Pesona Wolio-Pulau Buton

Minggu, 06 Mei 2012

Ekonomi Kreatif dan Perlindungan Warisan Budaya

Oleh: Muchlis Paeni
Kurang lebih dua dasawarsa lampau, Alvin Toffler mengejutkan dunia ketika Ia dalam bukunya The Third Wave (1980) membagi peradaban umat manusia dalam tiga fase. Pertama, peradaban yang lahir akibat munculnya temuan-temuan dalam bidang pertanian; kedua, peradaban yang lahir sebagai hasil ciptaan dari berkembangnya Revolusi Industri dan kemudian, kata Alvin Toffler, yakni gelombang; ketiga, munculnya peradaban baru yang lahir dan digerakkan oleh Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ketiga gelombang peradaban itulah kata Toffler yang sedang menguasai umat manusia dengan revolusi Komunikasi dan Informasi serta Globalisasi Ekonomi dan Politik sebagai ujung tombaknya.


Di era peradaban baru, era gelombang III IPTEK menjadi lokomotif penggerak zaman, dan IPTEK juga menjadi ikon yang mewarnai peradaban baru umat manusia. Kalau dicermati secara lebih dalam, mengenai hakekat dan problematika yang dibawa oleh peradaban baru itu pada bangsa Indonesia, muncul pertanyaan yang mendasar ialah: Apakah kita (bangsa Indonesia) mampu mengikuti irama zaman, irama IPTEK, dalam arti menguasai dan mengendalikan IPTEK, karena siapa yang mampu mengikuti irama zaman dan mengendalikan serta mengikuti lajunya, ia akan beruntung dan akan cepat sampai ke dunia baru yang menjanjikan 1001 pesona dan kesejahteraan. Tapi siapa yang tidak berhasil ia akan ketinggalan gerbong, frustasi dan mungkin akan tergilas oleh roda IPTEK hingga kemudian terhempas oleh amukan gelombang peradaban itu sendiri.

Di era Gelombang III yang melahirkan Revolusi Industri dengan munculnya temuan-temuan baru berupa mesin-mesin yang berhasil melipatgandakan kerja otot dan secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat, tepat, dengan hasil yang berlipat ganda. Tetapi di era IPTEK dalam gelombang III peradaban manusia, IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipatgandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya.

Teknologi yang melipatgandakan kemampuan dan kinerja nalar otak yang dicapai umat manusia di gelombang III itu adalah berkat kemajuan IPTEK dalam bidang computer, komunikasi dan control; yang kemudian melahirkan Revolusi Komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia baru yang disebut Masyarakat Informasi. Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Inggris menjadi warga dunia baru itu di jajaran Negara-negara Barat dan Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi warganya di belahan Timur. Sementara di Indonesia warganya hanya di kalangan lapisan tertentu seperti perbankan, perindustrian konglomerat yang sudah menjadi bahagian integral dari masyarakat informasi dunia yang mengalami perkembangan sangat pesat.

Seperti apakah ciri masyarakat informasi itu? Jawabannya sederhana ialah ketergantungan kehidupan manusia dalam berbagai bidang kehidupannya pada informasi yang menjadi tulang punggung perekonomiannya, karena sektor inilah yang paling banyak memberi pekerjaan kepada masyarakatnya. Peradaban dunia baru yang dibawa oleh gelombang ke-3 menurut Alvin Toffler terjadi melalui Revolusi Komunikasi dan Informasi.

Perubahan-perubahan ini secara mendasar menyebabkan pula terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku orang dan masyarakat. Peradaban baru ini menurut Toffler, membawa pula gaya baru dalam kehidupan keluarga, cara kerja baru, perangai baru dalam bercinta, tingkah laku ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu adalah sebuah kesadaran baru (new consiousness) dengan kata lain bahwa peradaban dunia baru ini mengandung implikasi bahwa mereka yang ingin dan berhasil meraihnya perlu mentransformasikan diri dan kebudayaannya (Alfian 1991).

Apa yang dikemukakan Alvin Toffler, semuanya sudah menjadi realitas dan sekarang masyarakat dunia, warga komunitas informasi global sudah melangkah ke Gelombang IV peradaban umat manusia, sementara bangsa kita boleh dikatakan masih berada dalam gelombang pertamanya Alvin Toffler, hanya sebagian kecil saja dari masyarakat kita yang hidup di kota-kota besar yang sudah mungkin dapat dikatakan berada di Gelombang II dan sebagian kecil dari mereka dalam jumlah yang sangat sedikit, baru melangkah memasuki Gelombang III.

Karena itulah dapat dikatakan bahwa pluralisme masyarakat Indonesia tidak hanya karena perbedaan-perbedaan etnik, suku bangsa, agama dan budaya, tetapi juga pluralisme dalam tingkat peradaban. Bentuk kehidupan zaman batu hingga kehidupan maya ada di Indonesia. Kini Gelombang IV pasca Alvin Toffler sudah berlangsung. Negara dan warga masyarakat Informasi serta masyarakat IPTEK di dunia global sudah memasuki Gelombang IV, sementara Indonesia masih menggapai di luar pagar. Untuk menjadi anggota/warga masyarakat Gelombang ­IV dari peradaban umat manusia, posisi Indonesia sangat penting. Karena komoditas utama Gelombang IV peradaban umat manusia itu bukan lagi hasil pertanian, bukan lagi hasil manufaktur dan industri berat, bukan lagi produk-produk IPTEK dalam bidang informasi, dan globalisasi ekonomi, karena semua produk-produk tersebut kian bertambah murah dan sudah menjadi bagian dalam peradaban yang universal. Sekarang di gelombang IV sudah kita masuki dan, BUDAYA menjadi komoditas utamanya.

Era gelombang IV peradaban umat manusia adalah satu era peradaban yang dicirikan dengan munculnya apa yang disebut Ekonomi Kreatif. Dalam tatanan itu Indonesia yang amat kaya dengan deposit budaya menjadi sangat penting, tidak hanya dari segi pelestariannya sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dilindungi; demi harkat dan harga diri bangsa, tetapi dari segi profan ia dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ekonomi Kreatif disebut juga dengan Creative Industries, di lain suasana ada juga yang memberinya nama Industri Budaya atau Culture Industry. Di era Gelombang IV ini, warga masyarakat dunia maju sudah menjelajah seluruh pelosok negeri kita mengidentifikasi mata-mata budaya kita yang akan diolah sebagai tambang baru untuk dieksploitasi. Apakah juga kemudian esploitasi ini akan meninggalkan kubangan-kubangan besar dalam kehidupan kebudayaan kita, seperti kubangan-kubangan fisik yang ditinggalkan oleh eksplorasi tambang-tambang timah di Pangkal Pinang, kehancuran pulau-pulau kecil di Kepri karena explorasi bauksit, atau hancurnya infrastruktur dan alam karena explorasi batubara di Kalimantan dan banjir besar di pedalaman Riau karena kebun-kebun kelapa sawit tidak berperan makan dan menampung air seperti yang dilakukan pendahulunya almarhum Hutan Belantara Negeri Siak.

Sangat disadari bahwa Ekonomi Politik atau Industri Budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya. Memerlukan profesionalisme dan skill yang tepat untuk mengerjakannya dan juga diperlukan moralita yang tinggi sebagai landasannya. Ekonomi Kreatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya dunia, yang mengglobalkan produk imajinasi kreatif, karya otak yang dilindungki kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional. Karena itulah Intelektual Property Rights tidak hanya sekedar melindungi karya-karya cipta, tapi lebih dari itu ia adalah A Power Toal For Economic Growth and Weath Creation (Kemal Idris, 2001).

Dalam hubungan ini, negara berkepentingan melindungi harta warisannya sebagai pemilik ”Deposit Budaya” dan negara berkepentingan melindungi masyarakatnya agar tidak menjadi objek eksplorasi industri tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan menjaga dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksplorasi mata budaya terutama jika eksplorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umum. Sebagai contoh ketika Prancis menghadapi Gelombang III, di era IPTEk merasa perlu mempersiapkan diri secara matang dan serius menghadapinya.

Ketika komputer mulai mengambil peran utama dalam kehidupan masyarakat Prancis di tahun ‘75-an, Pemerintah Prancis sangat serius mengawasi lajunya perkembangan teknologi ini, karena komputerisasi kehidupan masyarakat Prancis tidak bisa dihambat lagi. Karena itu, Kabinet Prancis secara serius membicarakannya dalam sebuah sidang tertutup tanggal 25 April 1975 dan dipimpin langsung oleh Presiden Giscard d‘Estaring.

Kesimpulannya adalah:

Aplikasi komputer sudah berkembang sedemikian rupa sehingga organisasi ekonomi dan sosial masyarakat ktia serta gaya hidup kita akan mengalami transfromasi. Oleh karena itu, masyarakat kita haru berada pada posisi yang menyuburkan perkembangan itu dan sekaligus mengendalikannya hingga ia berguna bagi kepentingan demokrasi dan kemanusiaan (Alfian, 1991).
Setelah Prancis, Singapura pun mengikutinya tahun 1979 dengan menyiapkan diri secara total menjadi anggota yang sah dari peradaban dunia baru dengan mentransformasikan diri menjadi masyarakat informasi yang pertama di kawasan Asia (Kuo, 1986).

Memasuki Gelombang IV peradaban dunia dengan Trend Ekonomi Kreatif, Korea Selatan meresponnya dengan membentuk Korean Culture and Content Agency (KOCCA); dan di UK, dibentuk Task Force, kemudian Interdept Advisor.
Kemudian pertanyaannya: Apa yang harus dilakukan di Indonesia menghadapi realitas ini agar Indonesia tidak hanya menjadi ladang eksplorasi seperti nasib eksplorasi deposit-deposit tambang dan perut bumi kita selama ini, mulai dan LNG (Gas alam) di Aceh, minyak di Riau, batu-bara di Kalimantan, emas dan tembaga di Papua, bauksit di Kepri, dan banyak lagi, yang semuanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan asing dan tragis lagi sampai ke kapal tenggelam yang penuh harta karun pun harus dikelola oleh perusahaan asing.

Di era gelombang IV, nasib budaya dalam Ekonomi Kreatif bagaimana? Apakah juga mata budaya kita harus diserahkan pada orang asing untuk mengelolanya, sementara kita hanya menjadi buruh dan pekerjanya saja. Salah satu contoh yang paling aktual adalah I Lagaligo, karya sastra Epos mitologi Bugis yang telah dipopulerkan Robert Wieson. I Lagaligo karya sastra Bugis yang ditulis ulang oleh Ratna Kencana Calli Pujie Datu Tanete Arung Pancana awal abad ke 19. Setebal 10 ribu exp 12 jilid yang tersimpan di Leiden, fisiknya ada di Negeri Belanda, spiritnya ada di Negen Bugis, tapi nilai ekonominya milik Tuan Robert Wilson. Lalu, bagimana dengan mata-mata budaya yang lain?
_____________________

Makalah ini disampaikan dalam Worksop Perlindungan Warisan Budaya Antarbangsa antara Indonesia, Malaysia dan Singapura 2008, yang diselenggarakan atas kerjasama antara Sekretariat Wakil Presiden bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kota Surakarta, dan dengan dukungan Institut Seni Indonesia Surakarta dan Asosiasi Tradisi Lisan, pada tanggal 31 Mei 2008 di Solo.

Muchlis Paeni, adalah staf ahli di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.

Referensi

Dr. Milan. ”Islam dan Peradaban Dunia Baru: Tantangan Revolusi Komunikasi/Informasi Globalisasi Ekonomi dan Budaya, Islam dan Kebudayaan Indonesia, dulu, kini, dan Esok. (Makalah, 1991).

Eddie C.Y. Kuo. "Informatizing # Nation: An Overview of IT Policies in Singapore." Makalah untuk The Third World Forum Tokyo, tanggal 30-31 October 1986.

Draft Report UNCTAD-Commonwealth Secretariat Workshop on Elements of National Sui Genesis Systems for the Preservation, Protection and Promotion of Traditional Knowledge, Innovations and Practices and Options for an International FrameKork, Geneva, 4-6 February 2004, 15.

Kemal Idris. “Intellectual Property, A Pawer Tool Tor Economic Growth”, Wipo Geneua, 2001.

Protection of Traditional Knowledge and Genetic Resources: A Bottom-up Approach to Development, WIPO Magazine, Nov-Dec 2003, 18.

Tauli-Corpuz, V. (2003). “Biodiversity, Traditional Knowledge and Rights of Indigenous People”, Intellectual Property Right Series No.5, Third World Network, Penan, 1.

Traditional Knowledge and Intellectual Property: New Prospects and New Directions, WIPO Magazine, May-June 2003, 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif