Tarian ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat
tradisional di Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di
Provinsi Sulawesi Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian
penari menghunus parang tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke
tanah!
Seperti kebanyakan seni tari tradisional yang masih
orisinal, tarian lumense kurang mengeksplorasi tubuh melalui
gerakan-gerakan yang dapat lebih mengekspresikan simbol-simbol
keseharian masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Gerak para penari hanya mengandalkan gerakan dasar dengan dukungan irama musik dari tetabuhan gendang dan bunyi gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Namun, secara artistik, gerak tari lumense tetap memenuhi kriteria tontonan.
Terdapat tiga penabuh gendang,
tawa-tawa, dan ndengu-ndengu yang bertugas membunyikan instrumennya,
sebaris penari, dan anakan pohon pisang dalam jarak tertentu. Jumlah
pohon disesuaikan dengan jumlah pemain ”putra”.
Kelompok penari
lumense biasanya berjumlah 12 wanita muda: enam berperan sebagai pemain
putra, dan sisanya sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat
Kabaena dengan rok berwarna merah maron. Baju atasnya hitam. Baju ini
disebut taincombo, yang bagian bawah mirip ikan duyung.
Khusus
para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok
putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang
di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi
dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu diasah agar matanya
tetap tajam.
Tarian ini diawali gerakan-gerakan maju mundur,
bertukar tempat, kemudian saling mencari pasangan. Gerakan mengalir
terus hingga membuat konfigurasi leter Z, lalu diubah lagi menjadi
leter S. Pada tahap ini ditampilkan gerakan lebih dinamis yang disebut
momaani (ibing).
Pada saat itu tarian ini akan terasa amat
menegangkan. Pasalnya, parang telah dicabut dari sarungnya dan
diarahkan ke kepala penari putri sambil masih terus momaani. Dalam
sekejap parang itu kemudian ditetakkan (ditebaskan) ke batang pisang.
Dalam sekali ayun semua pohon pisang rebah bersamaan.
Tarian
lumense ditutup dengan sebuah konfigurasi berbentuk setengah lingkaran.
Pada episode ini para penari membuat gerakan tari lulo, dengan jari
yang saling mengait sedemikian rupa sehingga telapak tangan
masing-masing saling bertaut, lalu secara bersama digerakkan turun-naik
untuk mengimbangi ayunan kaki yang mundur-maju.
Sekadar
diketahui, tari lulo adalah tari pergaulan masyarakat Sultra di zaman
modern ini. Tari yang dimainkan secara massal itu adalah tari
tradisional masyarakat Tolaki di daratan jazirah Sultra, juga
masyarakat Kabaena dengan perbedaan pola atau versi gerakan yang tipis.
Sebagian
besar penduduk Pulau Kabaena sampai saat ini adalah petani
tradisional. Membuka hutan untuk berladang atau berkebun adalah pola
pertanian yang masih berlaku, terutama di pedalaman. Korobi atau sarung
parang yang disandang penari ”putra” merupakan pengungkapan dari
aktivitas keseharian masyarakat agraris yang masih tradisional itu.
Ada
pula pihak-pihak yang menyebut tarian lumense tidak ramah lingkungan,
itu hanya karena menampilkan adegan menebas pohon pisang. Namun, bagi
masyarakat Kabaena, pohon pisang tidak bisa diganti dengan properti
lain. Pasalnya, pohon pisang dipersonifikasikan sebagai bencana yang
harus dicegah.
Bencana bisa dalam bentuk banjir, tanah longsor,
wabah penyakit, dan kerusuhan sosial. Maka, ketika pohon pisang telah
rebah, artinya bencana telah dapat dicegah, dan warga pun akan hidup
dalam suasana yang aman dan tenteram.
Kekompakan dan rasa
kekerabatan juga menjadi komitmen dalam kehidupan sosial masyarakat
tradisional Kabaena. Hal itu disimbolkan dengan konfigurasi tarian
massal lulo tadi.
Pada zaman dahulu (tarian) lumense ditampilkan
dalam suatu acara ritual yang disebut pe-olia, yaitu penyembahan dalam
bentuk penyajian aneka jenis makanan kepada roh halus agar roh halus
yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) berkenan mengusir
segala macam bencana bagi ketenteraman hidup manusia. Penutup atau
klimaks dari upacara sesajen tersebut adalah penebasan pohon pisang.
Tarian
ini juga sering ditampilkan pada masa Kesultanan Buton. Kabaena dan
Buton memiliki hubungan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan karena
Kabaena merupakan salah satu wilayah kesultanan Buton.
Source : Great Buton
Source : Great Buton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar