persekongkolkan dengan pendatang asing”, yang
diucapkan Bontona Baluwu, perlu mendapat perhatian khusus. Keletakan
geografis Kesultanan Butuni menjadi strategis oleh karena berada di
jalur pelayaran ke Kepulauan Maluku, tempat rempah-rempah dihasilkan.
Baik Kerajaan Gowa/Makassar maupun VOC/Belanda memperebutkan pengaruhnya
terhadap Butuni untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Dalam perkembangan tertentu Kesultanan Ternate juga menjadi ancaman bagi
Butuni. Ternate menyatakan wilayah Butuni sebagai vassal pembayar
pajak. Dalam konteks periode tertentu, Sultan Butuni harus pandai
memilah dan memilih siapa “kawan” siapa “lawan” atau siapa “sekutu”
siapa “seteru”. Dengan demikian posisi Butuni dapat digambarkan seperti
shuttle-cock[10] yang terombang ambing antara “ke arah” Gowa, atau “ke
arah” VOC, tetapi juga bisa “ke arah” Ternate menolak pencatatan
penduduk untuk tujuan penetapan pembayaran pajak. Akibatnya sebanyak
kira-kira 150 orang yang sudah membawa senjata tradisional ditangkap
Belanda pada tahun 1910 (ENI 1917:314). Pada prinsipnya alasan
perlawanan adalah soal pajak yang diterapkan pemerintah kolonial.
Sultan
ke-38 (terakhir), Muhammad Falihi (1938-1960) adalah Sultan Butuni yang
berkuasa di dalam periode penjajahan Belanda (1938-1942), penjajahan
Jepang (1942-1945), pemerintahan Negara Indonesia Timur (1945-1950), dan
masa kemerdekaan Republik Indonesia (1951-1960). Setelah Republik
Indonesia Serikat berakhir dan berganti kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, pada awal tahun 1951, dilaksanakan
“democratieseering”, proses untuk mewujudkan demokratisasi di bekas
daerah-daerah kerajaan (swapraja). Dalam realitas politik, makna gerakan
itu adalah pencopotan atau pengunduran diri para pejabat yang dulu
diangkat berdasarkan undang-undang kesultanan. Pada tanggal 15 Januari
1951 dilakukanlah “democratiseering” terhadap anggota-anggota swapraja
Buton disaksikan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Abdul Razak Bagindo
Maharaja Lelo antara lain Laode Aero Sapati, Laode Mihi Kenepulu, Laode
Abidi Kapitan Laut Matanaeo, Alode Lalangi Raja Baadia, La Adi Menteri
Besar Sukanaeo (Zahari (III) 1977: 128-129).
Sesuai dengan
pembentukan Daerah Tingkat I (Provinsi) dan II (Kabupaten) di seluruh
Indonesia, maka semua daerah dirombak termasuk daerah-daerah yang
dulunya merupakan bekas kerajaan, termasuk Butuni. Dalam musyawarah
persiapan pembentukan Daerah Tingkat II, Muhamad Falihi juga turut
memberikan sumbangan pemikirannya. Musyawarah berlangsung pada tahun
1959 di Kendari, yang kemudian ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara, menghasilkan pembentukan Kabupaten Buton dan kemudian
Muna. Maka berakhirlah suatu kesultanan yang telah berlangsung sejak
abad ke-15, yang telah berusia lebih dari lima abad.
8. Simpulan
Sejarah
Kesultanan Butuni merupakan salah satu mata rantai perkembangan
kerajaan di Nusantara yang mempertautkan bagian-bagian di wilayah
Indonesia, Malaysia sekarang. Butuni juga merupakan satu simpul
penyebaran pemikiran Islam khususnya dalam tasawuf wujudiah (Martabat
Tujuh), suatu ajaran yang menekankan keserasian hubungan antara Sang
Pencipta dan makhluk, yang menggambarkan hubungan penguasa (sultan)
dengan rakyatnya. Hal itu terlihat dalam falsafah (Pbinci-binci kuli)
dan undang-undang kesultanan (Sara Wolio).
Posisi geografis
kesultanan Butuni yang strategis diperebutkan oleh Gowa, VOC, dan
Ternate. Mereka berkepentingan memasukkan Butuni ke dalam pihaknya
masing-masing, atau setidaknya ke dalam wilayah pengaruhnya (sphere of
influence). Di tengah persaingan antar kekuatan luar itulah, Butuni
berusaha tegak sebagai kesultanan yang memiliki kedaulatannya sendiri.
Di antara kekuatan-kekuatan itulah, “perahu” Butuni mencoba berlayar di
antara “karang-karang”. Kadangkala “perahu” Butuni berhasil mengarungi
lautan tetapi kadangkala menabrak “karang-karang” itu.
Mengkaji
sejarah kesultanan di banyak daerah di Nusantara tidak berarti hendak
menghidupkan kembali nilai-nilai feodalisme yang sering dianggap
berlawanan dengan semangat demokratisasi. Dalam kenyataan masih banyak
tersimpan berbagai aspek tradisi kerajaan dan masyarakatnya yang
mengandung nilai-nilai kearifan budaya. Nilai-nilai itulah yang
sesungguhnya dapat menjadi sumber daya budaya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera.
Senarai Rujukan
Abubakar,
Laode, 1930, “Sejarah Masuknya Islam di Buton dan Perkembangannya”,
makalah Seminar Masuknya Islam di Buton, diselenggarakan
Fakultas-Tarbiyah IAIN Alauddin Bau-Bau-Buton.
Abdullah, Taufik, 1987, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Abdullah,
Taufik, 1993, “The Formation of Political Tradition in the Malay
World”, dalam Anthony Reid (ed), The Making of an Islamic Political
Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia No. 27.
Abdullah, Taufik, 1996, Islam dan Pluralisme di Asia Tenggara, Jakarta: LIPI.
Anceaux, J.C., 1987, The Wolio Dictionary (Kamus Bahasa Wolio), Dordrecht: Foris Publication Holland.
Andaya, Leonard, 1993, The World of Maluku: Eastern Indonesian in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii.
Azra,
Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia,
Bandung: Mizan.
Broersma, R., 1930, “Mededeelingen over de eilanden van net Sultanaat Boeton”, dalam Koloniale Tijdschrijft.
Chambert-loir, Henri, 1995: Syair Kerajaan Bima, Bandung: EFEO
Ligtvoet, A, 1878, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton” dalam Bijdragen tot de Taa-, Land, en Volkenkunde, 26: 1-112.
Lith, P.A. van der (ed.), 1917, Encyclopaedie vanNederlandsch-Indie, Leiden: E.J. Brill.
Milner, A.C, 1988, “Islam and the Muslim State” dalam Islam in Southeast Asia (Hooker, ed.), him. 33-49. London, E.J. Brill.
Muchir,
L.A., 2003, Sara Pataanguna: Memanusiakan Manusia Menjadi Manusia
Khalifatullah di Bumi Kesulthanan Butuni. Tarafu-Butuni.
Parani, Julianti, 1981, “Sumber Tradisional Untuk Penulisan Sejarah Buton”, Makalah dalam Seminar Sejarah Nasional III.
Pigeaud,
T.G.Th, 1960, Java in the fourteenth century: A study in cultural
history Vol. I. Javanese Texts in transcription. The Hague.
Reid,
Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Volume
Two Expantion and Crisis, New Haven and London: Yale University.
Schoorl,
J.W., 1986, “Power, Ideology and Change in the Early State of Buton”,
dalam Fifth Dutch-Indonesian Historical Congress, Lage Vuursche, The
Netherlands.
Tua Makmun, H. L., 1999, “Tata Cara Pengangkatan
Sultan Buton”, dalam Wolio Molagi, Majalah Budaya Buton, Kendari: Edisi
Perdana, Maret dan Juli/Agustus 1999.
Yunus, Abd. Rahim, 1994,
“Kompetisi Kekuasaan Ternate-Gowa: Pengaruhnya Terhadap Pembentukan
Sistem Pemerintehan di Kesultanan Buton”, makalah Ujung Pandang (17
November 1994).
Yunus, Abd. Rahim, Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesuhanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Seri XXIV
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
Zahari,
Mulku A., 1977, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Button) Jilid I, II,
III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.”
Zuhdi,
Susanto, 1999, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII”,
Disertasi Program Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia.
__________________
Susanto Zuhdi, adalah Pengajar Ilmu-ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu-Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
________________________________________
[1] Gatra, “Satu Indonesia Seribu Raja”, Majalah Mingguan, Jakarta, 7 Desember 2002.
[2]
Nama Butun lebih dulu ada sebelum Buton. Konon penduduk setempat
menerima nama Butun dari para pelaut yang sering singgah di sebuah pulau
yang kemudian disebut Butun. Banyaknya ‘pohon Butu (Barringtonia
Asiatics, lihat Anceaux 1987: 25) menjadi penanda pulau tersebut. Dalam
Nagarakertagama, tercatat nama Butun bersama-sama Makassar dan Langgawi
sebagai‘ daerah yang termasuk wilayah Majapahit. Ketika berdiri
kesultanan, penamaan Butun tetap digunakan. Dalam surat-surat perjanjian
dengan VOC,. sultan menyebut Butuni yang digunakan untuk menyebut
wilayah kekuasaannya. Dalam bahasa Wolio, bahasa resmi kesultanan,
memang tidak dikenal konsonan pada huruf akhir sebuah kata. Orang
Bugis-Makassar menyebut Butung, Portugis menyebut Butum, dan VOC/Belanda
menyebut Buton. Saya menyebut Butuni sesuai sudut pandang setempat.
[3]
Dalam Kakawin Nagarakertagama Canto 14: 5, antara lain disebutkan “ikan
saka sanusanu makhasar butun/bangawi” (Pigeaud 1960 (vol. 1): 12).
[4] Wolio, sebagai tempat menunjuk pada pusat atau kraton, sedangkan Butuni mencakupi wilayah kesultanan secara keseluruhan.
[5]
Lihat Abdul Rahman al-Ahmadi, “Sejarah hubungan Kelantan/Patani”
sebagaimana dikutip Pelras ‘Religion, Tradition, and the Dynamics of
Islamization in South Sulawesi, dalam Indonesia No. 57, April 1993: 137.
[6]
Penuturan Laode Mizan, Lakina Agama di Muna pada 1928 dalam Couvreur,
Ethnografisch Overzicht van Moena, 1935 (merupakan lampiran). SOLO yang
dimaksud adalah SOLOR. Bahasa Wolio tidak mengenal konsonan pada akhir
kata.
[7] Sarana berasal dari kata sara diambil dari Arab:
Syariat; na berarti “nya.” Jadi “Syariat-nya” atau “Undang-undangnya”
Wolio.
[8] Ketiga naskah itu berjudul: Tuhfah al-Mursalah ila Ruh
an-Nabi, al-Haqiqah al-Muwafiqah Lisy-Syari-ah al-Muhammadiyyah, dan
Nur ad-Daqa-iq. Yang pertama dan kedua adalah tulisan al-Burhanpuri dan
yang ketiga tulisan Syam ad-Din as-Sumatrani. Lihat Yunus 1995:67
[9]
Mulku Zahari menggambarkan proses pemilihan dan penetapan sultan.
Sedangkan secara lebih rinci terungkap dalam tulisan Tua Makmun dalam
“Tata Cara Pengangkatan Sultan Sultan Buton” dalam Wolio Moligi, Majalah
(Kendari: Juli/Agustus 1999).
[10] Istilah “shuttle-cock”
dikemukakan oleh P.J. Schoorl “Het ‘Eeuwige‘ verbond tussen Buton en de
VOC, 1613-1669” dalam Harry A. Poeze (eds) Excursies in Celebes,
Verhandelingen KITLV no. 147 tahun 1991.
As.sebaiknya Bpak rof. Juga Menulis sejarah kerajaan wuna agar jelas siap sebenarnya mempunyai Hegemoni Politik ekonomi menentang belanda di SULTRA dahulu. wsalam.
BalasHapus