Oleh : R. Heru Hendarto
Keraton dengan warisan budaya luhur, tegak dan gagah berdiri menaungi Bau-Bau menyiratkan kemegahannya di masa lampau.
Bau Bau? Hmm…, nama unik kota ini pasti sudah lama terdengung di
telinga kita. Ingatan pun kembali melayang ke masa kecil saat guru SD
dulu menerangkan akan Butas atau Buton Asphalt. Pulau Buton
memang terkenal sebagai daerah yang memiliki cadangan aspal alami
terbesar kedua di dunia. Kota Bau Bau terletak di ujung selatan Pulau
Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejarah kota Bau Bau ini di mulai di
tahun 1400‐an yang saat itu menjadi pusat dari Kerajaan Buton atau Wolio
sebagaimana yang tertulis dalam kitab Nagarakratagama karangan Mpu
Prapanca. Buton atau Butuni saat itu digambarkan sebagai sebuah kota
yang terkenal akan keindahan kebun‐kebunnya dan sistem pengairan yang
sudah berkembang baik.
Konon, sejarah berdirinya Buton dimulai dari
perjalanan empat petingggi Tanah Melayu yang tiba di daerah ini dan
mendirikan kerajaan dengan Wa Kaa Kaa sebagai ratu pertama di tahun
1332. Goresan penting sejarah Buton tertoreh tahun 1542 dengan
berubahnya Buton menjadi Kesultanan Islam dengan Sultan Murhum Kaimuddin
Khalifatul Khamis sebagai sultan pertama. Kebesaran sultan pertama ini
diabadikan sebagai nama pelabuhan laut di kota ini, Pelabuhan Murhum.
Saat menaiki ojek di jalanan kota Bau Bau, pandangan mata kita tak
akan lepas dari bangunan keraton yang tampak berdiri di ketinggian kota
Bau Bau. Peninggalan besar yang masih dapat disaksikan dan berdiri megah
itu adalah
Benteng Keraton Wolio yang dibangun semenjak pemerintahan Sultan Buton
III, La Sangaji atau Sultan Kaimuddin yang berjuluk Sania Mangkekuna dan
diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, La Buke atau
Gafurul Wadudu pada tahun 1632–1645. Benteng ini berbentuk huruf dhal
pada abjad Arab, memiliki panjang kurang‐lebih 2.740 meter dengan
tinggi rata‐rata 4 meter dan memiliki ketebalan 1,5 ‐2 meter. Jika
diperhatikan dengan seksama, konstruksi benteng ini cukup unik, yaitu
dibangun dari susunan batugamping atau batu kapur dan direkatkan dengan
perekat alami berbahan rumput laut. Tidak seperti benteng yang terdapat
di daerah lain yang umumnya dibangun dari material batu kali atau batu
bata yang direkatkan dengan kapur dan telur ayam, Benteng Wolio
memanfaatkan batu kapur yang memang tersedia melimpah di daerah ini.
Di
dalam benteng terdapat 12 pintu gerbang atau Lawa yang melambangkan 12
lubang pada tubuh manusia dan 16 pos jaga atau Bastion yang setiap pintu
gerbangnya ditempatkan sejumlah meriam. Sumber lain menyebutkan bahwa
jumlah pos jaga sebenarnya adalah 17 yang melambangkan jumlah rakaat
dalam sholat fardhu umat Islam. Memang, semua bangunan di dalam Benteng
Wolio sarat akan makna-makna religius dan sosial yang sangat kuat saat
itu. Keseluruhan luas kompleks benteng ini sekitar tidak kurang dari 22
hektar dan sudah diakui MURI sebagai benteng yang terluas di Indonesia.
Saat ini, masyarakat Buton masih menanti pengakuan bahwa benteng ini
juga sekaligus merupakan benteng yang terluas di dunia.
Melengkapi kemegahan Benteng Wolio, di dalamnya terdapat pula Masjid
Agung Keraton (Masigi Ogena), didirikan oleh Sultan Buton XIX Sakiuddin Durul Alam atau Langkariyri pada awal abad 17. Masjid dua lantai berukuran 20,6 x 19,4m2 ini
berperanan sebagai pusat kegiatan keagamaan kesultanan. Saat ini pun,
masjid keraton ini masih digunakan untuk sarana peribadatan sehari-hari.
Bahkan, di saat bulan Ramadhan masjid selalu penuh dengan jamaah yang
beribadah, menunaikan berbuka dan sahur bersama di bagian selatan
selasar. Material sebagai bahan baku untuk membangun masjid sama dengan
bahan baku pembuatan benteng, yaitu campuran dari batu kapur dan pasir.
Keunikan masjid ini adalah jumlah pintunya sebanyak 12 buah dan
tersusun atas 313 potong kayu yang identik dengan simbol 12 lubang pada
tubuh manusia berikut jumlah tulang yang terdapat di dalamnya. Anak
tangga masjid sebanyak 17 buah plus dua buah anak tangga tambahan,
identik dengan jumlah rakaat shalat fardhu dan shalat sunnah. Masjid ini
pula memiliki sebuah bedug dengan panjang 99 cm yang melambangkan
Asmaul Husna. Karena usianya yang cukup tua, renovasi pun dilakukan pada
tahun 1929. Saat itu, atap daun nipah yang selalu ditambal sulam selama
dua ratus tahun diganti dengan atap seng. Berturut-turut selanjutnya
tahun 1978, 1986 dan terakhir tahun 2002 renovasi dilakukan untuk
mempertahankan keutuhan masjid hingga tampak seperti saat ini.
Melayangkan pandangan ke sekeliling masjid, sungguh kita akan
menemukan pemandangan apik dan lingkungan yang asri. Tepat di sebelah
masjid berdiri sebuah tiang kayu yang berjuluk Kasulaana Tombi,
menjulang setinggi 21 m yang digunakan untuk mengibarkan tombi atau
bendera panji Buton yaitu Longa‐Longa. Hingga saat ini kondisi tiang
yang sudah berusia 200 tahun lebih ini masih cukup baik walaupun sudah
agak miring dan lapuk dimakan usia. Di hadapan masjid, kita akan
menemukan situs bersejarah batu Popaua yang digunakan sebagai tempat
pelantikan ratu pertama Wa Kaa Kaa dan tradisi tersebut masih diteruskan
oleh Sultan Buton berikutnya hingga saat ini. Di sebelahnya juga
terdapat pula Baruga yang berbentuk bangunan besar dari kayu tanpa
dinding yang digunakan sebagai tempat pertemuan dan membahas berbagai
persoalan yang munculdalam kehidupan masyarakat.
Melangkahkan kaki menyusuri dinding benteng ke arah timurlaut, kita
akan melewati sejumlah bangunan adat yang masih sangat terawat. Sebagian
dihuni oleh keluarga sultan dan sebagian dihibahkan kepada pemerintah
kota untuk dijadikan kantor instansi. Menurut masyarakat di dalam
benteng, adat yang berakar dari nenek moyang mereka masih dijaga teguh
hingga kini. Hal tersebut dapat terlihat dari prosesi adat seperti
pernikahan, warisan kain tenun khas Buton, bahasa yang digunakan dan
acara-acara adat yang masih rutin dijalankan setiap tahunnya. Tiba di
ujung benteng, kita akan menemui lapangan luas yang rapi dengan sebuah
pohon tegak berdiri dengan beberapa makam yang terdapat di
bawah naungannya. Benteng Wolio dahulu memang dibuat dengan tujuan
melindungi keraton dengan kekuatan meriam sehingga dibangun di
ketinggian kota Bau‐Bau sehingga pemandangan di tempat ini sangatlah
indah. Setiap sore hingga malam hari benteng ini ramai oleh pengunjung
yang ingin menghabiskan waktu bercengkerama
menyaksikan cantiknya
hamparan kota Bau‐Bau di bawah dan menanti sunset elok di ufuk
barat. Pemandangan pesisir Bau‐Bau seperti perahu‐perahu yang berlabuh
di Pelabuhan Batu, ramainya Pantai Kamali, kapal‐kapal besar lepas di
Pelabuhan Murhum serta pemandangan Kolam Laut Bau‐Bau dengan Pulau
Makasar di belakangnya sungguh sangat elok.
Tidak hanya Benteng Keraton Wolio, di luar benteng masih terdapat beberapa peninggalan bersejarah
yang masih dapat disaksikan hingga saat ini. Tidak begitu jauh dari
Wolio, terdapat benteng lain yang melengkapi kemegahan Kerajaan Buton
yaitu Benteng Sorawolio. Benteng ini, seperti halnya Benteng Istana
Baadia yang berbentuk huruf alif, memiliki bentuk huruf miim
dengan empat Bastion di tiap sudutnya. Saat ini benteng tersebut
sebagian sudah runtuh dengan meriam yang tergeletak di beberapa sisi dan
lingkungan sekitarnya penuh dengan rerumputan namun secara keseluruhan
lingkungan benteng ini masih asri dan menyiratkan kegagahannya di masa
lampau. Selain benteng Sorawolio, terdapat pula Masjid Quba yang masih
asri terjaga, Istana Baadia serta Pusat Kebudayaan Wolio.
Ketiga tempat ini letaknya berdekatan dan dapat ditempuh menggunakan ojek dari Masigi Ogena. Peninggalan lainnya yang terletak agak jauh adalah Istana Kamali yang berlokasi di dekat Pantai Kamali di pusat kota Bau‐Bau. Istana ini dibangun pada tahun 1922 oleh bantuan Belanda dan oleh karena itu jugalah para sultan tidak berkenan tinggal dan berdiam di situ. Di awal kemerdekaan istana tersebut sempat dipinjamkan sebagai bangunan sekolah AMS (Ambtenaar Middlebare School) dan selanjutnya sekarang ini dijadikan bangunan Universitas DayanuI Ikhsanuddin sehingga diberi julukan Istana Ilmiah. Selain peninggalan-peninggalan bangunan bersejarah tersebut, ternyata di banyak tempat lain masih terdapat puluhan benteng yang dibangun untuk mengawal Benteng Wolio dan menjaga pulau-pulau di sekitarnya. Benteng-benteng tersebut banyak dibangun di abad 17, bertujuan menyangga Buton dari ancaman kerajaan lain di Tanah Air ataupun agresi Belanda yang mulai meresahkan. Tidak mengherankan bila Buton juga terkenal akan julukan Negeri Seribu Benteng.
Ketiga tempat ini letaknya berdekatan dan dapat ditempuh menggunakan ojek dari Masigi Ogena. Peninggalan lainnya yang terletak agak jauh adalah Istana Kamali yang berlokasi di dekat Pantai Kamali di pusat kota Bau‐Bau. Istana ini dibangun pada tahun 1922 oleh bantuan Belanda dan oleh karena itu jugalah para sultan tidak berkenan tinggal dan berdiam di situ. Di awal kemerdekaan istana tersebut sempat dipinjamkan sebagai bangunan sekolah AMS (Ambtenaar Middlebare School) dan selanjutnya sekarang ini dijadikan bangunan Universitas DayanuI Ikhsanuddin sehingga diberi julukan Istana Ilmiah. Selain peninggalan-peninggalan bangunan bersejarah tersebut, ternyata di banyak tempat lain masih terdapat puluhan benteng yang dibangun untuk mengawal Benteng Wolio dan menjaga pulau-pulau di sekitarnya. Benteng-benteng tersebut banyak dibangun di abad 17, bertujuan menyangga Buton dari ancaman kerajaan lain di Tanah Air ataupun agresi Belanda yang mulai meresahkan. Tidak mengherankan bila Buton juga terkenal akan julukan Negeri Seribu Benteng.
Kota Bau‐Bau mulai terasa semakin bergeliat membuka diri membenahi pariwisatanya. Selain Keraton
Wolio, pemerintah kota pun mencoba terus menggalakkan pariwisata kota
Bau‐Bau dengan lebih profesional seperti dengan dikembangkannya Pantai
Lakeba, penelitian mengenai wisata selam Pantai Nirwana dan rencana
pengelolaan Gua Langkasa. Di sisi lain, masyarakat kota Bau‐Bau pun
mendukung dengan penuh sinergi, salah satunya dengan turut menyukseskan
Festival Keraton dan Festival Pulau Makasar yang rutin digelar
pemerintah kota setiap tahunnya. Diharapkan kelak, Bau‐Bau yang selama
ini hanya menjadi kota transit wisata penyelaman Wakatobi, dapat lebih
dilirik dan menjadi alternatif wisata yang tidak kalah menarik dibanding
tempat lainnya.
Getting There :
Kota ini dapat ditempuh dengan penerbangan Makasar – Bau Bau melalui
maskapai Merpati dengan lama penerbangan kurang dari satu jam.
Frekuensi
penerbangan empat kali seminggu dengan pesawat baling-baling sekelas
Fokker dengan harga tiket sekitar 400 ribu rupiah. Jalur lain yang dapat
ditempuh adalah menggunakan kapal cepat Sagori Express, Super Jet
ataupun Santosa88 dari Kendari yang melayani rute menuju Bau Bau sehari
dua kali pp dengan harga tiket ekonomi sekitar 125 ribu rupiah.
Perjalanan menempuh waktu 5 – 6 jam tergantung banyaknya penumpang dan
kondisi ombak.
Where to Stay :
Banyak hotel di kota ini, namun yang cukup baik adalah Hotel Rajawali
(0402-2823633) dan Hotel Mira (0402-2822911). Jika ingin lebih
menikmati suasana pantai dan keramaiannya, di sekitar Pantai Kamali
banyak terdapat hotel low budget yang cukup layak.
Tips :
Kota Bau Bau adalah kota kecil yang cukup ramai dan relatif aman.
Tempat yang perlu agak diwaspadai adalah pasar dan pelabuhan, selebihnya
anda cukup leluasa berwisata tanpa khawatir. Bank dan ATM cukup banyak
tersedia sehingga anda tidak perlu membawa cash berlebih.
Perjalanan menuju Keraton atau tempat lainnya dapat dilakukan dengan
ojek. Harga rata-rata 3.000 rupiah untuk dalam kota dan untuk tujuan
yang jauh harga akan naik namun bisa dinego. Tidak sulit mencari ojek di
Bau Bau, cukup berdiri saja di pinggir jalan maka akan banyak sepeda
motor yang menghampiri. Kota Bau Bau sendiri cukup banyak memiliki
tempat wisata selain Keraton Wolio dan kunjungan ke semua tempat wisata
yang berada di kota dapat dilakukan cukup dalam waktu satu hari.
Jika anda mengunjungi Bau Bau melalui pesawat via Makasar, tidak ada
salahnya saat pulang anda mengambil jalur laut menuju Kendari dan
meneruskan penerbangan dari sana. Pemandangan indah sekitar Selat Buton
yang dilewati selama perjalanan laut Bau Bau – Kendari sungguh rugi
untuk dilewatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar