Pesona Wolio-Pulau Buton

Minggu, 20 Mei 2012

Kecerdasan yang Terabaikan

Oleh :Radar Panca Dahana, Budayawan

Ketika muncul sebuah berita di sebuah harian ternama, tentang seorang anak 13 tahun yang seminggu tidak pulang, dan akhirnya diketahui sepanjang seminggu itu ia habiskan waktunya, tidur, makan, dan cari uang di dalam sebuah warung internet, semestinya kita segera menyadari, bukan saja ada sesuatu yang tidak beres, tapi juga telah munculnya ancaman tidak remeh yang sedang kita, bahkan sebagai sebuah bangsa, sedang hadapi.
Apa yang dilakukan oleh anak menjelang remaja di atas, mungkin sudah banyak ditemui belakangan ini. Kegilaan pada internet, terutama pada game online yang ternyata sudah menjadi lahan bisnis luar biasa dengan penjualan poin, di mana anak-anak yang menjadi pasar atau konsumen utamanya, telah begitu luar biasa menyita perhatian anak-anak di daerah urban, suburb, bahkan hingga perdesaan.
Apa yang kemudian terjadi, bukan saja dunia anak-anak yang telah direnggut, program-program pendidikan di segala modus dan media ternafikan, hingga program sosialisasinya dalam keluarga dan lingkungan sosial lainnya pun tercampakkan. Tapi apa yang paling menggiriskan adalah sebuah contoh yang diberikan oleh seorang anak SD saat melewati sebuah pasar atau kerumunan orang (terminal, mal, tontonan, dll), berkomentar, “Asyik banget yang kalau di tengah mereka kita lempar bom, atau kita tembakkan mitralyur.” Anak itu tertawa senang.

Kisah terakhir itu nyata. Dan kita tak hanya terpana, karenanya. Kita merasa gagal, karena tidak mampu mencegah pertumbuhan imajinasi sang anak yang melampaui batas kewajaran, melampaui kemampuan imajiner anak-anak masa lalu: dunia imaji yang keras, sadis, dan tidak manusiawi telah memenuhi memori abstrak anak-anak kita.

Sebuah kenyataan pun kini terbentang di depan kita: ternyata pendidikan formal dan informal kian hari kian memperlihatkan ketidakberdayaannya berhadapan dengan lingkungan sosial dan lingkungan kebudayaan atau adab baru yang mengelilingi dan menghisap seluruh perhatian anak-anak kita. Tarikan-tarikan produk-produk teknologi baru yang adiktif, penuh rangsang, memuaskan nafsu-nafsu dasar dan kasar manusia, betapapun ia sangat berongkos, telah membentuk cara bersikap, berperilaku, hingga kemampuan imajiner generasi baru kita saat ini.

Pada saat yang bersamaan, sekolah ternyata tidak lagi bisa memenuhi kriterium-kriterium dasar pedagogik yang sebenarnya sudah sangat dikenal dalam sejarah pendidikan dalam negeri kita. Modul dan kurikulum disusun dalam satu intense untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan visi yang berjangkau diabaikan. Sehingga pendidikan formal pun hanya menjadi semacam pabrikan manusia yang pada akhirnya lahir sebagai unit budaya yang terkomodifikasi.

Begitupun keluarga dan rumah tangga, tidak lagi memiliki ruang dan waktu yang memadai untuk menghadapi perkembangan anak yang semakin kompleks karena benturan-benturan sosial dan kulturalnya meningkat. Para penanggungjawab pendidikan keluarga, orangtua, dihabiskan waktunya sudah oleh kesibukan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sangat praktis dan pragmatis yang seakan senantiasa kritis, senantiasa mendesak. Padahal sesungguhnya kebutuhan itu lebih untuk memenuhi gaya hidup, yang notabene bersifat artifisial serta temporer.

Dalam kelindan semua masalah di atas itulah ancaman itu muncul seperti monster masa depan yang menakutkan: terbentuknya sebuah masyarakat atau bangsa yang dikontrol oleh sebuah kultur –melalui penetrasi media-media berteknologi canggih— yang memiliki nafsu mekanis dan tak tertahankan untuk melahap apa pun yang ditawarkan pasar. Menjadikan mereka sebagai manusia kasar karena menghambakan semua unsur kemanusiaannya hanya untuk kepuasan sesaat. Sebuah zaman dimana manusia menzalimi dirinya sendiri, juga tentu dengan entengnya menzalimi orang lain, dengan cara yang hampir brutal.

Kecerdasan Fisikal

Perkara sistem, mekanisme, hingga praktik pendidikan yang berlaku saat ini serta kritik-kritik yang dapat ajukan padanya, kita abaikan dulu dalam pembicaraan ini. Kita menyorot lebih dulu, bagaimana sesungguhnya kita selama ini telah mengabaikan beberapa kecerdasan yang sangat vital dari manusia.
Kecerdasan-kecerdasan natural yang sesungguhnya bisa menjadi modal penting dalam menghadapi kompleksitas hidup manusia, di saat yang lain, juga berperan vital dalam mengaktualisasi atau mengembangkan kemampuan kemanusiaan hingga tingkat optimal.

Tiga dari kecerdasan-kecerdasan yang terbaikan itu adalah: kecerdasan fisikal (tubuh), kecerdasan sosial, dan kecerdasan kultural. Ketiga kecerdasan ini bersanding dengan dua kecerdasan natural lain: kecerdasan intelektual (rasional/akal) dan kecerdasan mental-spiritual, yang selama ini sudah banyak kita kenal.

Kecerdasan fisikal (tubuh) sebenarnya satu di antara tiga kesadaran paling alamiah, di samping mental-spiritual dan akal-intelektual. Di banding dua yang terakhir, kesadaran fisikal adalah bagian yang paling terbelakangkan dan kurang tersadari dengan baik. Sementara kedudukan, peran, dan kemampuannya, sebenarnya setara dengan kedua kesadaran lainnya. Masing-masing kesadaran itu memiliki kemampuan menyerap input/data yang sama baik dan banyaknya. Input data itu pun kemudian diolah melalui metabolisme yang sama kuat dan uniknya dari ketiga kesadaran itu.

Dari metabolisme kesadaran itulah akhirnya ketiganya akan memiliki pengetahuan (knowledge/connaisance) yang setara, sama kokoh dan sama perannya dalam menentukan hidup, karakter juga kualitas kemanusiaan seseorang. Dari pengetahuan inilah, world view atau weltanschauung, hingga kosmologi seseorang (bahkan sebuah bangsa) akhirnya dimungkinkan untuk terbentuk.

Persoalannya, kehidupan manusia berbagai zaman, selain gagal menyadari keberadaan vital satu atau dua dari kesadaran, dan hanya mengutamakan satu/dan dua di antaranya, juga melakukan perbuatan-perbuatan yang justru zalim dan destruktif pada kesadaran lainnya. Kita paham misalnya, peradaban Barat (Oksidental) yang melalui adagium Descartian, cogoti ergo sum (I think therefore I am), mendepankan dan hanya mengakui akal sebagai dasar eksistensial, secara terang-terang mengabaikan dua kesadaran lainnya.

Akibatnya sangat bisa diperkirakan, adab dan kebudayaan pun berjalan tidak seimbang. Ketimpangan atau lack pada sisi emosional dan spiritual misalnya sudah menciptakan keresahan sejak lama, dan ditunjukkan misalnya pada tumbuhnya pemikiran atau mazhab-mazhab artistik sepanjang abad 19 dan 20. Walaupun kemudian Sigmund Freud muncul pada akhir abad 19, kesadaran pada kekuatan psikis berbanding dengan akal tetap timpang, minor dan dominatif (pada sisi akalnya).

Sementara di belahan dunia lain, Timur (Oriental), pendekatan dan kesadaran emosional-spiritual sebenarnya dipahami dan dipraktikkan secara kuat, terutama dalam tradisi dan adatnya. Pendekatan akal dipergunakan, walaupun tidak harus melakui proses yang materialistik dan positivistik sebagaimana di Eropa (Barat), menjadi penyeimbang yang membuat hidup manusia jadi lebih harmonis dan lengkap, hingga menciptakan kecemburuan pada umumnya masyarakat Barat (yang belakangan cenderung atheis, misalnya).

Tapi, bagi kedua kutub peradaban itu ternyata kesadaran fisikal ternyata masih tetap berposisi minor. Adab dan budaya kedua peradaban itu masih diisi oleh berbagai pola sikap dan perilaku yang justru destruktif pada tubuh. Gaya-gaya hidup yang hedonis, makan dan minum tanpa takaran, cara dan waktu kerja yang berlebihan, konsumsi asupan yang keras dan merusak (alkohol, kopi, rokok, drugs, dll), hingga lingkungan yang merusak sistem kerja serta kualitas organ tubuh, adalah ciri-ciri yang memperlihatkan peradaban masa kini –yang mengikuti arus globalisasi—menempatkan tubuh hanya sebagai alat atau medium pemuas kebutuhan dan nafsu liar dua kesadaran lainnya (akal dan emosional).

Sementara sesungguhnya, kesadaran fisikal (tubuh) juga memiliki tuntutan dan kemampuan ekspresionalnya sendiri yang independen dan berdaulat. Yang juga dapat menjadi peralatan kebudayaan, produsen dari perangkat-perangkat budaya, yang sama adekuat dan bermanfaatnya dengan dua kesadaran lainnya. Ia tidak dapat dipelihara hanya dengan sekadar program diet, asupan mineral atau vitamin, atau senam di berbagai fitness center. Semua itu tetap memperlihatkan, bagaimana tubuh dipelihara, bukan untuk memberikan kesempatannya untuk bicara dan memproduksi kebudayaannya sendiri, tapi sekadar dibutuhkan kondisi bugarnya demi kepuasan kerja atau kepuasan hedoniknya belaka.

Pendidikan di Timur

Dalam tradisi di berbagai bangsa Timur, katakanlah China, India, Jepang atau Indonesia, sebenarnya ada berbagai disiplin pendidikan atau pengajaran yang secara cukup komprehensif, sistemik dan konseptual, bagaimana ketiga kesadaran dasar manusia itu dilatih, dikembangkan, dan diaktualisasi dalam kehidupan umum sehari-hari. Manusia-manusianya lahir dalam keseimbangan semua kesadaran itu, ekspresi utuh, dan harmonis.

Berbagai perguruan di Jawa masa lalu misalnya, selain mengajarkan berbagai ilmu tentang alam, di saat yang bersamaan juga melakukan lakon spiritual yang intensif, plus latihan kanuragan yang terpola ketat. Di China, misalnya juga, lembaga-lembaga tradisional dan besar macam Siauw Lim, juga memberikan pengajaran yang lengkap, antara kemampuan dan kesadaran tubuh, spiritual, dan fisikal. Kualitas seorang manusia pun kemudian diukur dari kemampuannya mengembangkan ketiga kesadaran itu dalam ensemble yang selaras-setimbang, membuatnya paripurna.

Tapi kemudian perang modern, kolonialisme, modernisme, hingga globalisme, menggeser semua bentuk pendidikan yang komprehensif di atas. Termasuk beberapa model pendidikan yang coba menggabungkan dua pendekatan itu (tradisional-modern), seperti Santiniketan di Indonesia atau Taman Siswa di Indonesia. Mulailah kemudian manusia berkembang dengan melakukan subordinasi salah satu kesadaran atau kecerdasan yang satu di hadapan yang lainnya.

Adab akal di Eropa Barat, atau adab spiritual seperti di Timur Tengah, sudah menunjukkan pada kita bagaimana dominasi hanya sebuah kesadaran/kecerdasan seakan sudah cukup untuk membangun peradaban yang luar biasa. Walaupun pada akhirnya adab-adab itu merasakan –belum tentu memahami kenapa—kemudian kehidupan masih terasa timpang, dan kebudayaan berjalan dengan kesalahan-kesalahan yang tiada hentinya.

Di negeri Timur, seperti Indonesia, dimana kecerdasan akal sejak satu abad lalu mulai mendominasi peri hidup dan pembangunan manusia kita, sebenarnya memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk memperbaiki civilization fallacies yang telah terjadi/dilakukan oleh belahan dunia lainnya. Bukannya justru mengikuti dengan taqlid kebodohan mereka, terutama dalam program pendidikan anak-anak kita.

Semua medium pendidikan dan pengajaran kita, tidak hanya yang bersifat formal dan institusional, mulai menyadari dan menjalankan program pendidikan yang juga melatih kecerdasan emosional –yang masih kurang—dan fisikal –yang masih terabaikan. Mesti dibicarakan bersama untuk penciptaan modul atau kurikulum yang memungkinkan ketiga kecerdasan itu berkembang bersama, hingga akhirnya tercipta ensemble, keharmonisan kerja di antara ketiganya. Dan pada puncaknya terjadi integrasi di antara tiga kesadaran itu dalam setiap perilaku manusia yang dilahirkannya.

Intinya adalah pelajaran-pelajaran yang memungkinkan semua anak didik memiliki kemampuan untuk menyadari dan memahami data-data yang menjadi input dari ketiga kesadaran itu (yang bentuk dan esensinya masing-masing berbeda). Kemudian melatih masing-masing perangkat utama kesadaran-kesadaran itu (akal, jiwa, dan tubuh) untuk bisa menyelenggarakan metabolismenya masing-masing dalam program pengolahan data yang terinput. Dan pada akhirnya, peluang dan ruang yang kondusif, agar kecerdasan dan produk-produk budaya dapat dilahirkan oleh ketiga kesadaran itu baik, sendiri-sendiri maupun secara terintegrasi.

Penutup

Dengan model pendidikan semacam itu, kita sangat bisa mengharapkan munculnya bukan hanya manusia-manusia yang terintegrasi, kokoh dalam bekerja, kuat dalam karakter, tapi juga kreativitas dan produk-produk kultural yang mumpuni sebagai jawaban dari persoalan-persoalan mutakhir kita saat ini.
Adapun dua kecerdasan lain, sosial dan kultural, sebenarnya adalah tingkat lanjutan dari tiga kesadaran alamiah di atas. Kelompok kecerdasan yang pertama dapat dikatakan sebagai kecerdasan natural, sementara yang kedua nurtural. Namun kecerdasaan kelompok kedua sungguh tidak dinafikan urgensi dan vitalitasnya, karena ia juga desisif dalam menentukan kualitas manusiannya, kualitas kehidupan dan sebuah bangsa pada umumnya.

Tapi karena waktu terbatas yang ada, penjabaran sederhana seperti di atas untuk kecerdasan sosial dan kultural dapat kita cari waktu lain untuk membincangkannya. Karena untuk kecerdasan yang satu ini, fisikal/tubuh pun, masih membuktikan elaborasi juga beberapa ekperimentasi lebih lanjut.

Radhar Panca Dahana, Budayawan, Sastrawan dan Pekerja Teater

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif