Dalam pengertiannya yang populer, ideologi adalah sebuah
doktrin, cita-cita ataupun kepercayaan yang dijadikan acuan dan pedoman
bagi sebuah gerakan sosial untuk mewujudkan cetak biru masyarakat yang
diidealkan. Sebuah gerakan ideologis akan sukses jika mampu
membangkitkan militansi pendukungnya karena tertarik akan cita-cita
sosial yang ditawarkan, sehingga muncul kohesi dan militansi para
pendukungnya. Gerakan ideologis biasanya memerlukan “musuh bersama” yang
mengikat anak bangsa, sehingga staminanya bertahan lama. Perseteruan
Barat dan Timur, misalnya, saat ini tak lagi militan karena ideologi
kapitalisme dan sosialisme kian membaur.
Di Indonesia, gerakan
ideologis di panggung nasional yang militan pernah terjadi dua kali.
Pertama gerakan kemerdekaan yang puncaknya pada proklamasi kemerdekaan
1945 dan, kedua, gerakan komunisme yang memperoleh kounter ideologi
Islamisme dan Pancasila pada 1965. Dua peristiwa itu telah mengantarkan
perubahan cetak biru sosial-politik secara spektakuler. Setelah itu
ayunan pendulum ideologi keagamaan cenderung berada di garis tengah.
Namun secara ekonomi muncul ideologi baru yang sangat radikal, yakni
kapitalisme global yang merobohkan dan meluluhlantakkan ekonomi
tradisional dengan segala implikasinya.
Generasi Peralihan
Ketika
bangsa-bangsa lain telah memasuki era sains dan teknologi moderen,
Indonesia masih bersikukuh dengan pendekatan ideologis dalam merespon
beragam tantangan ekonomi dan politik, sehingga secara empiris bangsa
ini secara ekonomi kian tertinggal. Beberapa pemimpin dunia sudah
mengarahkan masyarakatnya pada scientific based society yang
menghargai profesionalisme, transparansi dan efektivitas kerja, sehingga
ketika mengangkat pejabat publik tidak semata berdasarkan pertimbangan
balas budi. Sayangnya, kultur politik kita masih lebih senang
mempertimbangkan mayoritas-minoritas, etnisitas, kelompok politik dan
perkoncoan, sehingga banyak jabatan strategis pemerintah diisi oleh
orang-orang yang tidak kapabel semata untuk menjaga stabilitas politik
yang sangat konsumtif.
Pasca Soeharto adalah masa transisi yang
mengakhiri jajaran tokoh ‘45 dan ’66. Durasi ini seakan dibagi-bagi agar
mereka memperoleh jatah untuk berkuasa meskipun hanya sebentar karena
pada pemilu 2014 nanti tiba giliran lapisan generasi baru yang lahir dan
tumbuh pada era kapitalisme dan pasar bebas yang akan memimpin bangsa
ini. Mereka dibesarkan oleh kampus dan iklim budaya global, bukannya
anak kandung ideologi kemerdekaan ataupun keagamaan yang kental. Dalam
jumlah yang kecil memang masih ada dan tetap akan ada kelompok ideologi
keagamaan ini yang diragukan loyalitasnya pada Pancasila dan Indonesia.
Dengan munculnya fenomena global networking society
yang menggerogoti identitas nasional dan lokal, maka pemerintah mesti
menciptakan ideologi baru yang menyatukan kepentingan semua anak bangsa
dan menjadi pengikat kohesi emosi dan cita-cita bersama, sebagaimana
yang pernah terjadi pada tahun 1945 dan 1966. Di sinilah peluang dan
panggilan strategis Presiden SBY untuk mengantarkan masa peralihan
generasi dan ideologi ini demi masa depan Indonesia. Dalam konteks ini
SBY mesti mendorong tampilnya partai politik yang cerdas, bersih, santun
dan progresif untuk menampung aspirasi dan dedikasi generasi baru yang
militan, bersih dan visioner.
Sebagai Presiden dan negarawan
sebaiknya SBY mengambil posisi yang sama dengan semua parpol untuk
mempersiapkan pemilu 2014 yang hasilnya benar-benar menjanjikan bagi
masa depan bangsa. Segera dibentuk anggota Komisi Pemilihan Umum yang
kredibel, sehingga pemilu 2014 nanti menjadi garis demarkasi dan
landasan take off untuk menuju Indonesia yang cerdas,
bermartabat dan sejahtera. Kalau SBY berhasil menyederhanakan jumlah
parpol menjadi paling banyak sepuluh, itu sudah suatu prestasi historis.
Terungkapnya
berbagai skandal korupsi di kalangan polisi, jaksa, pajak dan DPR mesti
dimanfaatkan sebagai momentum bagi SBY untuk melakukan perbaikan secara
radikal dan mewariskan kultur pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kalau tidak, pemerintah ini ibarat bengkel, bisanya hanya sibuk bongkar
tetapi tidak bisa pasang. Berhasil menangkap sederet koruptor masa lalu
dan yang tengah berjalan, namun tidak berhasil membangun institusi baru
untuk dibanggakan pada generasi penerus.
Kita ingin sekali tiga
tahun ke depan ini muncul suasana kebatinan baru yang segar, optimistis
dan penuh antusias untuk mengakhiri era transisional yang semrawut,
hiruk pikuk dan mahal ini. Bangsa ini memerlukan ideologi baru yang
menimbulkan antusias, semangat juang, dan mampu mengikat kohesi bangsa
tanpa menghilangkan keragaman agama dan budaya. Ini merupakan salah satu
tantangan yang mesti dijawab oleh pemerintahan SBY. Kita merindukan
pikiran-pikiran cerdas dan penuh inspirasi dari komunitas politisi di
Senayan, dari kalangan Menteri dan para intelektual kampus serta LSM.
Rakyat
sudah lelah dengan wacana yang penuh gugatan namun tanpa alternatif
solusi. Berita media massa selama ini penuh dengan kejutan yang
memuakkan dan melelahkan dengan terungkapnya sekian skandal korupsi oleh
para penegak hukum. Kita memerlukan ideologi yang mendorong terwujudnya
Indonesia cerdas, Indonesaia sehat, dan Indonesia sejahtera.
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar