By : Reinals Kasali
Menurut UK Tea Council, dunia saat ini
sedang gemar-gemarnya minum teh. Menurut catatan Prawoto Indarto dari Indonesia
Teh Lover’s, setiap hari penduduk dunia menyeruput 3,5 miliar cangkir teh. Dan
menurut Prof Dede Kusmana,dokter yang meneliti dampak konsumsi teh hitam asli Indonesia jauh lebih bagus daripada wine
Prancis, atau teh hijau China
untuk mencegah penyakit jantung.
Senin lalu, di Rumah Perubahan, Prof Dede dan Indonesia Teh Lover’s berbicara di depan para penggerak komunitas dan wirausaha-wirausaha sosial Indonesia. Dia menunjukkan data-data riset yang mengejutkan saya. ”Kalau dunia mengenal French Paradox yang mengklaim minum anggur setiap hari dapat mencegah penyakit jantung, studi-studi saya menemukan minum teh lebih menyehatkan,”ujarnya.
Pandangan ini sejalan dengan temuan para peneliti dari Universitas Kansas yang dikenal dengan istilah Asian Paradox. Bila dalam French Paradox para ahli menemukan kandungan resveratrol, dalam teh ditemukan epigallocatechin gallate (EGCG) dan catechin (katekin) yang ternyata memiliki kekuatan dua kali lebih hebat dari resveratrol.
Dan tentu saja,lebih murah. Namun, tahukah Anda, saat ini pula,menurut Indonesia Teh Lover’s, setiap hari Indonesia kehilangan 8 hektare kebun teh? Inilah yang kita sebut Indonesia Paradox,melengkapi jutaan kejadian paradoks lainnya.
Progress Paradox
”Selamat datang di Abad Paradoks,”ujar Charles Handy 20 tahun lalu. Inilah abad yang serbabertentangan, namun hidup berdampingan, kata Easterbrook, saat kemajuan memicu dunia, bukan kebahagiaan yang terlontar dari mulut manusia, melainkan keluh kesah dan kesulitan.
Dia menjelaskan,progress itu tidak pernah mencapai kesempurnaan, sehingga selalu menimbulkan masalah-masalah baru.Tak punya mobil rasanya susah,punya mobil jalanan macet! Tak ada vaksin polio dunia bersedih. Namun, saat vaksin ditemukan, muncul penyakitpenyakit baru yang obatnya belumditemukan.
Sama halnya dengan minuman teh. Saat dunia mengagungkannya, kebun-kebun teh di sini justru dikurangi. Indonesia Paradox adalah keluhan yang muncul dalam dinamika pertumbuhan. Saat meniti jalan ke atas, kita terengah- engah dan banyak mengeluh. Namun, saat diberi tahu bahwa”ketika mengeluh itu pertanda hidup sedang naik ke atas,” manusia cenderung menyangkal.
Dan kebalikannya juga benar, manusia merasa nyaman saat jalannya menurun karena tak ada beban. Faktanya tentu tidak demikian. Mengeluh di saat sedang enak dan berpesta di saat yang tak tepat. Paradoks yang tak disadari adalah miliknya orangorang yang sedang mabuk.
Seperti orang-orang di Parlemen yang akan memilih komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebentar lagi: Wakil rakyat yang paling senang bicara tentang pemberantasan korupsi bisa jadi yang berciuman pipi dengan tersangka koruptor yang paling dicari Interpol. Saya tak habis berpikir bagaimana Indonesia Paradox ini bisa membelenggu hidup kita.
Saat paradoks terjadi,manusia hanya asyik mengikuti arus yang berputar. Hanya orangorang yang tersadar yang akan melakukan perubahan.Orangorang ini berhenti berbicara dan mulai bekerja, sebab paradoks memberi peluang.Peluang menjadi wirausaha,teladan,pemimpin, bahkan menjadi pahlawan.
Tak ada pahlawan yang dilahirkan dari kelompok orang-orang yang terbawa arus dan tersengat benih paradoks. Jadi di dalam paradoks teh Indonesia sesungguhnya pertanda adanya peluang dan tantangan.
Paradoks Teh Indonesia
Teh Indonesia terperangkap paradoks? Ketika riset-riset menunjukkan teh asli Indonesia memiliki kandungan katekin yang lebih tinggi dari teh Oolong (China), atau teh Sencha (Jepang), kita justru tidak merawat kebun-kebunnya.
Saat Belanda meninggalkan Indonesia, menurut Indarto, ada 230-an perkebunan teh yang sudah jadi. Dengan perkebunan besar itu,produksi teh Indonesia masuk dalam lima besar eksportir teh dunia. Namun, waktu berjalan, mesin-mesin pengolah daun teh di berbagai perkebunan besar dibiarkan menua dan tidak terawat.
Kebun-kebun teh juga lambat sekali diremajakan. Saat harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak, teh asli Indonesia mulai tidak diolah dengan teknologi yang memadai.Padahal di China dan Jepang,gairah minum teh tak memudar.
Teknologi-teknologi rumah tangga terus berkembang dan di seluruh pelosok pasar-pasar tradisional China, Anda bisa dengan mudah menemukan kemasan-kemasan teh yang dibuat dengan citra keagungan. Di minum tanpa gula,dilengkapi ritual keagungan, dijadikan oleh-oleh, dan hadiah istimewa.
Teh dijadikan warisan kekayaan leluhur yang tak tergantikan. Di Eropa, teh diinovasi dengan aneka bunga-bungaan. Pemilik kebun bunga-bunga kering di Afrika pun tak mau ketinggalan mendompleng semangat minum teh.Cammomile tea dan ginseng tea yang tak mengandung daun teh sama sekali dipasarkan dalam kategori teh karena dikemas dan disajikan dalam bentuk teh.
Namun di China, teh hijau disajikan dalam gumpalan-gumpalan kecil yang perlahan-lahan mengembang, bahkan membentuk sebuah bunga di dalam cangkir. India, China, Kenya, Srilanka, dan Jepang sangat menjaga heritage ini. Wajar bila mereka memagari impor teh ke dalam negeri seperti Eropa yang memagari impor keju dari Amerika Serikat.
Bagaimana Indonesia memagari heritage nya? Kita bisa lihat bea masuk (tarif) teh di Indonesia hanya 5%. Sedangkan Srilanka menetapkan 25% (teh curah dan teh dalam kemasan), India 114%,China 15%,Kenya 24%.
Lengkaplah sudah penderitaan para petani teh: Pasarnya dibuka lebar-lebar, teh buatan asing menari-nari di sini dan kebunnya diganti tanaman sawit. Bisa jadi teh yang Anda minum di pagi atau sore hari bukanlah teh Kayu Aro atau teh Pegunungan Malabar yang dulu jadi kegemaran keluarga Kerajaan Inggris, melainkan teh buatan China atau Srilanka.
Senin lalu, di Rumah Perubahan, Prof Dede dan Indonesia Teh Lover’s berbicara di depan para penggerak komunitas dan wirausaha-wirausaha sosial Indonesia. Dia menunjukkan data-data riset yang mengejutkan saya. ”Kalau dunia mengenal French Paradox yang mengklaim minum anggur setiap hari dapat mencegah penyakit jantung, studi-studi saya menemukan minum teh lebih menyehatkan,”ujarnya.
Pandangan ini sejalan dengan temuan para peneliti dari Universitas Kansas yang dikenal dengan istilah Asian Paradox. Bila dalam French Paradox para ahli menemukan kandungan resveratrol, dalam teh ditemukan epigallocatechin gallate (EGCG) dan catechin (katekin) yang ternyata memiliki kekuatan dua kali lebih hebat dari resveratrol.
Dan tentu saja,lebih murah. Namun, tahukah Anda, saat ini pula,menurut Indonesia Teh Lover’s, setiap hari Indonesia kehilangan 8 hektare kebun teh? Inilah yang kita sebut Indonesia Paradox,melengkapi jutaan kejadian paradoks lainnya.
Progress Paradox
”Selamat datang di Abad Paradoks,”ujar Charles Handy 20 tahun lalu. Inilah abad yang serbabertentangan, namun hidup berdampingan, kata Easterbrook, saat kemajuan memicu dunia, bukan kebahagiaan yang terlontar dari mulut manusia, melainkan keluh kesah dan kesulitan.
Dia menjelaskan,progress itu tidak pernah mencapai kesempurnaan, sehingga selalu menimbulkan masalah-masalah baru.Tak punya mobil rasanya susah,punya mobil jalanan macet! Tak ada vaksin polio dunia bersedih. Namun, saat vaksin ditemukan, muncul penyakitpenyakit baru yang obatnya belumditemukan.
Sama halnya dengan minuman teh. Saat dunia mengagungkannya, kebun-kebun teh di sini justru dikurangi. Indonesia Paradox adalah keluhan yang muncul dalam dinamika pertumbuhan. Saat meniti jalan ke atas, kita terengah- engah dan banyak mengeluh. Namun, saat diberi tahu bahwa”ketika mengeluh itu pertanda hidup sedang naik ke atas,” manusia cenderung menyangkal.
Dan kebalikannya juga benar, manusia merasa nyaman saat jalannya menurun karena tak ada beban. Faktanya tentu tidak demikian. Mengeluh di saat sedang enak dan berpesta di saat yang tak tepat. Paradoks yang tak disadari adalah miliknya orangorang yang sedang mabuk.
Seperti orang-orang di Parlemen yang akan memilih komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebentar lagi: Wakil rakyat yang paling senang bicara tentang pemberantasan korupsi bisa jadi yang berciuman pipi dengan tersangka koruptor yang paling dicari Interpol. Saya tak habis berpikir bagaimana Indonesia Paradox ini bisa membelenggu hidup kita.
Saat paradoks terjadi,manusia hanya asyik mengikuti arus yang berputar. Hanya orangorang yang tersadar yang akan melakukan perubahan.Orangorang ini berhenti berbicara dan mulai bekerja, sebab paradoks memberi peluang.Peluang menjadi wirausaha,teladan,pemimpin, bahkan menjadi pahlawan.
Tak ada pahlawan yang dilahirkan dari kelompok orang-orang yang terbawa arus dan tersengat benih paradoks. Jadi di dalam paradoks teh Indonesia sesungguhnya pertanda adanya peluang dan tantangan.
Paradoks Teh Indonesia
Teh Indonesia terperangkap paradoks? Ketika riset-riset menunjukkan teh asli Indonesia memiliki kandungan katekin yang lebih tinggi dari teh Oolong (China), atau teh Sencha (Jepang), kita justru tidak merawat kebun-kebunnya.
Saat Belanda meninggalkan Indonesia, menurut Indarto, ada 230-an perkebunan teh yang sudah jadi. Dengan perkebunan besar itu,produksi teh Indonesia masuk dalam lima besar eksportir teh dunia. Namun, waktu berjalan, mesin-mesin pengolah daun teh di berbagai perkebunan besar dibiarkan menua dan tidak terawat.
Kebun-kebun teh juga lambat sekali diremajakan. Saat harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak, teh asli Indonesia mulai tidak diolah dengan teknologi yang memadai.Padahal di China dan Jepang,gairah minum teh tak memudar.
Teknologi-teknologi rumah tangga terus berkembang dan di seluruh pelosok pasar-pasar tradisional China, Anda bisa dengan mudah menemukan kemasan-kemasan teh yang dibuat dengan citra keagungan. Di minum tanpa gula,dilengkapi ritual keagungan, dijadikan oleh-oleh, dan hadiah istimewa.
Teh dijadikan warisan kekayaan leluhur yang tak tergantikan. Di Eropa, teh diinovasi dengan aneka bunga-bungaan. Pemilik kebun bunga-bunga kering di Afrika pun tak mau ketinggalan mendompleng semangat minum teh.Cammomile tea dan ginseng tea yang tak mengandung daun teh sama sekali dipasarkan dalam kategori teh karena dikemas dan disajikan dalam bentuk teh.
Namun di China, teh hijau disajikan dalam gumpalan-gumpalan kecil yang perlahan-lahan mengembang, bahkan membentuk sebuah bunga di dalam cangkir. India, China, Kenya, Srilanka, dan Jepang sangat menjaga heritage ini. Wajar bila mereka memagari impor teh ke dalam negeri seperti Eropa yang memagari impor keju dari Amerika Serikat.
Bagaimana Indonesia memagari heritage nya? Kita bisa lihat bea masuk (tarif) teh di Indonesia hanya 5%. Sedangkan Srilanka menetapkan 25% (teh curah dan teh dalam kemasan), India 114%,China 15%,Kenya 24%.
Lengkaplah sudah penderitaan para petani teh: Pasarnya dibuka lebar-lebar, teh buatan asing menari-nari di sini dan kebunnya diganti tanaman sawit. Bisa jadi teh yang Anda minum di pagi atau sore hari bukanlah teh Kayu Aro atau teh Pegunungan Malabar yang dulu jadi kegemaran keluarga Kerajaan Inggris, melainkan teh buatan China atau Srilanka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar