Ketika
kita mendengar kata julukan putra sang fajar, singa podium dan pemimpin
besar revolusi, ingatan kita pasti hanya tertuju kepada Bung Karno.
Selain julukan-julukan tadi, Bung Karno juga diujuluki dengan “Manusia
besar dengan gagasan besar”. Ciri-ciri dan kriteria manusia besar pada
Bung Karno terlihat dari peninggalannya yang kekal. Ideologi Pancasila,
Marhaenisme, Semangat Nasionalisme serta peninggalan dan karya besar
Bung Karno (Bangunan-bangunan hasil karya seni dan arsitektur) masih
bisa rasakan dan lihat hingga saat ini. Dia tidak hanya tokoh berskala
nasional, akan tetapi dia masuk jajaran tokoh internasional yang
berpengaruh.
Semasa berkuasa, banyak cerita tentang pembangunan bangunan-bangunan
mercusuar yang dilakukan oleh Bung Karno. Pembangunan bangunan-bangunan
itu tidak hanya berlandaskan keinginan ego pribadi semata tetapi semua
pembangunan itu punya makna. Bangunan-bangunan yang dibangun itu tidak
hanya sebagai output karya seni dan arsitektur semata, tetapi bangunan
tersebut merupakan simbol-simbol jati diri bangsa, politik
internasional, kepribadian bangsa dan bangsa Indonesia itu sendiri.
Coba
kita lihat pembangunan Gelora Bung Karno, kompleks olah raga bertaraf
internasional ini didirikan atas gagasan Bung Karno yang memberikan
perhatian besar kepada olahraga sebagai bagian penting dari kehidupan
dan kebudayaan bangsa dan gagasannya tentang olahraga yang tidak bisa
dipisahkan dari politik (politik internasional) yang dia katakan
berkali-kali di dalam pidatonya. Pada tahun 1950, Bung Karno mempunyai
gagasan untuk membangun stadion raksasa bagi bangsa. Pada waktu itu,
ketika berbicara dengan perdana menteri Uni Soviet, Nikita Krushchev,
yang berkunjung ke Indonesia Bung Karno mengatakan bahwa dia
menginginkan didirikan sebuah stadion besar, megah dan bisa menjadi
kebanggaan seluruh bangsa sampai ratusan tahun.
Seiring dengan gagasan
Bung Karno tersebut, penyelesaian kompleks Gelora Bung Karno adalah
sebuah jawaban kesiapan Bung Karno atas tantangan menjadi tuan rumah
Asian Games 1962 dan sikap politik internasional Bung Karno (Indonesia)
dengan pelaksanaan GANEFO (Games of The New Emerging Forces). GANEFO
merupakan gagasan pesta olahraga tandingan olimpiade yang digagas oleh
Bung Karno sebagai simbol perlawanan dan sikap politik Indonesia karena
Indonesia diskors dalam olimpiade Tokyo tahun 1964. Latar belakang
Indonesia diskors tersebut disebabkan oleh pelarangan Israel dan Taiwan
mengikuti Asian Games 1962 di Indonesia. Sikap pelarangan ini diambil
Bung Karno untuk melaksanakan strategi politik internasional Indonesia
kepada RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan menunjukkan rasa simpati
bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat-rakyat Arab melawan Israel.
Selain Gelora Bung Karno, dikawasan yang sama Bung Karno juga
memiliki gagasan membangun gedung CONEFO. Megawati pernah berkisah bahwa
waktu itu di kediaman Bung Karno kedatangan tamu seorang arsitek dan
insinyur muda bangsa kala itu, Ir Sutami yang mengutarakan permasalahan
kesulitan teknis pembangunan gedung CONEFO (sekarang menjadi gedung
DPR/MPR) yang diperuntukkan untuk tempat pelasanaan CONEFO (Conference
of The New Emerging Forces) yang akan diadakan tahun 1966. Ide dan
rancangan awal bangunan megah itu digagas oleh Bung Karno yang juga
seorang arsitek jebolan Technische Hoge School (THS) Bandung,
sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB). Bung Karno lalu memberikan
motivasi pada Ir Sutami, anak muda negeri ini harus bisa mewujudkan
gagasan-gagasan besar. Bung Karno saja bisa untuk mewujudkan kemerdekaan
bangsa ini yang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan membangun
sebuah gedung. Akhirnya, Ir Sutami pulang dan kemudian berdaya upaya
dengan segenap kemampuan dan kepercayaan diri yang utuh untuk
menyelesaikan pembangunan gedung land mark kebanggan bangsa Indonesia.
Pembangunan
gedung conefo (Conference of The New Emerging Forces) ini
dilatarbelakangi oleh gagasan Bung Karno tentang hakikat non-blok yang
memiliki filosofi tinggi. Bung karno menginginkan Indonesia dan Conefo
menjadi salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan. Gagasan Bung
Karno ini juga bagian dari penerjemahan cita-cita kemerdekan Indonesia
yang tertuang dalam pembukaan UUD45. Pada saat meyakinkan pembangunan
gedung ini Bung Karno mengatakan “Gedungnya tidak selesai tidak jadi
apa. Asal conefonya berjalan terus. Sebab bagiku, Conefo adalah sesuatu
yang vital. Jikalau kita benar-benar setia kepada deklarasi kemerdekaan
kita, jikalau kita benar-benar setia kepada apa yang tertulis di dalam
pembukaan UUD kita, UUD45 yang selalu kita katakan harus kita junjung
setinggi-tingginya, maka kita mengerti bahwa Conference of the New
Emerging Forces adalah perlu”.
Selain penerjemahaan cita-cita kemerdaan Indonesia, gagasan Bung
Karno untuk melaksanaan Conefo bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia
bahwa Indonesia pantas menjadi pusat dunia keempat yang pantas
diperhitungkan setelah blok barat, blok timur dan RRC yang diramalan
Bung Karno menjadi pusat ketiga. Hal ini terlihat pada pandangan seorang
diplomat, Ganis Harsono, tentang kebijakan sukarno menyelenggarakan
Ganefo dan Conefo dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali karangan Asvi
Warman Adam. Brigjen Sabur, komandan cakrabirawa, menjelaskan kepada
ganis, “Beliau (maksudnya Presiden Sukarno) ingin memperlihatkan
kepada tamunya bahwa jakarta memang pantas menjadi pusat yang keempat
dari dunia”
*****
Peradaban
bangsa, salah satu bentuknya diwujudkan dalam bangunan bersejarah. Jika
pada masa lalu sejarah peradaban nusantara meninggalkan maha karya
candi Borobudur dan Prambanan, maka bangsa Indonesia yang Merdeka
haruslah mempunyai simbol peradabannya sendiri. Untuk itu Bung Karno
membangun Tugu Monumen Nasional (Monas) yang megah untuk mengenang
perjuangan bangsa ini melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan
imperialisme dan juga untuk kebesaran bangsa Indonesia. Pada 29 Juli
1963 dalam pidatonya, Bung Karno mengatakam “Kita membangun Tugu
Nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap, seluruh Bangsa Indonesia
membantu pembangunan tugu nasional itu”.
Dalam naskah pidato saat pembukaan jalan silang Monumen Nasional, 16 Agustus 1964, Soekarno megatakan, “Seluruh
rakjat Indonesia jang djiwanja, hatinja, rochnja, kalbunja, harus
mendjulang tinggi ke langit laksana Tugu Nasional sekarang ini”.
Daniel Dhakidae dalam bukunya cendikiawan dan kekuasaan dalam orde baru,
mengatakan bahwa Bung Karno sangat sungguh-sungguh merencanakan
pembangunan monumen ini yang katanya harus “mencerminkan kepribadian
bangsa Indonesia, melambangkan api yang berkobar, bersifat dinamis dan
memberikan kesan bergerak.
Pembangunan tugu monumen nasional ini bertujuan agar bangsa Indonesia
tidak pernah lupa akan patriotisme dan perjuangan para pahlawannya
untuk mencapai Indonesia Merdeka dimana tonggak-tonggak sejarah bangsa
Indonesia terihat pada 51 diorama dalam museum serta memberikan makna
agar bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala
dalam berjuang dan tidak pernah padam atau surut sepanjang masa seperti
dilambangkan oleh “api yang tak kunjung padam” di puncak togu monumen
nasional tersebut.
Masjid
Istiqlal adalah mesjid terbesar se asia tenggara dan mesjid yang
sebagai simbol kebanggaan umat Islam Indonesia dibangun sebagai land mark
spiritual bangsa Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar
di dunia. Masjid istiqlal merupakan simbol ungkapan dan wujud rasa
syukur bangsa Indonesia kepada Allah SWT atas kemerdekaan yang telah
diberikan dan dianugerahkan olehNya. Istidlal dibangun diatas tanah yang
menjadi basis kekuatan kolonial, van den bosch defensie linie, maka
nama yang diberikan Bung Karno, Istiqlal, yang berarti merdeka, menjadi
lengkap, merdeka diatas pusat kekuatan militer kolonial dan merdeka
diatas tanah sendiri.
Menurut roso daras dalam tulisannya, pada saat
menentukan tempat pembangunan Bung Karno bersikukuh mendirikan mesjid
ini di atas taman Wilhelmina, sebab ratu wihelmina sebagai representasi
penjajahan di bumi Indonesia dan menurut Bung Karno harus dihancurkan,
dimusnahkan dan diganti mesjid bernama “kebebasan”, Istiqlal. Makna
pembangunan mesjid istiqlal tidak hanya itu. Roso daras dalam tulisannya
menyatakan bahwa pembangunan mesjid di arsiteki oleh Frederich Silaban,
seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara dan lokasi
yang terletak di seberang lapangan Banteng itu, dipilih karena
berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di
sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang
harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung
Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal.
Dalam proses pembangunan mesjid
istiqlal Bung Karno pernah berkata “Jika Candi Borobudur yang
dibangun leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa tahan ratusan tahun,
maka saya ingin Masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan tahun, tetapi
ribuan tahun!” begitu tekad Bung Karno, seraya melanjutkan, “agar kelak anak-cucu kita paham, bahwa Presiden Indonesia yang pertama sangat mencintai Islam.” (tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar