Dimulai dengan
selera saya akan drama seri mengacu pada produk KorSel, dilanjutkan dengan
kenyataan saya bekerja di perusahaan milik seorang warga negara KorSel sehingga
seakan membangun apa yang saya lihat di layar kaca menjadi di depan mata,
dilanjutkan dengan kenyataan banyak sekali arsitektur modern yang begitu indah
dibangun di KorSel sehingga begitu menarik perhatian saya, membuat saya begitu
begitu begitu tertarik dengan KorSel — kecuali yang berhubungan dengan operasi
plastik dan boyband. Tulisan di bawah ini adalah gambaran perbandingan
pembangunan di KorSel dan Indonesia.
Saya copas dari blog seorang teman, sedangkan dia juga copas dari teman lainnya
:p
menghasut orang-orang
terjajah untuk merdeka
oleh: Robert Manurung
Mungkin tidak banyak di antara kita yang masih
ingat, bahwa Indonesia dan Korea Selatan sama-sama memulai pembangunan ekonomi
pada akhir tahun 60-an. Situasi dan kondisi kedua negara pada waktu itu banyak
sekali kesamaannya; antara lain sama-sama negara agraris, situasi ekonomi
morat-marit, sedang transisi politik, menjadi satelit Barat, dipimpin oleh
rezim militer dan tidak ada kepastian hukum.
SAMPAI tahun 60-an, Korea hanyalah sepenggal
daratan di benua Asia dan sebuah bangsa yang keberadaannya “terlupakan”
sepanjang sejarah dunia. Selama ribuan tahun eksistensi mereka tenggelam di
balik bayang-bayang kebesaran ras Cina dan new kid on the blockbernama
Jepang yang budayanya menggetarkan dunia barat.
Keberadaan bangsa Korea baru menarik perhatian
setelah pecahnya Perang Korea. Sejatinya itu sebuah perang saudara
“jadi-jadian”, namun tetap amat tragis, lantaran wilayah negara itu menjadi
episentrum perebuatan hegemoni di Asia antara dua super power, yaitu Amerika
Serikat (BlokBarat) dan Uni Soviet (Blok Timur).
Pada saat yang sama, dunia barat sedang terpesona
oleh cahaya yang menyilaukan dari sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Disana, di
kaki benua Asia itu, sebuah negara muda, sebuah bangsa baru dari gabungan
ratusan suku, sedang sibuk berdebat mengenai ideologi dan sistem kenegaraan
yang ideal. Presidennya bernama Soekarno alias Bung Karno.
Waktu itu Korea tidak punya tokoh sekaliber Bung
Karno, yang dengan kelihaiannya memainkan diplomasi internasional berhasil
memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Bung Karno juga
menjadi tokoh panutan bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin; yang
kemudian satu per satu mengikuti jejak Indonesia menyatakan kemerdekaan negara
mereka.
Singkat cerita, Indonesia memiliki satu keunggulan
kecil dibanding Korea Selatan, ketika kedua negara sama-sama memulai
pembangunan ekonomi pada akhir tahun 60-an. Di luar itu, situasi dan kondisi
kedua negara banyak kesamaan di segala bidang.
Indonesia ketika itu dipimpin oleh Jenderal
Soeharto, sedangkan Korsel dipimpin Jenderal Park Chung-hee. Soeharto tampil
sebagai diktator setelah berhasil menjatuhkan Bung Karno, dimana proses “kudeta
yang cantik” itu mendapat bantuan dan dukungan dari dunia barat. Sedangkan Park
tampil sebagai pemimpin setelah Perang Korea reda, bisa dikatakan karena mendapat
mandat dari Blok Barat, kendati secara formal Korsel diakui sebagai negara
berdaulat.
Garis start
Korsel memulai pembangunan ekonominya dalam
keadaan perang baru saja reda. Kontak senjata kecil-kecilan masih sering
terjadi di Pamunjom, daerah demarkasi militer yang membelah Korsel dan Korea
Utara. Pamunjom hanya berjarak 45 kilometer dari ibukota Seoul. Jadi bisa kita
bayangkan, andaikata pasukan Utara menyerbu, mereka hanya membutuhkan waktu
kurang dari satu jam untuk mencapai Seoul.
Dalam kaitannya dengan bahaya komunis tersebut,
yang merupakan isu utama di dunia barat dan negara-negara satelitnya pada
dekade 60-an sampai 80-an, posisi Korsel dan Indonesia bisa dibilang sama dan
sejajar. Kedua negara adalah sekutu utama Blok Barat di kawasan masing-masing,
Korsel di Asia Timur jauh dan Indonesia di Asia Tenggara.
Memang ada sedikit
bedanya, yaitu Korsel menjadi pion penting dan sekaligus kancah pertarungan
frontal Blok Barat dengan Blok Timur. Sedangkan Indonesia nilai strategisnya
sebagai sekutu Barat tidaklah sepenting itu, karena kekuatan komunis di Asia
Tenggara relatif kecil dan terpecah dua, ada yang berkiblat ke Cina dan ada
yang berinduk ke Uni Soviet. Indonesia
cuma sekadar sebagai “bendungan”, agar ideologi komunis yang mengalir dari
Indocina tidak meluber sampai ke Australia. Dalam rangka inilah
rezim Soeharto mencaplok Timor Timur pada tahun 1975, sesuai instruksi Gedung
Putih.(Lihat buku Nation In Waiting karya Adam
Schwarz)
Adanya bahaya
komunis yang nyata membawa dua keuntungan bagi Korsel. Pertama, negara itu mendapat dana bantuan militer
bernilai milyaran dolar dari barat. Kedua, negara itu memiliki legitimasi yang
kuat untuk memberlakukan wajib militer bagi semua warga negaranya, yang
kemudian menumbuhkan disiplin dan etos kerja yang tinggi secara nasional.
Pembangunan ekonomi vs
Indoktrinasi
Kalau dibandingkan masa-masa permulaan pembangunan
ekonomi di Korsel dan Indonesia, yang membedakan hanya masalah prioritas dan
kemudian strategi yang dipilih. Rezim militer Korsel langsung fokus pada
pembangunan ekonomi dengan prioritas modernisasi pertanian, sambil membangun
pondasi industri. Pada waktu itu hampir 85 % penduduk Korsel bekerja di sektor
pertanian.
Pada saat yang sama dan berlanjut hingga
pertengahan tahun 80-an, konsentrasi rezim Soeharto terpecah antara pembangunan
ekonomi dan upaya memantapkan kekuasaan rezimnya. Sebenarnya tidak ada
resistensi yang berarti waktu itu, namun Soeharto selalu merasa tidak aman
sebelum pemujaan rakyat terhadap Bung Karno terkikis habis. Hampir dua dekade
Soeharto menghabiskan masa kekuasaannya untuk melakukan de-sukarnoisasi,
dilanjutkan program indoktrinasi yang sangat masif dan intensif; termasuk
penataran P4 dan kooptasi semua unsur masyarakat.
Faktor paranoid inilah yang membuat Soeharto lebih
percaya pada pengusaha keturunan Cina, yang nota bene hanya jago berdagang,
sehingga bisnis di Indonesia sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah
dan berwatak rent seeker. Di sisi lain, modernisasi pertanian tidak bisa
berjalan karena sebagian besar petani di Jawa tidak memiliki lahan, sehingga
Soeharto terpaksa meniru program transmigrasi peninggalan kolonial. Proyek ini
banyak menghabiskan anggaran, sebagian besar dikorupsi oleh kalangan birokrat
dan kaki tangan militer yang “mendadak dangdut” jadi pengusaha.
Kembali ke Korea Selatan, dengan adanya wajib
militer secara nasional, negara itu tidak mengalami kesulitan mengerahkan
rakyatnya melakukan modernisasi pertanian. Roda perekonomian pun segera
berputar karena semua orang bekerja dan punya penghasilan. Dengan sistem rodi
berbasis patriotisme ini, didukung penguasaan ilmu dan teknologi pertanian,
dalam waktu singkat agrobisnis mengalami booming di Korsel. Padahal sebagian
besar wilayahnya merupakan perbukitan yang tandus, kecuali daerah sepanjang aliran
sungai Han-gang yang memang sangat subur.
Kemajuan pertanian yang luar biasa itu menjadi
pijakan kokoh untuk memulai industrialisasi. Dengan menyisihkan sebagian dana
bantuan militer dari barat, Korsel memberikan modal kepada sejumlah pengusaha
untuk membangun industri manufaktur. Merekalah yang menjadi cikal bakal
Chaebol, konglomerasi khas Korsel yang kini muncul sebagai pemain global dengan
daya saing yang amat tangguh, antara lain Samsung, Hyundai, Daewoo dan Lucky
Goldstar (LG).
Kini, kendati Korsel sudah menjelma menjadi negara
industri raksasa, sektor pertanian masih memainkan peran penting dan ikut
menyumbang devisa yang signifikan. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian,
dewasa ini, hanya sekitar 10 %. Namun produk pertanian mereka justru meningkat
enam kali lipat dibanding akhir tahun 60-an.
Korsel kini menguasai pasar dunia untuk produk
farmasi dan ekstrak ginseng, serta memonopoli pasar Amerika untuk komoditi
kim-chi, sejenis sawi yang difermentasi. Sedangkan para petani palawija di
Tanah Karo masih tetap mengekspor sayuran segar ke Hongkong dan Singapura, sama
seperti 40 tahu silam, namun dengan keuntungan yang makin kecil lantaran tata
niaga pupuk dan pestisida sudah menjelma menjadi instrumen penghisapan.
Korupsi vs kolusi
Membandingkan Indonesia dengan Korsel memang
sangat menarik, terutama karena perbedaan “nasib” kedua negara yang sangat
kontras 40 tahun kemudian. Sepintas tidak banyak perbedaan perilaku rezim di
kedua negara itu, sehingga tidak terlalu gampang menjelaskan secara singkat
mengapa kemajuan kedua negara bisa begitu “jomplang”.
Selain dua faktor yang telah disebutkan tadi,
yaitu wajib militer yang berlaku secara nasional dan pembangunan ekonomi yang
fokus, konsekwen dan konsisten; tampaknya faktor penting lainnya lantaran pemegang
kekuasaan di Korsel bersifat kolektif, sebaliknya Soeharto kemudian menjelma
menjadi penguasa tunggal atau diktator yanguntouchable.
Orang sering bilang Indonesia menjadi amburadul
seperti sekarang ini akibat korupsi. Korsel pun setali tiga uang. Perilaku
korupsi di negara itu tidak kalah parah dibanding di Indonesia. Perbedaannya
hanya dua : Korsel sudah menghukum tiga presidennya (Chun Doo-hwan, Roh
Tae-woo, Kim Young-sam) lantaran terlibat korupsi dan disana tidak ada praktek
kolusi seperti di Indonesia. Sedangkan di negara tercinta ini, hanya koruptor
kelas teri yang berhasil diproses secara hukum, sementara praktek merampok
kekayaan negara sudah semakin canggih melalui kolusi.
Kolusi lebih mematikan dibanding korupsi. Ibarat
mencuri, korupsi adalah mengambil sebagian uang dari brankas, sedangkan kolusi
mengambil semua brankasnya tanpa harus menggotongnya. Cukup dengan memainkan
aturan hukum, brankas tadi sudah berpindah hak tanpa yang bersangkutan harus
mengotori tangannya atau berkeringat menggotongnya. Praktek inilah yang
dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya, dengan menciptakan berbagai tataniaga,
penguasaan sumber daya alam, pemerasan secara legal dengan memperdaya konsumen,
praktek monopoli dan oligopoli, dst, dst.
Sebenarnya sampai pertengahan tahun 70-an,
Soeharto masih relatif bersih, namun memang sudah menjadi rahasia umum
bagaimana isterinya berperan sebagai makelar proyek. Meningkat ke tahun 80-an
praktek kolusi yang amat canggih itu mulai mereka praktekkan, diawali dengan
liberalisasi ekonomi dan privatisasi usaha yang berkaitan dengan kepentingan
umum. Dalam hal ini para pemimpin Korsel tidak ada apa-apanya dibanding Soehartodan
kroni-kroninya. Suruh orang-orang Korea itu belajar ke Cendana!
Olimpiade, Piala Dunia,
Sekjen PBB
Bagaimana dengan demokratisasi dan kepastian hukum
? Sampai sekarang Korsel masih kalah dari Indonesia dalam dua hal itu.
Maksudku, secara prosedural demokratisasi dan kepastian hukum di Indonesia jauh
lebih maju dibanding Negeri Ginseng itu. Sayang, cuma prosedural.
Perlawanan mahasiswa
dan pejuang HAM di Korsel kurang lebih sama saja dengan di Indonesia.
Banyak peristiwa kekerasan, berdarah-darah dan pembunuhan aktivis. Dan sampai
sekarang cengkeraman politik militer masih sangat kuat di negara itu, sehingga
proses demokratisasi berjalan sangat lambat. Namun bedanya dengan di Indonesia,
setiap kemajuan kecil yang dicapai dalam proses demokratisasi di Korsel selalu
menimbulkan perubahan yang nyata alias down on earth. Sedangkan
disini semuanya berujung pada tataran prosedural formal alias bersifat
seolah-olah.
Kini kita menyaksikan Korsel tampil sebagai negara maju
yang sangat disegani di dunia. Pencapaian itu mereka rayakan bukan dengan
membuat klaim-klaim sepihak gaya
Indonesia,
tapi dengan mengibarkan bendera mereka di panggung internasional dengan
megahnya.
Dimulai dengan
menjadi penyelenggara Olimpiade, yang menempatkan Korsel sebagai negara kedua
di Asia yang mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah pesta olahraga sejagat
itu, kemudian menjadi tuan rumah bersama Jepang menyelenggarakan Piala Dunia,
lalu disempurnakan dengan terpilihnya orang Korsel menjadi Sekjen PBB.
Kemajuan yang gemilang itu diraih Korsel hanya dalam kurun
waktu 40 tahun. Pada kurun waktu yang sama, Indonesia dengan gemilang berhasil
menghapus reputasi internasional yang dahulu dibangun Soekarno. Kita juga
berhasil menyulap sawah-sawah produktif menjadi kota moderen, serta membuat dataran tinggi
seperti kota Bandung menjadi langganan
banjir saban tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar