Pesona Wolio-Pulau Buton

Rabu, 30 Mei 2012

Mengenal Unsur Budaya

Tiga Unsur Budaya

Budaya merupakan topik yang besar dan sangat penting. Begitu pentingnya, budaya bisa mencitrakan kondisi masyarakat. Budaya yang tinggi mencitrakan masyarakat yang maju; budaya yang rendah mencitrakan masyarakat yang masih terbelakang. Namun, sebelum lebih jauh kita membahas budaya, saya mengajak putra-putri Indonesia untuk mengenal defenisi budaya secara umum.
Defenisi Budaya

Menurut Kuntjaraningrat, budaya adalah "Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar." Antropolog Sir Edward B. Taylor dari Inggris mendefenisikan budaya sebagai 'the complex whole of ideas and things produced by men in their historical experience' (keseluruhan ide dan barang yang dihasilkan oleh manusia dalam pengalaman sejarahnya - terjemahan bebas). Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah ''as pattern of thinking and doing that runs through activities of people and distinguished them from all other peoples' (pola pikir dan tindakan orang yang tercermin melalui aktifitasnya dan yang membedakannya dari orang lain - terjemahan bebas).

Unsur Budaya yang Pertama: Ide atau Gagasan

Kalau mau dipilah, budaya terdiri dari 3 unsur penting: ide-ide/gagasan, aktifitas, dan hasil karya. Ide/gagasan, yaitu pikiran-pikiran yang muncul dari individu atau masyarakat atau bangsa. Dalam masyarakat Batak misalnya, ide/gagasan dapat dilihat dari pantun ('umpasa/umpama') yang sering dikutip dalam acara-acara adat. Misalnya pantun orang Batak yang berbunyi, 'tubuan lak-lak tubuan singkoru, tubuan anak ma hamu dahot boru.' (Artinya, kiranya kamu melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan). Contoh lain adalah konsep Dalihan Natolu - 'somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu'- konsep yang mengatur kehidupan sosial orang Batak.
Unsur Budaya ke-2: Tindakan
Unsur yang kedua adalah tindakan atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu masyarakat atau bangsa berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas-aktifitas lain. Dari karya Max Weber, The Protestan Ethics & Spirit of Capitalism, kita mendapatkan gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya masyarakat Eropah Barat pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai sekarang, konsep kerja yang dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat. Orang Barat bekerja dengan rajin dan punya tanggung-jawab terhadap pekerjaannya. Ada 'Professional Responsibility'. Mereka menekuni pekerjaannya> Mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam seni berkomunikasi. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin; langsung 'to the point'; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur dan penggunaan kata tidak berlebihan.

Unsur Budaya ke-3: Produk

Unsur yang ketiga adalah hasil karya, yaitu produk yang dihasilkan dari satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya bermutu tinggi. Harga jam merek Rolex (Pre-Owned Rolex Women's Presidential Watch) bisa berkisar puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW bisa ratusan juta rupiah. Barat mampu membuat pesawat ulang alik. Bill Gates menemukan Microsoft. Barat menemukan Internet, yang mampu mengakses informasi dengan mudah dan menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain. Masih ada Facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini dalam konteks sosial.
Itulah sekilas perkenalan tentang budaya. Semoga perkenalan terhadap ketiga unsur budaya ini dapat menolong putra-putri Indonesia untuk lebih memahami budaya.
 

Bagaimana Menilai Budaya Lokal

Salah satu contoh menarik tentang bagaimana menilai budaya adalah memperhatikan masyarakat Batak menilai tradisinya terrmasuk menilai produk-produk seperti "ulos" (semacam songket). Ada yang membakar ulos karena ulos dianggap tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat tersebut. Ada juga yang menyebut bahwa memakan makanan khas daerah seperti "Sangsang B2" berlawanan dengan Kitab Suci. Ukir-ukiran tidak boleh diletakkan dirumah karena dianggap memiliki kuasa gelap. Begitulah beberapa pandangan yang muncul dalam masyarakat tersebut terhadap budaya lokalnya.

Mereka mengevaluasi budaya ataupun adat dengan cara pandang mereka 'yang baru.' Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, perubahan pandangan hidup bisa merubah cara pandang seseorang. Kita menilai sesuatu dengan cara pandang yang melekat pada diri kita. Kita berpikir, bertindak, dan membuat keputusan sesuai dengan keyakinan yang terpatri dalam pikiran kita. Demikian juga dalam masyarakat Batak; ada yang pro budaya lokal dan ada menolak. Muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? Dengan dasar apa kita menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada. 

Ada tiga opsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, kita mencari jawabannya pada dasar negara kita, yaitu Pancasila. Sila pertama dari Pancasila mengatakan, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Namun, sila ini tidak secara explisit memberikan penjelasan bagaimana mengevaluasi budaya. Tidak ada informasi bagaimana mengevaluasi budaya-budaya lokal. Hanya ada aturan di dalam UUD 1945 (Amendemen) bagaimana budaya diatur. Pada Pasal 32, UUD 1945 disebutkan, "(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional." Namun, sangat minim informasi tentang bagaimana menilai budaya. 

Opsi kedua adalah menggunakan hati nurani dan akal. Manusia memiliki hati nurani dan akal yang bisa membedakan apa yang benar dan tidak. Dengan demikian, kita mempunyai kemungkinan untuk membuat penilaian terhadap budaya. Dengan rasio, kita dapat membuat analisa dan kesimpulan apakah nilai-nilai budaya lokal tidak benar atau tidak. Namun demikian, ini bisa memicu munculnya pertanyaan. Apakah hati nurani atau rasio atau diri kita dapat dijadikan sebagai patokan yang mutlak untuk mengevaluasi budaya? Jawaban mungkin tidak meyakinkan. Manusia bukanlah sosok yang mutlak. Manusia bukan Tuhan. Manusia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan. Oleh sebab itu, opsi yang ketiga menjadi pilihan terakhir. 

Opsi ketiga adalah menggunakan standar lain, yaitu Kitab Suci. Kitab ini dianggap sebagai pedoman bagi orang-orang yang percaya kepada Ketuhanan yang Maha Esa untuk menilai setiap aspek kehidupan termasuk budayanya. Bila Tuhan adalah mutlak dan Kitab Suci juga dianggap mutlak, mau tidak mau, orang-orang percaya perlu melihat prinsip-prinsip dalam Kitab Suci. Namun, bagaimana pandangan Kitab Suci terhadap budaya harus dilihat lebih jauh dalam pandangan agama-agama yang ada.
Jadi, ada tiga opsi yang dapat dipertimbangkan untuk menilai budaya lokal: dasar negara kita, hati nurani dan rasio dan Kitab Suci.
 

Bagaimana Masa Depan Budaya Lokal dalam Dinamika Perubahan Zaman

Ancaman terhadap Budaya Lokal
Sejarah telah memberikan pelajaran bahwa budaya berubah. Beberapa budaya besar seperti budaya Sumerian, budaya Mesopotamia, budaya Mesir Kuno, budaya Babilonia, dan budaya Romawi telah tergusur. Dulu eksis, tapi sekarang kita hanya bisa melihat peninggalannya di museum. Piramid-piramid dari budaya Mesir Kuno masih eksis, namun apakah piramid yang sama dapat dibuat oleh umat manusia? Hanya budaya Yunani, budaya Cina, budaya Hindu, budaya Buddha, budaya Islam, dan budaya Barat yang masih eksis. Budaya ini pun masih akan diuji oleh waktu; sejauh mana budaya-budaya ini akan terus bertahan.
Maju mundurnya atau timbul tenggelamnya satu budaya termasuk budaya lokal tergantung pada perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Ini dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pandangan hidup atau sistem kehidupan yang tumbuh subur dalam masyarakatnya. Perubahan dalam masyarakat merupakan hasil dari 'pertemuan' nilai-nilai. Ada 'interaksi' antara nilai yang satu dan nilai yang lain'; ada 'dialog' antara pandangan hidup yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian terhadap masing-masing sistem kehidupan.

Masyarakat akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan hidup atau sistem kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai, pandangan hidup dan sistem kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir, bertindak, bekerja, menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial, bertetangga, dan melakukan aktifitas lainnya- ini semua merupakan gambaran dari nilai-nilai yang diterima masyarakat.

Namun, perubahan dalam masyarakat tidak dapat lepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas dari perubahan dalam tiap individu. Perubahan dalam individu merupakan induk dari perubahan masyarakat. Bila individu berubah- ini bisa memicu perubahan dalam masyarakat dan perubahan budaya termasuk budaya lokal. Individu yang terus berubah ke arah yang lebih baik akan menjadi manusia yang utuh. Ia menjadi sosok manusia yang bekerja dengan rasa tanggungjawab, mengerjakan pekerjaan sesuai bakat, bekerja secara rasional, bekerja secara sistematis, bekerja efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan tekun, bekerja dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan sesama. Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi untuk mempengaruhi masyarakat. Jadi, perubahan individulah sebagai dasar perubahan masyarakat.

Perubahan yang terjadi pada masyarakat akan mempengaruhi budaya. Ini akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya-budaya lokal mengalami perubahan. Ini saya lihat sendiri dalam masyarakat Batak. Ada banyak perubahan terjadi dalam masyarakat dan budayanya. Salah satu contoh yang terjadi di kota adalah bahwa mayoritas putra-putri Batak yang lahir dan besar di kota tidak bisa berbahasa daerah. Tulisan-tulisan dalam bahasa Batak minim dan kalah bersaing dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itu fakta. Apakah budaya lokal akan bertahan di masa-masa mendatang? Apakah budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan budaya lainnya akan bertahan?

Putra-putri Indonesia tidak perlu kuatir kalau terjadi perubahan dalam budaya nasional. Bahkan kalaupun budaya daerah tergusur, kita tidak perlu kuatir selama nilai-nilai yang unggul diterima dan berkembang dalam masyarakat lokal. Tidak ada hukum bahwa budaya 'kecil'l harus terus bertahan atau dipelihara. Masyarakat yang menerima nilai-nilai yang lebih tinggi akan menghadirkan budaya-budaya yang sesuai dengan nilai-nilai yang diterima. Ini prinsip yang tidak dapat dibantah. Masyarakat yang mau maju akan semakin terbuka terhadap nilai-nilai yang tinggi. Masyarakat yang demikian lambat laun akan meninggalkan nilai-nilai yang 'kurang bermutu'. Dengan kata lain, budaya yang berdasarkan pada nilai-nilai 'kebenaran yang parsial' tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Perubahan budaya - apakah itu budaya besar ataupun budaya lokal- merupakan konsekuensi dari benturan nilai-nilai antara budaya yang 'lebih tinggi' dengan 'budaya yang lebih rendah.' Hal yang perlu direnungkan adalah sejauh mana kita mau menerima nilai-nilai dari budaya yang lebih tinggi dan memprakttekannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan sebuah 'petualangan.'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif