Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk
mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu
diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali
pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga
filosof kontemporer dari Malaysia (“Masyarakat Madani…”), serta pendiri sebuah
lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang
disponsori oleh Anwar Ibrahim.
Anwar
Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat
madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang
subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi
yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita
oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas,
kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual,
dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis.
Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society,
namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan “High
Islam”, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia
Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008).
Komaruddin
Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia,
istilah “masyarakat madani” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid,
yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya,
yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah",
dan atau "parama" dan "dina"]. Secara “semantik” artinya
kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang
misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, “Pembaharuan
Pendidikan Islam…). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan
ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.
Menurut
Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan,
beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat
madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata
“madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide
dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di
dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat
madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu.
Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah
masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan
hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir
dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang
lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008).
Sementara
itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan
bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat
madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang
dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur
kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi
masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat
Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat
egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme
musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya
masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat)
mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur
demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008).
Karakteristik.
Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan
di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai
berikut.
1.
Ruang Publik yang Bebas
Adanya
ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani.
Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu
melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami
distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan
dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang
publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.
Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka
akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya
yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis
Masyarakat
madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat
dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab,
sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan
kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.
3. Toleran
Toleran
merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang
lain.
4. Pluralisme dan
Multikulturalisme
Pluralisme
menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang
secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada
sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat lain. Sikap itu
dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk
mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect)
serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain.
Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa
yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme
adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga
Ahimsa-Putra, 2009: 2-4).
5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi
Manusia dan Keadilan Sosial
Karakteristik
ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan
Islam…); “Masyarakat Madani…”).
Signifikansi
Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Kearifan lokal adalah
“pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris
dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge
(pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem
pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan
terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan
mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat
pada warga mereka (“Memberdayakan Kearifan Lokal…”). Bertolak dari definisi
itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik
dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu
masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal
bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya
lokal (juga sering disebut budaya daerah[3])
merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari
budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang
dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda
dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai
“suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di
daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya
dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini
dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri,
2007: 5).
Di
Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/
subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup
tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan
kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas
kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas,
terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit
untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa
(Koentjaraningrat, 1984: 109).
Apa
arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam
pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas,
cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system),
dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang
mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat
madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta
sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan
berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu
terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1.
Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak
semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata
pencaharian, dan integrasi sosial.
2.
Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu
perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran,
tenggang rasa, dan tepa salira.
3.
Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan
yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal
dalam kebudayaan lain.
4.
Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna
simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara
tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial.
5.
Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi
yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan
kehidupan (Sedyawati, 2008: 280).
Upaya-upaya
Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal
Beberapa
indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani,
yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam
masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan
keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4)
terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh
toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis,
santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur
yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan
bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah.
Pencapaian
visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan
nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa
“masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia,
bermoral, beretika, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak
sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi,
bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya
bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.
Persoalannya
adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat
madani? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai
oleh masyarakatnya, namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian
cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen
para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383).
Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang
relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal
diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan
pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah
adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan
budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait.
Ada
beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya
lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal:
1. Inventarisasi dan Pengkajian
Kearifan Lokal
Tidak
semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh
masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis
kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian
terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh
melalui pengkajian terhadap cerita rakyat dapat ditemukan kearifan lokal
yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap-sikap
antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal
Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat;
nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji; nilai
kepemimpinan yang peduli pada daerah dan rakyatnya; nilai demokrasi
dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan, nilai
kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Selanjutnya, kearifan lokal yang
relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan
diinternalisasikan kepada masyarakat.
2. Pengetahuan Budaya Lokal
sebagai Muatan Lokal
Sosialisasi
dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani dapat
dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun
demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya
(yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam
kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga
pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan
pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan
penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai
keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di
daerah. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan
ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat
ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural
system) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional
(Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan
pembangunan masyarakat madani.
3. Forum Komunikasi Pemikiran
Budaya
Pemerintah
daerah tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat
madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas
dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis
diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat
dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar
birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara
media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam
forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang
berkembang di masyarakat, seperti budaya (lokal) yang menghambat
terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang
dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu
menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7).
4. Festival Budaya Lokal
Unsur-unsur
budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat
dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni
tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak
dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun
integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.
Langkah-langkah
strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu
kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan
membentuk ketahanan kultural pada masyarakat. Kesadaran dan ketahanan
kultural menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani
yang berbasis kearifan lokal.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam
budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan
masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat
dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat
madani berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman,
kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Drs. Dhanang Respati Puguh,
M.Hum.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2009. “Dari Plural ke Multikultural: Tafsir Antropologi atas Budaya
Masyarakat Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Multikulturalisme
dalam Pembangunan di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata di Yogyakarta pada 12 Agustus 2009.
Blum,
Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras”
Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam
L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah
Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Direktorat
Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi
Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian
dan Pengembangan Budaya Daerah.
Hidayat,
Mansur. 2008. “Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani:
Telaah Teoritik-Historis”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui
http://komunitas.wikispaces.com/file/view/ORMAS+KEAGAMAAN+DALAM+PEMBERDAYAAN+POLITIK+MASYARAKAT+MADANI.pdf
(dikunjungi 31 Desember 2009).
Kartodirdjo,
Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo,
Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan
Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat,
1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat,
1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Legenda
dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988. Panitia Hari Jadi
Kabupaten Brebes.
“Masyarakat
Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama di Indonesia” http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/
(Dikunjungi 31 Desember 2009).
Mawardi
J., M.. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Madani”, dalam Komunitas,
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/strategi+pengembangan+masyarakat+madani.pdf
(31 Desember 2009).
“Memberdayakan
Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil”,
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=328
(dikun-jungi 11 Januari 2010).
Peraturan
Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Kabupaten Brebes Tahun 2005-2005.
Sanaky,
Hujair AH, Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan
Filosofis)”, http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN
ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI.pdf (31 Desember 2009).
Sedyawati,
Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa
yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sedyawati,
Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan
Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian
Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Smiers,
Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di
Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.
[1]Makalah
Disampaikan dalam Sarasehan Peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes Tahun
2010 di Pendapa Kabupaten Brebes, 13 Januari 2010, dan sebagian telah
diterbitkan dengan judul “Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal”,
Radar Tegal, 13 Januari 2010.
[2]Dosen
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Sekretaris Program Magister Ilmu
Sejarah Universitas Diponegoro. Komunikasi dan korespondensi dapat dilakukan
melalui HP dengan nomor: 081390794224 dan email: dhanang_puguh@yahoo.com.
[3]Edi
Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah
untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena
kata “daerah” mengesankan lawan dari “pusat”. Padahal di sini yang diperbedakan
adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya nasional
tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga
merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi
pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan
daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal
menyebar melintasi batas-batas administratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar