Oleh : Hasmina Syarif.
Jepang misalnya dengan etos kerja "bushido" dan "kaizen", masyarakatnya berhasil dalam menginternalisasi nilai leluhur bersumber dari tradisi “Samurai” dan semangat “Bushido” yang membentuk watak dan mental bangsa Jepang. Dikenal sebagai ”the code of samurai” yang terdiri dari 7 prinsip yaitu baik/murah hati, keberanian, kejujuran, kehormatan, keadilan, loyalitas, dan respek telah melahirkan etos kerja kaizen yang menjadi tumpuan budaya yang amat penting dalam upaya mengadaptasi teknologi asing tanpa mengabaikan identitas budaya dan lokal genius yang mereka miliki.
Cara kita menghargai orang lain merupakan tolak ukur seberapa besar cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, karena sikap saling menghargai akan mampu mempererat persaudaraan dan membentuk hubungan baik didalam komunitas, meluaskan kekerabatan dan membina relasi, sehingga sangat memungkinkan kita dapat mengesampingkan perbedaan dan sama-sama aktif mengembangkan diri, berkreasi, berinovasi, dan mencapai kemandirian dalam wujud ”team work”..
Awal lumpuhnya nilai-nilai leluhur dalam kontek etos kerja berbasis kebutonanan karena belum tampilnya pemimpin berkarakter ”leadership culture” yang diharapakan memiliki perhatian khusus dalam upaya-upaya pengkajian nilai budaya yang terintegrasi dalam konsep pendekatan strategis, sistimatis dan proporsional agar dapat memberikan konstribusi yang optimal dalam membagun daerah. Hal ini disebabkan karena disatu pihak pandangan yang muncul seringkali mencerminkan argumen-argumen kaum cultural neutralis yang memandang peranan nilai budaya terhadap etos kerja sebagai sesuatu yang bebas nilai dengan mengenyampingkan faktor ”sosio cultural”.
Tantangan persaingan untuk unggul di era
global, telah memicu setiap negara untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan,
suka atau tidak suka kita harus menghadapinya sekalipun itu merupakan rintangan
besar. Kompetisi global mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang
berkualitas dan berwawasan keunggulan. Kita seakan cenderung melupakan bahwa
membangun sumber daya manusia, tidak boleh mengabaikan aspek etika dan moral
sebagai prasyarat terbentuknya ”etos kerja” yang tinggi dan berkarakter, yang
bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki.
Etos
Kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap
ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian
bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Secara estimologis etos berasal dari
bahasa Yunani yang berarti karakter, watak kesusilaan, adat istiadat atau
kebiasaan.
Keberhasilan negara-negara maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapore dll., dalam membuktikan bahwa dominasi keunggulan sumber daya manusia yang berwujud “intlectual and moral capital” yang berbasis etos kerja tinggi, jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang negara yang hanya mengandalkan “natural capital” melimpah tapi miskin sumber daya manusia, seklipun negara-negara maju tersebut tidak memiliki kekayaan alam sebesar yang di anugrehkan oleh Allah SWT sebagaimana Negara/daerah kita?.
Keberhasilan negara-negara maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapore dll., dalam membuktikan bahwa dominasi keunggulan sumber daya manusia yang berwujud “intlectual and moral capital” yang berbasis etos kerja tinggi, jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang negara yang hanya mengandalkan “natural capital” melimpah tapi miskin sumber daya manusia, seklipun negara-negara maju tersebut tidak memiliki kekayaan alam sebesar yang di anugrehkan oleh Allah SWT sebagaimana Negara/daerah kita?.
Jepang misalnya dengan etos kerja "bushido" dan "kaizen", masyarakatnya berhasil dalam menginternalisasi nilai leluhur bersumber dari tradisi “Samurai” dan semangat “Bushido” yang membentuk watak dan mental bangsa Jepang. Dikenal sebagai ”the code of samurai” yang terdiri dari 7 prinsip yaitu baik/murah hati, keberanian, kejujuran, kehormatan, keadilan, loyalitas, dan respek telah melahirkan etos kerja kaizen yang menjadi tumpuan budaya yang amat penting dalam upaya mengadaptasi teknologi asing tanpa mengabaikan identitas budaya dan lokal genius yang mereka miliki.
Negara
mata hari terbit tersebut telah membuktikan kepada dunia bahwa salah satu prakondisi
kemajuan negaranya adalah tumbuhnya “Etos Kerja” tinggi berkarakter yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal yang menginspirasi kebangkitan spirit terciptanya budaya yang
amat positif dalam pola kerja organisasi, pemerintah maupun swasta yang mampu
melahirkan generasi yang tangguh dalam sains dan teknologi sehinggga bermuara
pada terciptanya produk/kinerja berkualiatas yang diakui dunia.
Jepang
terkenal sangat konsisten terhadap nilai budaya leluhurnya bahkan demi menjaga
martabat dirinya mereka lebih baik bunuh diri (hara-kiri), yang dizaman modern
sekarang ini telah diganti dengan cara mengundurkan diri sebagai bentuk
konsistensi dalam menghormati nilai-nilai warisan leluhur. Bagaimana mungkin sebagai sebuah negara
yang menganut sistem poltik modern dengan masyarakat yang juga modern bisa
mempertahankan tradisi politik leluhur yang dianggap sakral, namun kita
bisa meduga justru disitulah nilai-nilai modernitas dan tradisional bersenyawa
yang dapat diterangkan sebagai keberhasilan Jepang dalam menterjemahkan
upaya-upaya modernisasi konsep pembangunan dalam kerangka tradisi nilai budaya
leluhur yang mereka warisi.
Dalam telaah
nilai kebutonan, Jepang berhasil memadukan ”namisi te akala/fikiri malape (rasa dan rasio)”, ”Yinca te otoo (hati dan otak)”, ”niati te kapeelu/sungkuna yinca (niat dan kemauan kuat/kesunguh-sungguhan)". Sinergi dari beberapa elemen diatas telah
menghasilkan ”kapooli (keberhasilan atau pencapaian)” dalam wujud karya nyata yang dikagumi
dunia. Jepang memang kalah perang puluhan tahun lalu.
Namun di awal abad ke-21, bangsa ini menyerang balik dunia tidak dengan
senjata, melainkan dengan etos kerja. Seakan sedang berbisik bahwa etos kerja
bisa mengalahkan senjata.
Jika
etos kerja orang Jepang dapat dicari dari tradisi budaya orang Jepang kuno yang
kemudian dikemas menjadi Etika Bushido dan Kaizen Bagaimana dengan etos kerja
daerah kita ?. Bukankah juga Buton memiliki nilai-nilai
kearifan lokal warisan leluhur? .
Khasanah
nilai kearifan lokal warisan leluhur Buton sangat berpotensi menjadi pilar
kekuatan dalam membangun etos kerja buton yang unggul. Kuncinya ada pada
komitmen dan keseriusan pemerintah dan masyarakat Buton sendiri agar selalu
berusaha menghargai warisan nilai-nilai budaya, akan tetapi agar warisan nilai-nilai budaya tersebut
menunjukan maknanya yang optimal, maka perlu dibuat tafsiran-tafsiran kreatif,
beserta kemungkinan penyempurnaannya lewat proses belajar inter kulturar untuk
menyikapi bahwa karakter budaya selalu bersifat dinamis bukannya statis.
Pilar
utama kekuatan etos kerja Buton telah tergambarkan dalam falsafah hidup
masyarakat Buton yang religius, dikenal dengan ”Man ’arafa nafsahu faqad ’arafah rabbahu”
(siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya). Nilai keyakinan
religius diatas dapat ditafsirkan bahwa bekerja merupakan ibadah dalam bentuk
pengabdian dan rasa syukur yang memberikan makna ”keberadaan dirinya di hadapan Ilahi”.Dalam
pengertian ini ada dorongan untuk selalu menjadi masyarakat kreatif yang
bekerja secara optimal, sungguh-sungguh dan mau bereksplorasi untuk menjadikan
dirinya sebagai manusia yang terbaik secara vertikal maupun horizontal, yang
selalu berusaha menjaga dan memelihara penampilan diri dimuka bumi, dengan
tidak berbuat ingkar atau menyimpang, karena hal tersebut merupakan bentuk
pemberontakan, pembangkangan bahkan pelecehan diri sebagai hamba yang mengenal
tuhannya.
Masyarakat
Buton memahami benar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang
memiliki etos kerja terbaik, walaupun kita harus menyadari bahwa bekerja harus
dilakukan dengan penuh tantangan (challenging),
tidak monoton, selalu berupaya untuk mencari terobosan baru (improvement) untuk melakukan perubahan
dan tidak merasa puas berbuat kebaikan untuk mewujudkan prestasi yang optimal
yang berlandaskan kejujuran sebagai bukti dan motivasi terhadap pengabdian diri
kita kepada Allah SWT.
Nilai
keyakinan dalam konteks etos kerja yang berorientasi ketuhanan diatas, sejalan
dengan studi Weber seorang sosiolog Jerman, terhadap ”etos protestanisme” dan ”Calvinisme”
di eropa, yang berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan jaminan surga dari Tuhan
mereka harus bekerja keras di dunia (agar mendapatkan kemakmuran) walaupun
dengan tetap menjaga sikap asketik: hemat, tidak berfoya-foya, beramal dsb.
Nilai-nilai unggul secara ekonomi dalam hal ini dirunut langsung dari
nilai-nilai keyakinan religius yang mereka miliki.
Mereka
sadar dan yakin benar bahwa Tuhan sangat cinta kepada para pekerja. Tuhan hanya
akan melayani bagi mereka yang melayani. Seseorang akan menjadi hamba pilihan
bila mereka bekerja sunguh-sungguh dan jujur, sehingga nilai kerja bagi
penganut protestan menjadi semacam motivasi unggul bahwa hanya dengan bekerja,
aku akan menjadi hamba pilihan.
Penelitian
yang searah dengan Weber, baik yang dilakukan oleh Bellah, maupun Fukuyama
mengisaratkan bahwa prinsip-prinsip nilai kemajuan tidak hanya dimiliki oleh
masyarakat Eropa. Negara-negara yang memiliki nilai-nilai peradaban berbeda
dengan Eropa, seperti Asia, dapat saja memperoleh tahapan kemajuan yang serupa
termasuk negara lain dan daerah kita sendiri tanah Butuuni tentunya.
- Pilar etos kerja ke-dua. Nilai falsafah
pergaulan”Pobhinci-bhinciki kuli”,
yang menekankan esensi kerja yang berlandaskan saling ”Pomae-maeakan (saling
memuliakan)”, ”pomaamasiakan (saling menyayangi)”, ”popia-piara (saling menjaga)”
, dan ”poangka-angkataka (saling mendukung)" dalam bentuk ”people respect”
sebagai kekuatan untuk bersatu dalam berprestasi pada setiap pekerjaan yang
dilakukan.
Cara kita menghargai orang lain merupakan tolak ukur seberapa besar cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, karena sikap saling menghargai akan mampu mempererat persaudaraan dan membentuk hubungan baik didalam komunitas, meluaskan kekerabatan dan membina relasi, sehingga sangat memungkinkan kita dapat mengesampingkan perbedaan dan sama-sama aktif mengembangkan diri, berkreasi, berinovasi, dan mencapai kemandirian dalam wujud ”team work”..
- Pilar etos kerja ke-tiga. Nilai falsafah persatuan
“Poromu yinda saangu pogaa yinda koolota”
(bersatu tiada berpadu-bercerai tiada antara) merupakan esensi nilai
persatuan dan kesatuan yang harus dibangun dalam format solidaritas yang kuat
dan ditopang dengan rasa setia kawan yang tinggi tanpa meninggalkan ciri dan
karakter budaya yang dimilikinya. Dalam konteks kebersamaan, kesetiaan terhadap
kesepakatan bersama yang dituangkan dalam visi misi yang transparan menyangkut
blue print perencanaan suatu kemajuan harus dijunjung tinggi.
Jika
setiap anak daerah memiliki kesadaran saling memahami perbedaan tentunya akan
tercipta perbedaan untuk terciptanya kebersamaan. Persatuan dalam perbedaan
seperti inilah yang perlu dibangun dalam tatanan kehidupan kita. Karena
persatuan dalam perbedaan akan menumbuhkan semangat berkompetisi dalam
kebajikan yang akan menghasilkan masyarakat yang kuat dan sejahtera dengan
mengedepankan rasa solidaritas, kebersamaan dan kerja sama dalam wujud
persatuan dalam membangun “lipu” (daerah).
- Pilar etos kerja ke-empat. Nilai falsafah
perjuangan : “Yinda-yindamo arataa
somanamo karo (rela mengorbankan harta demi keselamatan jiwa)”, Yinda-yindamo
karo somanamo lipu (rela mengorbankan diri demi keselamatan bangsa/daerah)
,Yinda-yindamo lipu somanamo sara (rela menorbankan negara/daerah demi
keselamat pemerintahan)”, Yinda-yindamo sara somanamo agama” ( rela
mengorbankan pemerintahan demi keselamatan agama ). Subtansi
pemahaman dari nilai-nilai diatas menekankan perlunya mengedepankan kepentingan
daerah (lipu)/organisasi/komunitas dan agama diatas segala-galanya. Hal ini
diyakini karena pengamalan nilai-nilai agama merupakan jalan terciptanya
pribadi yang handal yang senantiasa mengedepankan etika, moralitas, kebenaran
dan menjunjung tinggi integritas dalam nilai perjuangan merupakan nilai yang
paling utama, karena integritas mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud
adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran,
perkataan, dan perbuatan.
Jika keempat
pilar diatas tersinergikan, bisa simpulkan bahwa esensi kerja dalam
kontek nilai budaya Buton merupakan wujud pengabdian diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yang dilakukan sungguh-sunguh, ulet, rajin, jujur, disiplin, saling menghargai,
saling menjaga, menahan diri, memiliki rasa malu, tanggung jawab dan rela
berkorban dengan mengedepankan kepentingan negara/daerah/organisasi dan
agama diatas segala-galanya dengan tidak mengesampingkan penguasaan profesi.
Dengan
menggali modal sejarah, sesungguhnya etos kerja unggul, daya pikir, semangat
dan perjuangan yang luar biasa pernah bersemai di bumi Buton ketika mencapai
kejayaannya. Hal itu dibuktikan dengan eksistensi karya-karya leluhur yang masih membekas hingga
sekarang ini. Lihatlah
benteng kraton atau benteng lain yang berada di wilayah eks teritorial kerajaan
Buton. Benteng-benteng itu kokoh hingga kini bahkan menjadi benteng terluas di dunia, dengan disain arsitektur
yang mengandung simbol religius dan filosofis perjuangan.
Eksistensi
etos kerja para leluhur juga pernah menorehkan sejarah akan kekuatan
budaya maritim, yang menunjukan jika mereka memiliki jiwa petarung, pantang
mundur menghadapi dahsyatnya gelombang laut, mereka seakan memperlihatkan
kegigihan yang sungguh-sungguh bak ksatria dengan melakukan perantauan
menjelajahi hamparan bumi untuk meneguk hikmah sebagai wujud pengabdian
diri dan tangung jawab.
Lihat
pula karya seni para leluhur lainnya seperti corak tenunan dan pakaian
tradisional yang begitu artistik dan memiliki motif yang indah sebagai refleksi
keindahan alam dan keindahan disain yang dibuat dengan tangan, yang ternyata mampu menembus tatangaan zaman. Keindahan pakaian Buton merupakan
gambaran kesuksesan inspirasi fashion yang pernah diperankan para leluhur dimasa
lalu, sebagai sesuatu yang patut dibanggakan dan dilestarikan sekaligus menjadi
identitas budaya yang dimiliki.
Ketika
fenomena diatas diarahkan dalam konteks etos kerja yang ada sekarang, yang
implementasinya seharusnya sangat erat kaitannya dengan nilai budaya buton yang religius, malah menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sesungguhnya terjadi dengan modus pendidikan
budaya kita?. Realisasi etos kerja khususnya
dalam bidang kepemerintahan secara kolektif sekarang ini, sangat kontradiktif
dengan situasi dahulu yang selalu mengedepamkan etika, kejujuran dan keadilan
Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang
dilukiskan memiliki nilai budaya yang syarat makna dan berdimensi religius,
etos kerjanya lembek. Dalam perekrutan CPNS
maupun memilih pemimpin saja penuh dengan hal yang kontroversial, diwarnai
maraknya politik uang, sogok dan nepotisme yang mengabaikan nilai kebenaran,
keadilan dan profesionalisme yang berbasis merit dan ahlak. Termasuk kelambanan pelayananan birokrasi pemerintahan yang terkesan haus upeti dan tidak memperhatikan aspek efisiensi dalam merespond kebutuhan masyarakat. Kerakusan
terhadap jabatan dan fasilitas daerah telah memenjarakan sebagian elit daerah,
karena konsep hidup selalu dikaitkan dengan akumulasi harta dan langgennya
jabatan publik sekalipun dengan cara menyimpang.
Maraknya pola pikir dikalangan generasi kita yang
terobsesi bahwa kedudukan empuk dalam tatanan pemerintahan daerah hanya dapat
dicapai melalui usaha “oportunis musiman”, yang selalu berpandangan bahwa jabatan akan dicapai ketika seseorang
menjadi tim sukses seorang calon yang berhasil memenangkan pilkada tanpa memepertimbangkan kapasitas serta prestasi yang dimiliki, sungguh sangat melukai perasaan kita.
Sehingga konseqwensi yang timbul adalah pemanfaatan jabatan sebagai pacuan
untuk memperkaya diri yang seakan hanya menjadikan nilai moral sebagai retorika
belaka.
Kita
sudah kehilangan hati nurani dan sifat kemanusian yang paling luhur yaitu malu
yang telah tercabut dari sistem nilai yang kita yakini, padahal malu merupakan
dasar utama dari harga diri dan bagi mereka yang urat malunya putus lantas
dimanakah harga diri mereka ? Situasi dan gambaran politis diatas membuat seakan etos kerja buton telah menelikung dan menyimpang dari sendi
nilai-nilai kebutonan.
Awal lumpuhnya nilai-nilai leluhur dalam kontek etos kerja berbasis kebutonanan karena belum tampilnya pemimpin berkarakter ”leadership culture” yang diharapakan memiliki perhatian khusus dalam upaya-upaya pengkajian nilai budaya yang terintegrasi dalam konsep pendekatan strategis, sistimatis dan proporsional agar dapat memberikan konstribusi yang optimal dalam membagun daerah. Hal ini disebabkan karena disatu pihak pandangan yang muncul seringkali mencerminkan argumen-argumen kaum cultural neutralis yang memandang peranan nilai budaya terhadap etos kerja sebagai sesuatu yang bebas nilai dengan mengenyampingkan faktor ”sosio cultural”.
Ada
slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul suatu event dan tidak
berkelanjutan, ada bangunan
kantor pemerintahan yang bercirikan bangunan rumah adat buton dan pemakaian
seragam jas bercorak Buton bagi para pegawai sipil dengan diselimuti
kebanggaan, namun sungguh disayangkan karena capaiannya baru menyentuh
kebudayaan materi dalam artian masih dalam taraf menjadi tampilan luar,
belum merupakan jiwa. Sehingga kita baru sebatas masyarakat yang kental
dengan simbol budaya, yang nilai dan emosi budayanya tidak terserap hingga
tumbuh menjadi struktur kepribadian yang dimiliki, karena secara realitas
subyektif masih bersebrangan dengan
realitas simbolik norma budaya yang dianut.
Kenapa
itu terjadi, karena kita lupa bahwa upaya pembangunan etos kerja Buton, didalamnya termasuk penghargaan akan nilai
kearifan lokal yang kita miliki. Kita lebih sering berhenti pada retorika,
wacana, rasa dan mandek di niat dan kesungguh-sungguhan. Internalisasi nilai
kebutonan secara strategis entah itu berawal dari pendekatan ”buttom up” maupun
”top down” menjadi barang langka, sehingga spirit dan nilai-nilai yang sesungguhnya
dahsyat kalau dikembangkan dalam menghadapi persaingan global sekarang baru memasuki tahapan simbol.
Kita
telah terperangkap pada asumsi yang salah, seakan-akan nilai warisan leluhur
hanya merupakan hiasan yang tidak berwujud atau mantra belaka, sehingga tanpa sadar ada semacam sikap
verbalistis pada diri kita yang menjadikan nilai budaya sekedar pajangan yang
demonstratif ataupun bacaan serta bahan cerita kepada anak cucu kita
tanpa mau menangkap esensi dari isi pemahamannya untuk menjadi spirit kehidupan
kita yang harus diwujudkan secara aplikatif.
Ketika
negara-negara maju sekitar kawasan asean bergegas untuk membangun sumberdaya
berbasis etos agar bekerja ulet, rajin, jujur, adil, loyal dan pantang mundur
dalam format nilai-nilai leluhur tradisional yang mereka miliki untuk
dipraktekan dalam kehidupan modern seperti ekonomi, politik, business,
pendidikan dalam wujud budaya unggul, kita sedang sibuk dengan hal-hal yang
subtansial yang tidak berujung seperti permasalahan politik, pemilihan
kepemimpinan yang menghalalkan segala macam cara dengan penuh kontroversial.
Dalam
memotivasi bangkitnya etos kerja, seakan teringatkan oleh keluhan Mahatir Muhammad, meskipun tokoh
pembangunan Malaysia itu telah berhasil menunjukan kemajuan mengesankan
dalam kinerja pembangunan Malaysia, namun Mahatir tetap menyimpan keraguan
dengan merasa gagal mendidik Bangsa Melayu agar memiliki tradisi kerja dan
disiplin tinggi. Secara transparan Mahatir menyampaikan kepada rakyatnya agar
melakukan intropeksi diri, bahwa bangsa Melayu tidak akan sanggup berkompetisi
dengan bangsa China dalam tradisi kerja keras dan ambisi untuk berprestasi.
Situasi
inilah yang menyadarkan Mahatir sehingga mencanangkan strategi kebijakan
pembangunan “Look East” berbasis nilai-nilai Melayu, ketika beberapa negara di asean mengarahkan kiblat
pembangunanya ke barat justru Mahatir menjadikan Jepang sebagai kiblat model
utama pembangunan negaranya, termasuk pula model negara industri baru seperti
Korea Selatan. Malaysia berhasil melakukan transformasi etos yang dikonversi
dalam wujud etos kerja Melayu sebagai fondasi Visi Malaysia 2020, Indikator
keberhasilan awalnya dapat membawa negeri serumpun ini berhasil melewati krisis
dengan cara sendiri, bukan dengan menjadi budak intelektual Barat.
Muncul
pertanyaan dari mana harus melakukan perbaikan dalam menata kembalinya etos
kerja kebutonan yang telah sirna karena krisis etos dan moral telah merata
keseluruh tubuh birokrasi dan menjalar kemasyarakat ? jawabanya adalah tekad
keteladan dari atas (pemimpin) disamping kesadaran dari diri sendiri.
Salah
satu agenda yang sangat mendesak daerah-daerah eks kerjaan Buton saat ini
adalah bagaimana memunculkan pemimpin daerah cerdas secara intlektual,
emosional dan spritual yaitu mereka yang mampu berkomunikasi sosial secara
simpatik, inspiring dan motivating serta memiliki komitmen kuat terhadap
nilai-nilai spritual sebagai panduan hidup dalam format pembangunan yang
berbasis budaya yang akan mampu tampil sebagai perekat kesatuan daerah.
Etos kerja Buton yang berkualitas lahir dari kepimpimpinan daerah ataupum organisasi yang berkualitas, dan saatnya pemimpin kedepan harus bangkit dan menyadari bahwa dengan ketidakmampuan kita dalam menginternalisasi nilai budaya yang kita miliki dalam proses pembangunan daerah yang seutuhnya adalah disebabkan kemiskinan kreatifitas kultural itu sendiri, yakni lemahnya daya-daya saintifik dan etos kerja yang berbasis nilai budaya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi sumber daya melimpah yang dimiliki.
Dalam konteks memetakan kembali etos kerja kebutonan, harus memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki, artinya tidaklah bijaksana menggunakan pendekatan ”copy and paste” dari bangsa lain. Keunggulan etos kerja Buton harus berbasis pada nilai-nilai kebutonan, meski diperkaya oleh keunggulan berbagai kultur global yang positif, namun karakter kearifan lokal sebagai jati diri harus dipertahankan, sehingga spirit kebutonan selalu menyala terang di dada seluruh generasinya.** (Hasmina Syarif) /Catatan : Artikel ini dimuat di kolom Opini, Radar Buton, Edisi : 13 - 15 Oktober, 2012.
Etos kerja Buton yang berkualitas lahir dari kepimpimpinan daerah ataupum organisasi yang berkualitas, dan saatnya pemimpin kedepan harus bangkit dan menyadari bahwa dengan ketidakmampuan kita dalam menginternalisasi nilai budaya yang kita miliki dalam proses pembangunan daerah yang seutuhnya adalah disebabkan kemiskinan kreatifitas kultural itu sendiri, yakni lemahnya daya-daya saintifik dan etos kerja yang berbasis nilai budaya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi sumber daya melimpah yang dimiliki.
Dalam konteks memetakan kembali etos kerja kebutonan, harus memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki, artinya tidaklah bijaksana menggunakan pendekatan ”copy and paste” dari bangsa lain. Keunggulan etos kerja Buton harus berbasis pada nilai-nilai kebutonan, meski diperkaya oleh keunggulan berbagai kultur global yang positif, namun karakter kearifan lokal sebagai jati diri harus dipertahankan, sehingga spirit kebutonan selalu menyala terang di dada seluruh generasinya.** (Hasmina Syarif) /Catatan : Artikel ini dimuat di kolom Opini, Radar Buton, Edisi : 13 - 15 Oktober, 2012.
terima kasih, tulisan yang sangat menarik bagi saya untuk tahu tentang budaya buton
BalasHapus