Pesona Wolio-Pulau Buton

Minggu, 13 Mei 2012

Model Pemikiran Fadel Dalam Membangun Daerah


Mengelola sektor pemerintahan tidak jauh berbeda dengan mengelola perusahaan. Jika yang menjadi tujuan dari sektor swasta adalah kelangsungan hidup perusahaan dan kemampuan berlaba yang lestari, sebenarnya sektor publik tidak jauh berbeda. Tujuan sektor publik adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kesejahteraan itu tercapai apabila pelaksanaan program pembangunan berdampak positif bagi masyarakat.
Ketika nama Fadel Muhammad  mengemuka sebagai Menteri Kelautsan dan Perikanan, kami teringat  kepada  buku karya beliau yang berjudul : “Reinventing Local Government, Pengalaman dari Daerah”.  Buku  tersebut  memaparkan berbagai terobosan yang beliau lakukan ketika memimpin Provinsi Gorontalo, hingga Gorontalo berhasil mensejajarkan diri dengan provinsi lainnya yang telah jauh lebih dahulu berdiri.
Apakah  Reinventing  Government itu? Dalam sejarah perkembangan anggaran sektor publik, pendekatan yang paling banyak digunakan adalah anggaran tradisional, namun dalam pelaksanaannya, dijumpai banyak kelemahan yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur, belum berorientasi pada kinerja. Sejak  pertengahan  tahun 1980-an telah  terjadi  perubahan  manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem  manajemen  tradisional  yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan  sekedar  perubahan  kecil  dan sederhana.  Perubahan  tersebut  telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan  masyarakat.  Paradigma  baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management (NPM).
Model NPM berfokus pada manajemen  sektor  publik  yang  berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan.  Penggunaan  paradigma  NPM menimbulkan  beberapa  konsekuensi bagi  pemerintah  diantaranya  adalah tuntutan  untuk  melakukan  efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) dalam Mardiasmo (2002), yang tertuang  dalam  pandangannya  yang dikenal dengan konsep ‘reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah :

1.     Pemerintahan   katalis;   fokus pada  pemberian  pengarahan,  bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya  pemerintah  memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan non profit lainnya).
2.     Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan  masyarakat  daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendirinya (self-help community).
3.     Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat  biaya  sekaligus  meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak  pelayanan  publik  yang  dapat ditingkatkan  kualitasnya  tanpa  harus memperbesar biaya.
4.     Pemerintah  yang  digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan  oleh  peraturan  menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5.    Pemerintah  yang  berorientasi hasil; membiayai hasil bukan masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru, semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan  permasalahan  yang  menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya semakin banyak pula dana yang akan  dialokasikan  untuk  mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6.    Pemerintah  berorientasi  pada pelanggan; memenuhi    kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam  mengidentifikasikan pelanggannya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi arogan. Pemerintah wirausaha tidak akan seperti  itu.  Ia  akan  mengidentifikasikan pelanggan  yang  sesungguhnya.  Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah  tidak  bertanggung  jawab pada dewan legislatif; tetapi sebaliknya, ia  menciptakan  sistem  pertanggungjawaban ganda  : kepada legislatif dan masyarakat.  Dengan  cara  seperti  ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat.
7.    Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar  membelanjakan.  Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyakyang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, seperti : BPS dan Bappeda yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian, pemberian hak guna usaha kepada pengusaha dan masyarakat, penyertaan modal, dan lain-lain.
8.    Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik  untuk  memecahkan  masalah publik, serta cenderung bersifat reaktif. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya  keras  untuk  mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perenca-naan strategis untuk menciptakan visi.
9.     Pemerintah desentralisasi;  dari hierarki  menuju  partisipatif  dan  tim kerja.  Lima  puluh  tahun  yang  lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkis  sangat  diperlukan.  Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan  masyarakat  dan  bisnis.  Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok, karena teknologi informasi masih sangat  primitif,  komunikasi  antar  lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk langsung. Tetapi pada saat sekarang, keadaan  sudah  berubah,  perkembangan teknologi sudah sangat maju dan keinginan   masyarakat sudah semakin kompleks, sehingga pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat,  asosiasi-asosiasi,  pelanggan,  dan lembaga swadaya masyarakat.
10.  Pemerintah berorientasi  pada mekanisme pasar; mengadakan perubahan  dengan  mekanisme  pasar (sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedurdan  pemaksaan).Manajemen  pemer-intahan  yang  mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tu-buh pemerintah dapat disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan.Di dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan  sistem  dan  prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil kerja.

Bagaimana   Kinerja   Pemerintah dapat Meningkat?
Menurut  Callahan (2003)  dalam Muhammad (2008), kinerja organisasi menggambarkan sampai seberapa jauh suatu organisasi mencapai hasil setelah dibandingkan dengan kinerja terdahulu (previous performance), dengan organisasi lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh meraih tujuan dan target yang telah ditetapkan. Oleh karena Pemerintah tergolong dalam organisasi publik, maka kinerjanya dapat dinilai dari sampai seberapa jauh ia memenuhi tuntutan  publik  melalui  pemberian public goods. Kinerja Pemerintah juga menunjukkan  sampai  seberapa  jauh Pemerintah  melaksanakan  tugas  dan fungsinya sebagaimana dijanjikan kepada publik.Berdasarkan  teori-teori  dan  studi tentang kinerja, dapat diidentifikasikan faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi atau berperan terhadap kinerja pemerintah. Faktor-faktor tersebut adalah kapasitas manajemen, kebijakan, lingkungan,  budaya  organisasi,  kepemimpinan, faktor endowment, karakteristik pihak yang dilayani, karakteristik tugas, struktur organisasi, dan teknologi (Muhammad, 2008). Muhammad (2008)   menyatakan, bahwa apabila dikaitkan dengan konteks otonomi daerah di Indonesia saat ini, maka  dapat  disimpulkan  empat  faktor yang sangat menentukan dinamika kerja pemerintah daerah. Faktor-faktor tersebut adalah kapasitas manajemen, budaya  organisasi,  lingkungan  yang bersifat  makro (dorongan  atau  hambatan dari luar daerah), dan lingkungan yang bersifat mikro (dorongan atau hambatan dari lingkungan lokal). Oleh karena itu, peran faktor-faktor tersebut diperhitungkan dalam model :

Kinerja   =  f           (KMK,  FLM,  FED, FBO)
f                 : fungsi
KMK      : Kapasitas Manajemen Kewirausahaan
FLM        : Faktor Lingkungan Makro
FED        : Faktor Endowment Daerah
FBO        : Faktor Budaya Organisasi

Dari teori tentang kapasitas manajemen, ditemukan beberapa faktor pendukung atau penghambat yang harus diperhitungkan bagi kesuksesan penerapan kapasitas manajemen kewirausahaan, yaitu kondisi lingkungan lokal, kesiapan budaya organisasi, dan dukungan lingkungan makro. Artinya, kapasitas manajemen dapat berfungsi baik (dalam mempengaruhi kinerja) apabila didukung oleh faktor endowment daerah, budaya organisasi, dan lingkungan makro  (dari  luar  daerah).  Kerangka pikir ini, secara matematis, digambarkan sebagai berikut :

Kapasitas  Manajemen  =  f  (FLM,FED, FBO)
f           : fungsi
FLM        : Faktor Lingkungan Makro
FED        : Faktor Endowment Daerah
FBO        : Faktor Budaya Organisasi

Dengan   mengintegrasikan   kedua model diatas, maka disusun suatu model yang disebut Model Fadel, sebagai berikut :
Dari  model  tersebut,  asumsi  yang digunakan  adalah  bahwa  kapasitas manajemen  kewirausahaan  akan  berperan signifikan terhadap kinerja pemerintah, asalkan faktor  lingkungan makro faktor budaya organisasi, dan faktor endowment daerah tidak menghambatnya.Dengan  pendekatan  itulah,  Bapak Fadel  Muhammad  berupaya  meningkatkan  kinerja  Pemerintah  Daerah Provinsi Gorontalo, dan hasilnya sangat signifikan. Terlihat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi Gorontalo yang mencapai 7-8%  diatas  pertumbuhan ekonomi nasional dan penduduk miskin yang menurun dari 72% pada tahun 2001menjadi  33% pada tahun  2004. Dari sektor ekonomi yang menjadi andalan Gorontalo, luas areal panenan jagung meningkat 58,64%  dalam  tiga  tahun, demikian pula produksi jagung meningkat sebesar 92,87%. Di sektor perikanan, produksi ikan hasil tangkapan mengalami peningkatan 109% dalam waktu lima tahun, atau rata-rata setiap tahun sebesar hampir 22%. Berikut ini adalah beberapa contoh terobosan yang telah
beliau lakukan dan mungkin saja dapat diimplementasikan  pada  Departemen Kelautan dan Perikanan :
1.      Kapasitas Manajemen Kewirausahaan
Pengembangan  Kapasitas  Manajemen Kewirausahaan merupakan prasyarat untuk meningkatkan kinerja Pemerintah. Hal penting yang telah dilakukan adalah reformasi birokrasi pemerintah daerah. Pembenahan pertama adalah meningkatkan kinerja pegawai negeri dengan memberikan  insentif  melalui  tunjangan kinerja daerah. Birokrasi pemerintah menghadapi  masalah  klasik  yaitu motivasi. Mereka tidak merasa penting untuk mengembangkan prestasi karena sistem remunerasi yang tidak mengapresiasi pegawai berprestasi.
2.      Faktor Lingkungan Makro
Faktor lingkungan makro yang pernah dijumpai berupa kekakuan dari instansi pusat yang mengakibatkan daerah tidak mampu memanfaatkan. potensi dan peluang bisnis di daerah, yaitu dalam hal adanya larangan ekspor sapi dari Gorontalo. Beliau menghadapi hal ini dengan inovasi sampai akhirnya Gorontalo diizinkan melakukan ekspor sapi.
3.      Faktor Budaya Organisasi
Terobosan dan inovasi penting yang dilakukan adalah mengubah mentalitas nelayan dengan memperkenalkan budaya kewirausahaan. Nelayan di  Gorontalo  cenderung  mencari ikan ketika sudah tidak mempunyai uang, sedangkan bila uang cukup, mereka akan menikmati hasil sampai uang tersebut habis. Kebiasaan seperti ini tidak mampu meningkatkan kualitas  hidup  mereka.  Terobosan yang dilakukan adalah mengadopsi kebiasaan petani ke kehidupan nelayan. Nelayan diperkenalkan sistem perikanan  budidaya  yang  bersifat cepat  menghasilkan  yaitu  dengan memperkenalkan budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut menjadikan nelayan mempunyai keterikatan seperti petani dengan sawahnya. Para nelayan mulai belajar berorganisasi dalam lingkup yang lebih besar.
4.      Faktor Endowment Daerah
Faktor  endowment  daerah  berkenaan dengan modal fisik dan modal sosial. Modal fisik berkaitan dengan sumberdaya  alam  dan  infrastruktur daerah, sementara modal sosial berkenaan dengan penduduk, sumberdaya aparatur, nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat, sektor swasta, perguruan tinggi, partai politik,  dan  pers  lokal.  Terobosan yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan faktor endowment daerah untuk meningkatkan produksi pertanian, yaitu dengan memanfaatkan hasil inovasi teknologi pengairan untuk memperluas jangkauan irigasi pertanian lahan kering.   •

Daftar Pustaka
-      Muhammad, Fadel, 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman    dari    Daerah. Penerbit    PT   Elex    Media Komputindo, Kompas Gramedia. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif