By : Hasmina Syarif
Hari ini setelah bisa
On-Line lagi, saya membaca & beberapa pesan di group ini dan
tertarik dengan tulisan rekan saya @P' SZFK dengan judul “Catatan Kecil
Disudut Kampung – Tentang Buton”.Seharusnya ini kita sikapi sebagai suatu ajakan yang sangat positif dengan mengedepankan perlunya pembangunan karakter. Ketiadaan karakter yg jelas menjadi “Barrier” dalam pola pembangunan daerah kita, maka sudah seyogyanya hal ini harus kita bangun sebagai pillar penting dlm pembangunan daerah dgn label (“it a must”)..
Kenapa..? telah menjadi fenomena yg transparan dihadapan kita bahwa kehidupan kita masa kini yang cenderung sangat mengagung-agungkan sukses karir, sukses materi, kehidupan mewah dan mengejar kesenangan, yg semuanya mudah menggoda kita. Terlebih jika kita mempunyai "peluang" korupsi, nepotisme, keserakahan, perselingkuhan, tindak kekerasan, dan tindakan negatif lainnya yang semakin mudah ditemui di lingkungan kita merupakan akibat dari ketidakmampuan kita sebagai manusia dalam mengendalikan diri kita (self control).
Dari sini kita bisa menarik pelajaran, ternyata membangun karakter yang baik adalah lebih sulit daripada meraih sukses dalam karir dan materi. Maaf, banyak orang yang telah mempunyai kedudukan tinggi atau sudah sangat kaya, tapi berkarakter buruk.
Pembangunan karakter dan budaya hendaknya dijadikan prioritas utama pembangunan daerah kita, siapapun yang terpilih sebagai pimpinan kita kedepannya, sebab pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan manusianya, adalah hakikat mencerdaskan kehidupan daerah kita, bukan hanya terfokus ke pembangunan ekonomi, politik, hukum, semata. Karena pembangunan manusia adalah investasi dan modal utama dlm pembangunan.
Di berbagai lini, sekarang ini sulit menemukan orang-orang berkarakter. Misal, di Parpol, atau dalam "Proses Pilkada” tak ada lagi prinsip yang dipegang, tidak ada lagi visi yang jelas dan konsisten serta pengamalan kearifan local yang seharusnya kita junjung tinggi melalui filisofi budaya kita seperti “BHINCI-BHINCIKI KULI, POROMU YINDA SAANGU POGAA YINDA KOOLOTA dst. Yang marak ditemukan dihadapan kita adalah sogok menyogok, money politic & nepotime, menghalalkan segala cara bahkan Teori Layang Putus seperti yg perna saya singgung selama ini..
Lalu sebenarnya karakter apa yang dimiliki orang kita, yang outputnya dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan dalam proses pembangunan selama ini,? Hal ini mengigatkan saya dgn apa yg dilontarkan oleh Muchtar Lubis dalam bukunya “Ciri Manusia Indonesia” menyebutkan beberapa ciri orang Indonesia. Beberapa di antaranya adalah hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, boros dan yang terakhir sifat ujub.
Jika kita lihat lebih dalam pendapat Muchtar Lubis, praktis hanya artistik saja yang merupakan nilai-nilai positif yang dimiliki orang kita. Selebihnya adalah budaya buruk yang seolah telah mendarah daging. Apa yang diutarakan oleh Muchtar Lubis nampaknya tidaklah berlebihan. Masih begitu banyak kecentangperenangan daerah kita yang disebabkan oleh lemahnya karakter dan doyongnya budaya.
Kita harus menyikapi bahwa pada saat kita dihadapkan mana yg harus diutamakan antara karakter dan reputasi maka karakterlah yang harus kita perioritaskan alasannya karakter kitalah yang mencerminkan diri kita yang sesungguhnya, sedangkan reputasi hanyalah pandangan orang lain tentang kita.
Esensi yg menjadi prioritas utama dalam pembangunan karakter adalah “KEJUJURAN” yg seharusnya melekat pada diri kita sebagai orang buton, serta dpt dijadikan icon pendukung kesuksesan kita. Tanpa kejujuran, sia-sialah membangun karakter & reputasi kita. Ibarat membangun rumah diatas pasir, fondasinya tidak kuat, mudah rubuh.
Sedikitnya, jika nilai kejujuran kita terimplementasi dalam keseharian, tentunya kita akan dihormati, disukai, dibutuhkan, dan yang paling penting... bisa tidur nyenyak he he he......
Tidak terlalu berlebihan, jika kita bisa berkaca dr apa yg dilakukan negeri Jepang dlm membangun karakter & reputasi, agar selalu jujur, mengambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan yang baru. Itulah semangat "kaizen" yang melekat erat di hati orang-orang Jepang. Semangat terus belajar dan melakukan perbaikan begitu kental bagi orang Jepang. Wajar jika Jepang menjadi negeri yang begitu inovatif. Sebenarnya orang Buton juga memiliki jargon-jargon yg diwariskan leluhur, cuman tantangannya adalah konsistensi untuk menjadikanx sebagai karakter kita yang berwujud “In Action”.
Kalau dalam sejarahnya bahwa kerajaan Buton tidak pernah di jajah oleh Belanda atau para leluhur kita sangat konsisten dalam mengimpelemntasikan nilai budaya yang telah disepakati. Bukankan itu suatu indikator bahwa nenek moyang kita dulu sebenarnya terbukti punya karakter, bahkan dikenal orang lain....?.
.
Meskipun saat ini Indonesia mengalami krisis parah di berbagai bidang, tetapi sesungguhnaya Buton tetap memiliki potensi untuk menjadi daerah yg sukses. Kita memiliki kekayaan alam dan laut yang masih memadai. Yang kita perlukan saat ini adalah pemimpin yang mempunyai visi membangun Buton yang “berkarakter”, Bertanggung Jawab, Visioner, punya integritas yang tinggi, Mentalitas Keunggulan & Kelimpahruahan, Berani membuat keputusan dan berani bertindak dgn tidak mengesampingkan nilai budayanya.
Hanya dgn qualifikasi pemimpin yang demikian, diharapkan Buton lebih bersinar utk menyongsong masa depan.. Sekarang ini kita sedang dihadapkan dengan “Pilkada”, semoga muncul "Pimpinan Buton yang tangguh yang memiliki karakter Leadership Culture" sesuai kriteria yang saya maksudkan.
Realitas mendasar yg masih merupakan momok, untuk mengoptimalkan pembangun karakter orang Buton, bahwa tidak sedikit generasi Buton telah terpencar disuluruh pelosok bumi ini, untuk menimbah ilmu, yang pada dasarnya mereka memiliki motivasi yg tinggi untuk ingin kembali mengabdi kedaerahnya, akan tetapi mereka terbentur dengan sistem perekrutan pemerintah daerah yg menyimpang, yang tidak memiliki karakter kejujuran dan tidak professional yang menjadikan mereka mengalihkan niat & sasaran untuk mengabdikan diri di luar daerahnya entah itu dipemerintahan daerah lain atau di perusahaan swasta. Bukan kah ini suatu pemborosan yang tidak ternilai...?
Kita harus ingat ”Knowledge is power, but character is more” ( Salam, semoga bermanfaat).
By Hasmina Syarif, Jakarta, 5 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar