Pesona Wolio-Pulau Buton

Senin, 07 Mei 2012

Start From The End


Ungkapan di atas, starts from the end, seingat saya keluar dari lisan Pak Habibie ketika merancang pabrik pesawat terbang. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan penduduk di atas 200 juta sangat memerlukan alat transportasi udara. Pak Habibie sangat yakin bahwa putra-putra Indonesia mampu membuat pesawat terbang. Dan itu telah dibuktikan.

Menurutnya, jika Indonesia berhasil membuat pesawat terbang yang memerlukan high-tech, maka akan dengan mudah membuat kapal laut, kereta api, mobil dan sepeda motor. Mungkin logika itulah yang dimaksud dengan ungkapan starts from the end. Mulai dari proyek akhir yang paling sulit dan canggih.
Pertanyaan yang muncul, mengapa industri pesawat terbang kreasi anak-anak bangsa yang kualitasnya diakui dunia tersendat-sendat perjalanannya? Masalah utamanya pasti bukan karena kemiskinan SDM,
tetapi sudah masuk wilayah kebijakan politik pemerintah. Mungkin ini yang juga dihadapi Iran ketika mengembangkan nuklir yang membuat Israel berusaha dengan berbagai cara untuk menyetopnya dengan menggunakan tangan Amerika Serikat dan sekutunya. Lagi-lagi kebangkitan teknologi canggih sebuah bangsa tidak pernah lepas dari respons dan kepentingan politik dan bisnis negara-negara lain.

Lalu, bagaimana dengan nasib mobil Kiat Esemka? Saya bukan penggemar mobil, tidak juga pedagang mobil. Tetapi cukup terkesan dan tertarik untuk ikut nimbrung memberi apresiasi karya-karya anak-anak SMK yang berhasil merakit mobil Kiat Esemka di Solo. Ini bukan proyek pesawat terbang, bukan pula proyek mobil Timor produk Korea yang dirakit di Indonesia. Ini adalah produk pelajar SMK, sebuah sekolah yang kurang diminati keluarga kelas menengah ke atas.

Keberhasilan Kiat Esemka pasti menstimulasi SMK se-Indonesia dan membuat mereka percaya diri. Terdapat SMK sekitar 9.400 buah dengan guru 230 ribu orang dan jumlah murid sekitar empat juta. Secara tidak langsung ini juga merupakan kritik pada dunia kampus dan pada pemerintah pusat menyangkut kebijakan industri otomotif yang sangat memanjakan produk asing. Untunglah respons ITB dan ITS serta pemerintah cukup positif, mau mendukung kreasi anak-anak SMK. Sesungguhnya hal ini tidak mengejutkan mengingat akhir-akhir ini banyak pelajar Indonesia yang menjuarai olimpiade sain tingkat internasional.

Kini masyarakat sudah mulai jenuh dengan heboh demokrasi yang hanya menekankan kebebasan berserikat dan berekspressi. Sekarang masyarakat menagih janji-janji demokrasi berupa pemerintahan yang bersih, pelayanan bagus dan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Dalam suasana batin yang diliputi kekecewaan terhadap situasi bangsa, kemunculan Kiat Esemka bagaikan gula-gula yang sedikit menghibur. Bahwa ada komunitas baru yang tumbuh di luar lingkaran politik, birokrasi dan kehidupan glamor yang ternyata mampu berkreasi memproduksi mobil di tengah hegemoni produk asing yang mahal yang melekat dengan gaya hidup para politisi.


Mobil Kiat Esemka ini menarik diangkat bukan semata karena merupakan produk anak-anak SMK, tetapi juga sebagai test-case sikap pemerintah, pengusaha dan mental masyarakat kita dalam mengapresiasi dan mendorong tumbuhnya kreasi anak-anak negeri dalam berbagai sektor. Coba saja amati di toko, pasar dan lingkungan sekolah serta kerja, hampir semua peralatan dan sarananya didominasi oleh produk asing.

Oleh karenanya saya gembira mendengar beberapa kepala daerah yang mewajibkan karyawannya mengenakan sepatu produk lokal. Kalau sikap politik ini meluas dan dikembangkan lagi tidak sebatas sepatu, pasti dampak positifnya sangat signifikan bagi ekonomi Indonesia dan membiasakan cinta produk-produk dalam negeri.

Bukan berita asing, pelajar Indonesia yang memenangkan Olimpiade Sains Internasional selalu diincar dan ditawari beasiswa oleh perguruan tinggi asing, seperti Singapore, Hongkong dan Jepang. Apakah kita akan membiarkan terjadnya brain drain? Dengan prestasi anak-anak SMK yang telah berhasil memproduksi Kiat Esemka, semoga dijadikan momentum untuk memberikan apresasi dan membina industri dalam negeri sambil dilakukan perbaikan disana-sini.

Yang diperlukan adalah kesadaran dan dukungan masyarakat untuk bangga menggunakan produk dalam negeri. Namun tak kalah pentingnya adalah kebijakan politik pemerintah serta kalangan pengusaha besar yang memihak pada pemberdayaan rakyat kecil, bukannya mengeksploitasi mereka semata sebagai pangsa pasar dan sumber pendulangan suara dalam setiap pilkada atau pemilu.


Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif