The Power of Ethos
”Mungkin akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu
itu telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke,
Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun 1944.
”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu dihadapkan dan
diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa hidup normal,” katanya.
”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat. Saya selalu merasa malu dengan negara
saya. Dan di sekolah semua keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi
kami untuk merasa bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat
tentang Jerman hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah
negara yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat
terendah di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national
pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000
responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional”
(national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31 persen) di
antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam kehidupan rakyat Jerman.
Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah kejujuran dan integritas (81-83
persen).
Adakah ini semua berkaitan dengan beban sejarah itu? ”Ya. Setelah perang
dunia berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak
terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne Zepp,
Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll Foundation. Zepp
menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian dari identitas” bangsanya.
Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali warga Jerman dihadapkan pada
pertanyaan menyangkut perang dan perdamaian, isu Israel dan Yahudi, ataupun isu
rasisme dan radikalisme.
Generasi pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena
setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu. Prof
Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari Friedrich-Meinecke Institut,
Freie Universitat Berlin, mengenang betapa ia dan rekan segenerasinya sulit
untuk terbebas dari ikatan ”keterlibatan” itu.
”Saat itu saya masih mahasiswa.
Pada sebuah pertemuan anti-fasisme di tahun 1970-an, saya mengajukan usul agar
kita berbicara tentang generasi orangtua kita. Saya katakan bahwa ayah saya
adalah kapten di militer Jerman (SS, Schutz-Staffel), lalu orang di sebelah
saya mengatakan, oh ayah saya kolonel di situ, lalu ada juga yang mengatakan
bahwa ayahnya adalah pejabat penting dalam kepemimpinan Nazi, sampai akhirnya
seorang politisi ternama dari Partai Hijau angkat bicara dan mengatakan, ayah
saya adalah Albert Speer (arsitek yang dikagumi Hitler dan sejak 1933 membangun
gedung-gedung representatif di Berlin, Munchen, dan Nuernberg—Red),” kata
Wippermann.
”Kesimpulannya, seluruh generasi
kami adalah anti-fasis, namun mereka memiliki fascist relation. Ini mungkin
sebuah kesalahan yang menjadi penyebab mengapa kita tidak terlalu sukses di
tahun 1960-an untuk mengajari masyarakat bagaimana berhadapan dengan masa
lalu,” katanya.
Proses panjang
Penerimaan terhadap aib di masa
lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap. Usai PD II negeri ini hancur
berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta penduduk yang kehilangan tempat
tinggal. Belum lagi para pengungsi yang terusir dari kediamannya setelah
wilayah Jerman dipangkas berdasarkan kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang
tak memiliki pilihan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan
berkonsentrasi penuh pada gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali
ekonomi, kota-kota yang hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan
mereka.
”Rakyat Jerman harus
bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas ini berkembang bahwa
Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda harus menciptakan keajaiban
ekonomi, dan seandainya Anda berhasil mungkin tetangga-tetangga Anda akan
melupakan kejahatan yang telah Anda lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat
Jerman saat itu telah membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan
dengan kerja keras dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.
Pihak Sekutu mengerahkan segala
cara agar militerisme Jerman tidak bisa bangkit lagi, antara lain melalui
”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi
lain mereka juga berhati-hati dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada
komunisme jika perekonomian memburuk.
Perang Dingin pada akhirnya mengubah
pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan
melalui Marshall Plan atau Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS
menganggap bahwa sebuah Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi
dari sebuah ”Jerman yang stabil dan sejahtera”.
Marshall Plan telah ”berjasa”
dalam hal mendepolitisasi industri, di mana industri lebih terfokus pada
peningkatan produktivitas. Karyawan yang rela digaji rendah, tingkat aksi
pemogokan yang rendah, dan menurunnya karakter militansi dalam tubuh asosiasi
buruh, ikut mempercepat pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut
psikologi ”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).
”Jangan lupa, bangsa Jerman tidak
bangkit dengan sendirinya. Selain ada Marshall Plan, Jerman juga memperoleh
keuntungan dari Perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen,
editor Asia-Pasifik surat kabar Die Tageszeitung.
Kesuksesan ekonomi menjadi faktor
signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk komit terhadap nilai-nilai
demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal parlemen atau pembagian kekuasaan antara
eksekutif dan legislatif. Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah
bangsa dan ketika kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi
lagi,” kata Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30
sampai 40 tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak
dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.
”Tujuan
kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita belajar dari
sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral dari identitas
nasional kita,” lanjutnya.
Inilah hasil demokrasi yang
sesungguhnya. Sebuah proses yang patut ditiru bangsa kita yang sangat mudah
melupakan masa lalu.
Sumber: Kompas, Bangsa yang Melawan Pelupaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar