Pesona Wolio-Pulau Buton

Selasa, 09 Oktober 2012

Etos Kerja Berbasis Nilai Budaya Buton

Oleh : Hasmina Syarif.

Tantangan persaingan untuk unggul di era global, telah memicu setiap negara untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan, suka atau tidak suka kita harus menghadapinya sekalipun itu merupakan rintangan besar. Kompetisi global mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan. Kita seakan cenderung melupakan bahwa membangun sumber daya manusia, tidak boleh mengabaikan aspek etika dan moral sebagai prasyarat terbentuknya ”etos kerja” yang tinggi dan berkarakter, yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki.

Etos Kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional.  Secara estimologis etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti karakter, watak kesusilaan, adat istiadat atau kebiasaan.

Keberhasilan negara-negara maju di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapore dll., dalam membuktikan bahwa dominasi keunggulan sumber daya manusia yang berwujud “intlectual and moral capital” yang berbasis etos kerja tinggi, jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang negara yang hanya mengandalkan “natural capital” melimpah tapi miskin sumber daya manusia, seklipun negara-negara maju tersebut tidak memiliki kekayaan alam sebesar yang di anugrehkan oleh Allah SWT sebagaimana Negara/daerah kita?. 

Jepang misalnya dengan etos kerja "bushido" dan "kaizen", masyarakatnya berhasil dalam menginternalisasi nilai leluhur bersumber dari tradisi “Samurai” dan semangat “Bushido” yang membentuk watak dan mental bangsa Jepang. Dikenal sebagai ”the code of samurai” yang terdiri dari 7 prinsip  yaitu baik/murah hati, keberanian, kejujuran, kehormatan, keadilan, loyalitas, dan respek telah melahirkan etos kerja kaizen yang menjadi tumpuan budaya yang amat penting dalam upaya mengadaptasi teknologi asing tanpa mengabaikan identitas budaya dan lokal genius yang mereka miliki.

Negara mata hari terbit tersebut telah membuktikan kepada dunia bahwa salah satu prakondisi kemajuan negaranya adalah tumbuhnya “Etos Kerja” tinggi berkarakter  yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal yang menginspirasi kebangkitan spirit  terciptanya budaya yang amat positif dalam pola kerja organisasi, pemerintah maupun swasta yang mampu melahirkan generasi yang tangguh dalam sains dan teknologi  sehinggga bermuara pada terciptanya produk/kinerja berkualiatas yang diakui dunia.  

Jepang terkenal sangat konsisten terhadap nilai budaya leluhurnya bahkan demi menjaga martabat dirinya mereka lebih baik bunuh diri (hara-kiri), yang dizaman modern sekarang ini telah diganti dengan cara mengundurkan diri sebagai bentuk konsistensi dalam menghormati nilai-nilai warisan leluhur.   Bagaimana mungkin sebagai sebuah negara yang menganut sistem poltik modern dengan masyarakat yang juga modern bisa mempertahankan tradisi politik leluhur yang dianggap sakral, namun kita bisa meduga justru disitulah nilai-nilai modernitas dan tradisional bersenyawa yang dapat diterangkan sebagai keberhasilan Jepang dalam menterjemahkan upaya-upaya modernisasi konsep pembangunan dalam kerangka tradisi nilai budaya leluhur yang mereka warisi. 

Dalam telaah nilai kebutonan, Jepang berhasil memadukan ”namisi te akala/fikiri malape (rasa dan rasio)”,  Yinca te otoo (hati dan otak)”,  niati te kapeelu/sungkuna yinca (niat dan kemauan kuat/kesunguh-sungguhan)". Sinergi dari beberapa elemen diatas telah menghasilkan ”kapooli (keberhasilan atau pencapaian)” dalam wujud karya nyata yang dikagumi dunia. Jepang memang kalah perang puluhan tahun lalu. Namun di awal abad ke-21, bangsa ini  menyerang balik dunia tidak dengan senjata, melainkan dengan etos kerja. Seakan sedang berbisik bahwa etos kerja bisa mengalahkan senjata.

Jika etos kerja orang Jepang dapat dicari dari tradisi budaya orang Jepang kuno yang kemudian dikemas menjadi Etika Bushido dan Kaizen Bagaimana dengan etos kerja daerah kita ?. Bukankah juga Buton memiliki nilai-nilai kearifan lokal warisan leluhur? .

Khasanah nilai kearifan lokal warisan leluhur Buton sangat berpotensi menjadi pilar kekuatan dalam membangun etos kerja buton yang unggul. Kuncinya ada pada komitmen dan keseriusan pemerintah dan masyarakat Buton sendiri agar selalu berusaha menghargai warisan nilai-nilai budaya, akan tetapi agar warisan nilai-nilai budaya tersebut menunjukan maknanya yang optimal, maka perlu dibuat tafsiran-tafsiran kreatif, beserta kemungkinan penyempurnaannya lewat proses belajar inter kulturar untuk menyikapi bahwa karakter budaya selalu bersifat dinamis bukannya statis.

Pilar utama kekuatan etos kerja Buton telah tergambarkan dalam falsafah hidup masyarakat Buton yang religius, dikenal dengan ”Man ’arafa nafsahu faqad ’arafah rabbahu” (siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya). Nilai keyakinan religius diatas dapat ditafsirkan bahwa bekerja merupakan ibadah dalam bentuk pengabdian dan rasa syukur yang memberikan makna ”keberadaan dirinya di hadapan Ilahi”.Dalam pengertian ini ada dorongan untuk selalu menjadi masyarakat kreatif yang bekerja secara optimal, sungguh-sungguh dan mau bereksplorasi untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang terbaik secara vertikal maupun horizontal, yang selalu berusaha menjaga dan memelihara penampilan diri dimuka bumi, dengan tidak berbuat ingkar atau menyimpang, karena hal tersebut merupakan bentuk pemberontakan, pembangkangan bahkan pelecehan diri sebagai hamba yang mengenal tuhannya. 

Masyarakat Buton memahami benar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos kerja terbaik, walaupun kita harus menyadari bahwa bekerja harus dilakukan dengan penuh tantangan (challenging), tidak monoton, selalu berupaya untuk mencari terobosan baru (improvement) untuk melakukan perubahan dan tidak merasa puas berbuat kebaikan untuk mewujudkan prestasi yang optimal yang berlandaskan kejujuran sebagai bukti dan motivasi terhadap pengabdian diri kita kepada Allah SWT.

Nilai keyakinan dalam konteks etos kerja yang berorientasi ketuhanan diatas, sejalan dengan studi Weber seorang sosiolog Jerman, terhadap ”etos protestanisme” dan ”Calvinisme” di eropa, yang berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan jaminan surga dari Tuhan mereka harus bekerja keras di dunia (agar mendapatkan kemakmuran) walaupun dengan tetap menjaga sikap asketik: hemat, tidak berfoya-foya, beramal dsb. Nilai-nilai unggul secara ekonomi dalam hal ini dirunut langsung dari nilai-nilai keyakinan religius yang mereka miliki. 

Mereka sadar dan yakin benar bahwa Tuhan sangat cinta kepada para pekerja. Tuhan hanya akan melayani bagi mereka yang melayani. Seseorang akan menjadi hamba pilihan bila mereka bekerja sunguh-sungguh dan jujur, sehingga nilai kerja bagi penganut protestan menjadi semacam motivasi unggul bahwa hanya dengan bekerja, aku akan menjadi hamba pilihan. 

Penelitian yang searah dengan Weber, baik yang dilakukan oleh Bellah, maupun Fukuyama mengisaratkan bahwa prinsip-prinsip nilai kemajuan tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Eropa. Negara-negara yang memiliki nilai-nilai peradaban berbeda dengan Eropa, seperti Asia, dapat saja memperoleh tahapan kemajuan yang serupa termasuk negara lain dan daerah kita sendiri tanah Butuuni tentunya.

- Pilar etos kerja ke-dua. Nilai falsafah pergaulan”Pobhinci-bhinciki kuli”, yang menekankan esensi kerja yang berlandaskan saling ”Pomae-maeakan (saling memuliakan)”, ”pomaamasiakan (saling menyayangi)”, ”popia-piara (saling menjaga)” , dan ”poangka-angkataka (saling mendukung)" dalam bentuk ”people respect” sebagai kekuatan untuk bersatu dalam berprestasi pada setiap pekerjaan yang dilakukan.

Cara kita menghargai orang lain merupakan tolak ukur seberapa besar cinta dan penghargaan terhadap diri sendiri, karena sikap saling menghargai akan mampu mempererat persaudaraan dan membentuk hubungan baik didalam komunitas, meluaskan kekerabatan dan membina relasi, sehingga sangat memungkinkan kita dapat mengesampingkan perbedaan dan sama-sama aktif mengembangkan diri, berkreasi, berinovasi, dan mencapai kemandirian dalam wujud ”team work”..

- Pilar etos kerja ke-tiga. Nilai falsafah persatuan “Poromu yinda saangu pogaa yinda koolota” (bersatu tiada berpadu-bercerai tiada antara) merupakan esensi nilai persatuan dan kesatuan yang harus dibangun dalam format solidaritas yang kuat dan ditopang dengan rasa setia kawan yang tinggi tanpa meninggalkan ciri dan karakter budaya yang dimilikinya. Dalam konteks kebersamaan, kesetiaan terhadap kesepakatan bersama yang dituangkan dalam visi misi yang transparan menyangkut blue print perencanaan suatu kemajuan harus dijunjung tinggi. 

Jika setiap anak daerah memiliki kesadaran saling memahami perbedaan tentunya akan tercipta perbedaan untuk terciptanya kebersamaan. Persatuan dalam perbedaan seperti inilah yang perlu dibangun dalam tatanan kehidupan kita. Karena persatuan dalam perbedaan akan menumbuhkan semangat berkompetisi dalam kebajikan yang akan menghasilkan masyarakat yang kuat dan sejahtera dengan mengedepankan rasa solidaritas, kebersamaan dan kerja sama dalam wujud persatuan dalam membangun “lipu” (daerah).

- Pilar etos kerja ke-empat. Nilai falsafah perjuangan : “Yinda-yindamo arataa somanamo karo (rela mengorbankan harta demi keselamatan jiwa)”, Yinda-yindamo karo somanamo lipu (rela mengorbankan diri demi keselamatan bangsa/daerah) ,Yinda-yindamo lipu somanamo sara (rela menorbankan negara/daerah demi keselamat pemerintahan)”, Yinda-yindamo sara somanamo agama” ( rela mengorbankan pemerintahan demi keselamatan agama  ).  Subtansi pemahaman dari nilai-nilai diatas menekankan perlunya mengedepankan kepentingan daerah (lipu)/organisasi/komunitas dan agama diatas segala-galanya. Hal ini diyakini karena pengamalan nilai-nilai agama merupakan jalan terciptanya pribadi yang handal yang senantiasa mengedepankan etika, moralitas, kebenaran dan menjunjung tinggi integritas dalam nilai perjuangan merupakan nilai yang paling utama, karena integritas mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. 

Jika keempat pilar diatas tersinergikan, bisa simpulkan bahwa esensi kerja dalam kontek nilai budaya Buton merupakan wujud pengabdian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilakukan sungguh-sunguh, ulet, rajin, jujur, disiplin, saling menghargai, saling menjaga, menahan diri, memiliki rasa malu, tanggung jawab dan rela berkorban dengan mengedepankan kepentingan negara/daerah/organisasi dan agama diatas segala-galanya dengan tidak mengesampingkan penguasaan profesi.

Dengan menggali modal sejarah, sesungguhnya etos kerja unggul, daya pikir, semangat dan perjuangan yang luar biasa pernah bersemai di bumi Buton ketika mencapai kejayaannya. Hal itu dibuktikan dengan eksistensi karya-karya leluhur yang masih membekas hingga sekarang ini. Lihatlah benteng kraton atau benteng lain yang berada di wilayah eks teritorial kerajaan Buton. Benteng-benteng itu kokoh  hingga kini bahkan menjadi benteng terluas di dunia, dengan disain arsitektur yang mengandung simbol religius dan filosofis perjuangan.

Eksistensi etos kerja para leluhur juga  pernah menorehkan sejarah akan kekuatan budaya maritim, yang menunjukan jika mereka memiliki jiwa petarung, pantang mundur menghadapi dahsyatnya gelombang laut, mereka seakan memperlihatkan kegigihan yang sungguh-sungguh bak ksatria dengan melakukan perantauan menjelajahi hamparan bumi untuk meneguk  hikmah sebagai wujud pengabdian diri  dan tangung jawab.

Lihat pula karya seni para leluhur lainnya seperti corak tenunan dan pakaian tradisional yang begitu artistik dan memiliki motif yang indah sebagai refleksi keindahan alam dan keindahan disain yang dibuat dengan tangan, yang ternyata mampu menembus tatangaan zaman. Keindahan pakaian Buton merupakan gambaran kesuksesan inspirasi fashion yang pernah diperankan para leluhur dimasa lalu, sebagai sesuatu yang patut dibanggakan dan dilestarikan sekaligus menjadi identitas budaya yang dimiliki. 

Ketika fenomena diatas diarahkan dalam konteks etos kerja yang ada sekarang, yang implementasinya seharusnya sangat erat kaitannya dengan nilai budaya buton yang religius, malah menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sesungguhnya terjadi dengan modus pendidikan budaya kita?. Realisasi etos kerja khususnya dalam bidang kepemerintahan secara kolektif sekarang ini, sangat kontradiktif dengan situasi dahulu yang selalu mengedepamkan etika, kejujuran dan keadilan

Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang dilukiskan memiliki nilai budaya yang syarat makna dan berdimensi religius, etos kerjanya lembek. Dalam perekrutan CPNS maupun memilih pemimpin saja penuh dengan hal yang kontroversial, diwarnai maraknya politik uang, sogok dan nepotisme yang mengabaikan nilai kebenaran, keadilan dan profesionalisme yang berbasis merit dan ahlak. Termasuk  kelambanan pelayananan birokrasi pemerintahan yang terkesan haus upeti dan tidak memperhatikan aspek efisiensi dalam merespond kebutuhan masyarakat. Kerakusan terhadap jabatan dan fasilitas daerah telah memenjarakan sebagian elit daerah, karena konsep hidup selalu dikaitkan dengan akumulasi harta dan langgennya jabatan publik sekalipun dengan cara menyimpang.

Maraknya pola pikir dikalangan generasi kita yang terobsesi bahwa kedudukan empuk dalam tatanan pemerintahan daerah hanya dapat dicapai melalui usaha “oportunis musiman”, yang selalu berpandangan bahwa jabatan akan dicapai ketika seseorang menjadi tim sukses seorang calon yang berhasil memenangkan pilkada tanpa memepertimbangkan kapasitas serta prestasi yang dimiliki, sungguh sangat melukai perasaan kita.  Sehingga konseqwensi yang timbul adalah pemanfaatan jabatan sebagai pacuan untuk memperkaya diri yang seakan hanya menjadikan nilai moral sebagai retorika belaka. 

Kita sudah kehilangan hati nurani dan sifat kemanusian yang paling luhur yaitu malu yang telah tercabut dari sistem nilai yang kita yakini, padahal malu merupakan dasar utama dari harga diri dan bagi mereka yang urat malunya putus lantas dimanakah harga diri mereka ? Situasi dan gambaran politis diatas membuat seakan etos kerja buton telah menelikung dan menyimpang dari sendi nilai-nilai kebutonan.

Awal lumpuhnya nilai-nilai leluhur dalam kontek etos kerja berbasis kebutonanan karena belum tampilnya pemimpin berkarakter ”leadership culture” yang diharapakan memiliki perhatian khusus dalam upaya-upaya pengkajian nilai budaya yang terintegrasi dalam konsep pendekatan strategis, sistimatis dan proporsional agar dapat memberikan konstribusi yang optimal dalam membagun daerah.  Hal ini disebabkan karena disatu pihak pandangan yang muncul seringkali mencerminkan argumen-argumen kaum cultural neutralis yang memandang peranan nilai budaya terhadap etos kerja sebagai sesuatu yang bebas nilai dengan mengenyampingkan  faktor ”sosio cultural”.

Ada slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul suatu event dan tidak berkelanjutan, ada bangunan kantor pemerintahan yang bercirikan bangunan rumah adat buton dan pemakaian seragam jas bercorak Buton bagi para pegawai sipil dengan diselimuti kebanggaan, namun sungguh disayangkan karena capaiannya baru menyentuh kebudayaan materi dalam artian masih dalam taraf menjadi tampilan luar, belum merupakan jiwa. Sehingga kita baru sebatas masyarakat yang kental dengan simbol budaya, yang nilai dan emosi budayanya tidak terserap hingga tumbuh menjadi struktur kepribadian yang dimiliki, karena secara realitas subyektif  masih bersebrangan dengan realitas simbolik norma budaya yang dianut.

Kenapa itu terjadi, karena kita lupa bahwa upaya pembangunan etos kerja Buton, didalamnya termasuk penghargaan akan nilai kearifan lokal yang kita miliki. Kita lebih sering berhenti pada retorika, wacana, rasa dan mandek di niat dan kesungguh-sungguhan. Internalisasi nilai kebutonan secara strategis entah itu berawal dari pendekatan ”buttom up” maupun ”top down” menjadi barang langka, sehingga spirit dan nilai-nilai yang sesungguhnya dahsyat kalau dikembangkan dalam menghadapi persaingan global sekarang baru memasuki tahapan simbol.

Kita telah terperangkap pada asumsi yang salah, seakan-akan nilai warisan leluhur hanya merupakan hiasan yang tidak berwujud atau mantra belaka,  sehingga tanpa sadar ada semacam sikap verbalistis pada diri kita yang menjadikan nilai budaya sekedar pajangan yang demonstratif  ataupun bacaan serta bahan cerita kepada anak cucu kita tanpa mau menangkap esensi dari isi pemahamannya untuk menjadi spirit kehidupan kita yang harus diwujudkan secara aplikatif.  

Ketika negara-negara maju sekitar kawasan asean bergegas untuk membangun sumberdaya berbasis etos agar bekerja ulet, rajin, jujur, adil, loyal dan pantang mundur dalam format nilai-nilai leluhur tradisional yang mereka miliki untuk dipraktekan dalam kehidupan modern seperti ekonomi, politik, business, pendidikan dalam wujud budaya unggul, kita sedang sibuk dengan hal-hal yang subtansial yang tidak berujung seperti permasalahan politik, pemilihan kepemimpinan yang menghalalkan segala macam cara dengan penuh kontroversial.

Dalam memotivasi bangkitnya etos kerja, seakan teringatkan oleh  keluhan Mahatir Muhammad, meskipun tokoh pembangunan Malaysia itu telah berhasil menunjukan  kemajuan mengesankan dalam kinerja pembangunan Malaysia, namun Mahatir tetap menyimpan keraguan dengan merasa gagal mendidik Bangsa Melayu agar memiliki tradisi kerja dan disiplin tinggi. Secara transparan Mahatir menyampaikan kepada rakyatnya agar melakukan intropeksi diri, bahwa bangsa Melayu tidak akan sanggup berkompetisi dengan bangsa China dalam tradisi kerja keras dan ambisi untuk berprestasi. 

Situasi inilah yang menyadarkan Mahatir sehingga mencanangkan strategi kebijakan pembangunan “Look East” berbasis nilai-nilai Melayu, ketika beberapa negara di asean mengarahkan kiblat pembangunanya ke barat justru Mahatir menjadikan Jepang sebagai kiblat model utama pembangunan negaranya, termasuk pula model negara industri baru seperti Korea Selatan. Malaysia berhasil melakukan transformasi etos yang dikonversi dalam wujud etos kerja Melayu sebagai fondasi Visi Malaysia 2020, Indikator keberhasilan awalnya dapat membawa negeri serumpun ini berhasil melewati krisis dengan cara sendiri, bukan dengan menjadi budak intelektual Barat.

Muncul pertanyaan  dari mana harus melakukan perbaikan dalam menata kembalinya etos kerja kebutonan yang telah sirna karena krisis etos dan moral telah merata keseluruh tubuh birokrasi dan menjalar kemasyarakat ? jawabanya adalah tekad keteladan dari atas (pemimpin) disamping kesadaran dari diri sendiri. 

Salah satu agenda yang sangat mendesak daerah-daerah eks kerjaan Buton saat ini adalah bagaimana memunculkan pemimpin daerah cerdas  secara intlektual, emosional dan spritual yaitu mereka yang mampu berkomunikasi sosial secara simpatik, inspiring dan motivating serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spritual sebagai panduan hidup dalam format pembangunan yang berbasis budaya yang akan mampu tampil sebagai perekat kesatuan daerah. 

Etos kerja Buton yang berkualitas lahir dari kepimpimpinan daerah ataupum organisasi yang berkualitas, dan saatnya pemimpin kedepan harus bangkit dan  menyadari bahwa dengan ketidakmampuan kita dalam menginternalisasi nilai budaya yang kita miliki dalam proses pembangunan daerah yang seutuhnya adalah disebabkan kemiskinan kreatifitas kultural itu sendiri, yakni lemahnya daya-daya saintifik dan etos kerja yang berbasis nilai budaya untuk mengaktualisasikan potensi-potensi sumber daya melimpah yang dimiliki.

Dalam konteks memetakan kembali etos kerja kebutonan, harus memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki, artinya tidaklah bijaksana menggunakan pendekatan ”copy and paste” dari bangsa lain. Keunggulan etos kerja Buton harus berbasis pada nilai-nilai kebutonan, meski diperkaya oleh keunggulan berbagai kultur global yang positif, namun karakter kearifan lokal sebagai jati diri harus dipertahankan,  sehingga spirit kebutonan  selalu menyala terang di dada seluruh generasinya.** (Hasmina Syarif) /Catatan : Artikel ini dimuat di kolom Opini, Radar Buton, Edisi : 13 - 15 Oktober, 2012.



 

1 komentar:

  1. terima kasih, tulisan yang sangat menarik bagi saya untuk tahu tentang budaya buton

    BalasHapus

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif