Salah satu
kegagalan Orde Baru (ORBA) dalam mengwujudkan cita-cita pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya adalah karena mengabaikan pembangunan kebudayaan. Penafian kebudayaan
dalam pembangunan selama puluhan tahun di negeri ini telah menimbulkan berbagai
persoalan kemanusiaan pada diri bangsa Indonesia.
Kemiskinan,
ketidakadilan, kemunafikan, korupsi, nepotisme, dan saling menzalimi satu sama
lain dalam berbangsa dan bernegara adalah punca dari tidak terbangunnya
nilai-nilai kebudayaan masyarakat. Kesadaran pemerintah terhadap pentingnya
pembangunan kebudayaan dalam proses pembangunan tampak makin surut. Akibatnya, Indonesia
nyaris menjadi negeri multi masalah tak kunjung usai.
Masalah yang dihadapi bangsa ini terus
beranak-pinak. Masalah yang satu belum selesai, masalah lain yang menyita
perhatian publik terus muncul secara bersamaan. Menyelesaikan masalah bangsa di
negeri ini ibarat orang memukul iblis, semakin dipukul semakin jadi anak-anak
iblis lainnya. Kalau demikian kondisinnya terus-menerus, kapan bangsa ini dapat
memikirkan lompatan kemajuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa,
sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini. Cita-cita untuk
membawa Indonesia menjadi negeri yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat
tampaknya makin sayup-sayup sampai ke tujuan.
Dan secara kebudayaan kita juga tidak tahu
kemana bangsa ini hendak dibawa, apakah akan menjadi masyarakat-bangsa
industialis dengan segala kesiapannya, atau akan terus bertahan sebagai
masyarakat agraris, juga tidak jelas visi budaya yang dibangunnya. Kegamangan
budaya ini telah membuat bangsa kita terombang-ambing dalam berbagai prodak
gaya hidup material kapitalistik yang cenderung makin menghilangkan indentitas
keindonesiaan dalam berbangsa. Akibat dari itu, bangsa yang sebelumnya memiliki
rasa sosial yang tinggi, penuh kegotongroyongan, kini menjadi bangsa yang
cenderung mencari selamat sendiri-sendiri.
Pemerintah masih berfikir membangun kebudayaan hanya cukup dengan
memparbanyak even kesenian dan festival-festival tradisi dengan
alasan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Dengan cara itu seakan-akan
pemerintah sangat peduli tarhadap pembangunan kebudayaan. Padahal membangun
kebudayaan tidak hanya sebatas memperbanyak even kesenian, upacara adat
dan festival-festival tradisi demi untuk kepentingan pariwisata semata. Membangun
kebudayaan adalah membangun semua tolitas aktifitas kehiduapan manusia
yang berlaku dalam suatu ruang dan suatu waktu.
Membangun kebudayaan adalah membangun moral, membangun perilaku, dan
akhlak bangsa untuk mematuhi aturan-aturan negara, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Membangun kebudayaan jangan
hanya diterjemahkan pada upaya pelestarian wayang atau dengan memperbanyak
upacara tradisi semata. Jangan dikira membangun kebudayaan tidak ada
hubungannya dengan pembangunan ekonomi, pulitik, hukum, sosial keagamaan,
pendidikan, dan lain sebagainya. Semua sektor itu harus dibangun dengan
landasan budaya kuat. Pembangunan ekonomi yang tidak berakar pada budaya moral
yang baik tidak akan membawa keberhasilan bagi kesejahteraan rakyat.
Pembangunan keadilan (hukum) yang tidak dilandasi moral dan etika yang bagus
akan menimbukkan mavia hukum yang dapat memperjualbelikan keadilan itu sendiri.
Demikian pula
membangun pendidikan, jika sistem pendidikan tidak diubah dari paradikma
budaya pendidikan hafalan menjadi budaya pendidikan yang berwawasan bagi
anak didik, maka pendidikan yang kita kembangkan saat ini tak ubah seperti
melatih binatang untuk pintar dalam sebuah arena sirkus, yang harus selalu
patuh pada pawangnya. Artinya, Kita mendidik anak bangsa hanya untuk trampil
dalam arena perebutan peluang kerja tanpa wawasan dan penguasaan ilmu secara
kritis. Kalau lainnya mungkin bisa
dikutak-katik dan disulap untuk kepentingan politik sesaat bagi sekelompok
orang. Tapi tolong pendidikan hendaknya jangan dipolitisir dengan memperlemah
daya kritis anak didik sebagai aset penerus bangsa.
Jelasnya,
selama peran budaya masih dianggap tidak penting dalam membangun bangsa, selama
itu pula bangsa ini akan sangat sulit untuk bangkit dan bergerak maju. Apalagi untuk melompat mensejajarkan
diri dengan kemajuan bangsa-bangsa lain. Tak usah jauh, selama ini mungkin kita
bertanya-tanya mengapa negara jiran Malaysia begitu cepat bangkit dari
ketertinggalannya. Padahal di era 1990-an Malaysia masih harus belajar banyak
pada Indonesia dalam segala bidang pembangunan. Utamanya pendidikan, hal ini
terlihat pada era 1980-an hingga pertengahan 1990-an tidak sedikit putra-putri
Malaysia yang belajar di berbagai Perguruan Tinggi Indonesia. Rupanya saat itu
Malaysia sudah mulai banting stir mengalihkan strategi pembangunan
negaranya dengan memanfaatkan peran budaya sebagai landasan gerakan
pembangunannya.
Hebatnya, strategi budaya pembangunan yang
digerakkan Mahathir Muhammad dalam membangun Malaysia yang dikenal dengan “Visi
Malaysia 2010”, ternyata jauh sebelum memasuki 2010, visi pembangunan
Malaysia yang dicita-citakan Madhadir Muhammad untuk memajukan dan memakmurkan
nagaranya telah lebih dulu tercapai dari yang ditergetkan. Ini berarti peran
budaya dalam mengerakkan pembangunan bangsa adalah suatu yang tidak bisa
dinafikan oleh pemerintah yang berkuasa.
Pembangunan
dengan memanfaatkan peran budaya dalam membentuk kemajuan manusia saat ini,
telah menjadi tren pembangunan yang dipraktekkan oleh banyak negara di
dunia, terutama oleh negera-negara yang pernah rusak akibat Perang Dunia II.
Penutasan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan yang melanda negera-negera
yang terpuruk akibat Perang Dunia II, seperti sebagian negara-negara di Afrika,
Amerika Latin dan Asia, dalam waktu yang tidak
terlalu lama—ketika mengalihkan perhatian pembangunan negeranya dengan
memanfaatkan peran budaya—ternyata meraka berhasil bangkit menjadi negara yang
maju dan makmur.
Spanyol,
Portugis, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong, serta Malaysia, adalah
negara-negara yang dicontohkan Lawrence E. Harrisong (2006) sebagai negera
yang berhasil bangkit secara mengejutkan setelah Jepang, karena memanfaatkan
peran budaya dalam menuntaskan persoalan negeranya mulai dari kemiskinan,
kebodohan, ketidakadilan dan penegakan demokrasi, semua itu berhasil tutaskan
dengan memanfaatkan peran budaya dalam mereka membangun negeranya.
Konsep
peran budaya dalam membangun bangsa—sebagaimana yang menjadi strategi
pembangunan negera-negera yang berhasil bangkit di dunia dari
ketertinggalannya saat ini—sebenarnya telah diperkenalkan pakar ilmuan sosial
Soedjatmoko pada bangsa Indonesia
sejak akhir 1950-an. Sejak itu Seodjatmoko hingga akhir hayatnya (1922-1989)
tak henti menyurakan pentingnya peran kebudayaan dalam membangun negera-bangsa Indonesia.
Setidaknya, pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Indonasia menurut
Soedjatmoko harus seimbang antara pembangunan fisik material dangan pembangunan
nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Hal ini penting dilakukan untuk tercapainya
tujuan dan cita-cita pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Sayangnya,
konsep membangun Indonesia
yang disuarakan Soedjatmoko ini menjadi berseberangan dengan konsep politik
pembangunan pemerintah Orde Baru kala itu. Akibatnya, dalam perjalanan
pembangunan bangsa Indonesia,
hingga hari ini hampir tak henti bangsa kita berhadapan dengan berbagai
persoalan sosial kemanusian sebagai dampak dari kesalahan pembangunan yang
tidak mengikutsertakan peran kebudayaan di dalamnya.
Sekarang malah orang-orang yang
menyuarakan pentingnya peran kebudayaan dan pembangunan bangasa hampir tak
terdengar lagi di negeri ini. Dulu selain Soedjatmoko, ada Sutan Takdir
Alisyahbanna (baca polemik kebudayaan), ada Koentjaraningrat, Muchtar
Lubis, Umar Kayam, dan YB. Mangunwijaya. Mereka adalah anak bangsa yang sangat
besar perhatian pada pentingnya peran kebudayaan dalam pembangunan bangsa dan
negara.
Jika peran kebudayaan memiliki andil bersar
dalam keberhasilan pembangunan bangsa, seperti yang dipraktekkan oleh
negara-negera tertinggal di dunia saat ini, dan terbukti mereka berhasil
bangkit dari ketertinggalannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Maka
pemerintah Indonesia juga harus banting stir mengalihkan strategi
pembangunannya dari yang selama ini terfokus pada pembangunan fisik material
semata, menjadi pembangunan berwawasan kebudayaan dalam arti universal.* (Nab
Bahanya As, budayawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar