Oleh : Syaiful Halim
Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena, kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya bukti sejarah yang masih terawat.
Selama ini, Pulau Buton lebih dikenal sebagai pulau penghasil aspal.
Padahal di luar hasil bumi itu, pulau ini memiliki “harta karun” nan
dasyat. Yakni, jejak arkeologis berupa benteng-benteng yang nyaris
mengepung seluruh pulau dan sejarah panjang Kesultanan Butuni.
Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena, kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya bukti sejarah yang masih terawat.
Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton
ke-3 La Sangaji pada abad ke-15. Dan, bangunan itu benar-benar rampung
pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 La Buke pada 1634. Keunikan
bangunannya; bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelas selatan
sebagai kepalanya, maka akan memnentuk huruf “dal” – huruf ke delapan
pada alfabet bahasa Arab atau huruf terakhir nama Baginda Rasulallah
Muhammad saw. Pintu benteng (lawa) berjumlah 12, yang bermakna jumlah
lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang
dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam As.
Bastion (kubu pengawas) berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutkan 17 –
jumlah rakaat dalam shalat selama sehari. Angka-angka itu tidak muncul
secara kebetulan. Tapi, perancang pembangunan benteng memang
menyiapkannya secara khusus, untuk memberikan gambaran adanya nilai
tasawuf dalam pemerintahan Kesultanan Butuni. Sekaligus monumen bagi
rakyatnya, untuk terus memahami dan mengamalkan akhlak mulia
yangbersandarkan ajaran Ilmu Tasawuf tersebut.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan,
ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Selain itu, bagian dalam benteng juga
menjadi lokasi pemukiman. Hal itu memungkinkan, karena benteng memiliki
lahan yang luas, yakni sekitar 400.000 m² dan dikelilingi benteng
sepanjang 2740 m. Tinggi temboknya 2-8 m dan lebar 1-2 m.
Pulau Buton di masa silam adalah Kerajaan Hindu dengan I Wa Kaa Kaa
sebagai raja pertamanya. Saat itu, nama Pulau Buton telah diperhitungkan
dan tercatat dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, Kitab Negara
Kertagama karangan Mpu Prapanca menuliskan keberadaan Pulau Buton.
Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Butuni, setelah Raja Buton
ke-6 Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo menjadi muslim
dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.
Pengisalaman ini merupakan buah kehadiran Ahli Ilmu Tasawuf asal Negeri
Gujarat Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani di Pulau Buton.
Wajah Islam di lingkungan kesultanan makin berbinar, setelah sang
syekh pun menanamkan ajaran tasawuf pada sultan dan keluarganya.
Sehingga, pemahaman mereka akan Islam benar-benar makin kokoh. Buah
terindah dari bibit ajaran soal penyucian akhlak oleh Syekh Abdul Wahid
dan Sultan Murhum Kaimuddin adalah diterbitkannya UUD Martabat Tujuh
sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Perancang UUD tersebut
adalah Sultan Butuni ke-6 Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf di setiap sendi kehidupan Kesultanan Butuni
juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan seorang warga
Benteng Keraton Mulia, Muzaji Mulki. Seluruh manuskrip bertuliskan
huruf Arab namun isinya menggunakan Bahasa Arab, Wolio, dan Melayu.
Bahasa Melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid lama
bermukim di Johor, Malaysia. Bahkan, penyebar Islam atau guru-guru yang
berdatangan ke pulau tersebut setelah Syekh Abdul Wahid umumnya berasal
dari Negeri Jiran.
Namun, yang harus dicatat dengan tinta emas adalah kehadiran UUD
Martabat Tujuh. Karena, hal itu sama artinya, Kesultanan Butuni telah
menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan
lagi berada di wilayah syariat – seperti yang saat ini ramai diterapkan
di berbagai daerah di tanah air. Namun, mereka justru telah berada di
wilayah tarekat! Dengan UUD Martabat Tujuh, Kesultanan Butuni membangun
tata kehidupan yang demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan
sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia merupakan orang
yang dipilih oleh Anggota Dewan (patalimbona) karena kemampuan dan
akhlaknya. Karena persoalan akhlak, seorang sultan bisa dilengserkan
bila kedapatan melakukan pelanggaran.
Selain itu, tata cara pengaturan pemerintahan, pengambilan keputusan,
dan hubungan sosial antarwarga atau dengan negeri lain, semuanya atas
dasar akhlak mulia. Bukan untuk menimbulkan masalah. Tapi, memang
ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat. Sehingga,
sang sultan bertanggungjawab penuh atas situasi lahir-batin seluruhya
warganya. Ia juga sadar bahwa kelak Allah swt akan meminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pimpinan atau pejabat apa pun di masa itu biasanya akan melakukan
sujud syukur ketika tugasnya berakhir. Jadi, bukan ketika ia terpilih
atau diangkat. Hal ini merupakan cermin, tugas atau jabatan adalah
amanah, hingga harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Setelah
selesai dan dianggap berhasil, maka merasa perlu untuk berterima kasih
kepadaNya. Karena, sesungguhnya ia hanyalah kepanjangan dari
tangan-tangan Yang Maharaja.
Cerita tentang tasawuf itu sendiri hingga kini masih menjadi
kebanggaan warga Pulau Buton. Tapi, jangan tanya soal kelompok tarekat
di tempat itu. Karena, mereka umumnya masih tertutup dan menganggapnya
sebagai hal yang rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang berhak tahu
dan bisa menjadi bagian dari komunitasnya. Kenyataan ini bertolak
belakang dengan situasi di Jawa, Sulawesi Selatan, atau Sulawesi Barat,
yang masih memberikan “ruang” bagi orang awam, untuk mengetahui
keberadaan sebuah kelompok tarekat.
Inspirasi yang berhembus dari Pulau Buton adalah betapa indahnya
taman surga yang dikelola dengan nuansa Islam yang sebenar-benarnya
Islam. Islam yang menghadirkan kedamaian dan ketentraman bagi siapa pun.
Utamanya, Islam yang dikembangkan itu berpijak pada martabat syariat,
tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Karena, Kesultanan Butuni senantiasa
dipimpin oleh Sultan yang memahami dan mengamalkan Ilmu Tasawuf secara
mendalam. Sehingga, kebutuhan sang Sultan bukan lagi untuk diri pribadi.
Tapi, lebih kepada Diri Pribadi. Semuanya hanya untuk Yang Maharaja.
Maka, kemuliaan pulalah yang diraih oleh negeri dan rakyatnya.
Subhanallah.
Bila diamati lebih dalam, para Sultan Butuni jelas merupakan gambaran
pribadi-pribadi yang senantiasa berserah diri kepada yang Mahasuci.
Dengan demikian, mereka pun telah melewati tahapan-tahapan perjalanan
batiniah yang panjang. Dengan pribadi yang senantiasa berserah diri,
maka jelas mereka pun senantian bersabar, bersyukur, bertawakal, dan
berzuhud. Serta, istiqomah menjaga bangunan hatinya. Maka sangatlah
wajar, bila produk-produk yang dihasilkan oleh para sultan adalah
senantiasa menebarkan kemuliaan bagi warga Pulau Buton. Bahkan, mereka
pun benar-benar bertanggungjawab atas apa-apa yang diterima oleh
rakyatnya secara lahiriah atau batiniah. Sehingga, Pulau Buton laksana
taman surga bagi para penghuninya. Serta, membuat sultan dan rakyatnya
terus saja istiqomah berserah diri kepada Yang Maharaja.
Tidak mudah mendapati pemimpin laksana Sultan Butuni. Mereka lahir
dan berkembang di taman surga, yang memungkinkan individu-individunya
memiliki pribadi-pribadi yang senantiasa bersabar, bersyukur,
bertawakal, berzuhud, dan berserah diri. Tapi sebagai insan yang
bertekad memuliakan diri ini dan sekeliling kita, maka sudah
sepantasnya, perangkat pribadi-pribadi seperti sang Sultan Butuni itu
melekat juga di bangunan hati kita. Sehingga, kalaupun kita belum
memiliki kesempatan menjadi pemimpin, tapi kita telah bersiap-siap
dengan bekal yang memadai. Kita bisa terlihat sebagai pemimpin, meskipun
saat itu posisi kita bukan sebagai pemimpin. Itulah pribadi-pribadi
yang kharismatik dan berwibawa. Dengan kenyataan itu, paling tidak kita
bisa lebih siap berhadapan dengan siapa pun. Tanpa merasa kecil, rendah,
atau tidak berguna.
Kesultanan Butuni memberikan banyak pelajaran bagi kita. Pertama,
soal pola kepemimpinan dalam kesultanan yang memiliki tradisi Islam
begitu kokoh. Dan kedua, tentu saja, menyangkut sosok pemimpin negeri
yang amanah. Berabad-abad yang lalu, kalangan gusti di Kesultanan Butuni
telah membenamkan diri dalam zona kesuciaan dengan penuh keikhlasan dan
keridhaan. Sebenarnya, saat itu mereka tengah menikmati banyak
kemuliaan laksana Nabi Allah Sulaiman as. Namun, ketika pesan
kebangkitan atau pencerahan diri tiba, mereka pun menyambutnya dengan
gegap-gempita.
Mereka bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk
menapaki jalan lurus. Tapi, mereka justru makin melarutkan diri dengan
kedalaman ajaran Islam itu sendiri, untuk menjangkau surga yang
sebenar-benarnya. Surga di dunia dan akhirat. Amati kembali bagaimana
pribadi-pribadi yang diperlihatkan oleh para Sultan Butuni. Perhatikan
juga bagaimana ia dilahirkan dan ditempa oleh sekelilingnya. Para Sultan
Butuni adalah produk masyarakat adat yang terkondisikan untuk
senantiasa bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri, kepada
Yang Maharaja. Sehingga, sangatlah wajar istiqomah batiniah secara
massal itu membentuk pribadi-pribadi nan mempersona. Yakni, para
pemimpin yang bersiaga mengemban amanah, mencurahkan kemuliaan, dan
menghindangkan surga bagi rakyatnya.
Kisah para Sultan Butuni tidak ubahnya kisah bunga hias nan indah,
tapi membenamkan diri di antara rerumputan liar. Padahal, ia berada di
vas bunga besar dan indah dan diletakkan di rumah kaca. Tapi, ia ikhlas
menghantarkan kemuliaan derajatnya untuk menyatu dengan tanaman lain.
Bahkan, rerumputan. Dan, dengan tangan mulianya itulah, ia tebarkan
kemuliaan bagi tanaman lain. Sehingga mereka pun sama-sama berada di
taman luas nan indah.
Para Sultan Butuni merupakan bunga inspirasi pemimpin negeri yang
senantiasa berserah diri kepada Yang Maharaja. Karena, ia mengemban
amanah itu kemuliaan dirinya dan juga rakyatnya. Serta menjadikan
Kesultanan Butuni sebagai surga bagi warga Pulau Pulau Buton. Dan,
yakinilah bahwa pada hakekatnya setiap dari kita pun mengemban amanah
laksana Sultan Butuni. Namun, adakah kesabaran untuk menantikan masa
itu, serta kesiapan untuk menebarkan kemuliaan untuk sekeliling kita?
Masa itu pastinya akan datang. Entah di ruang yang mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar