Edhi
Sunarso, pembuat Patung Selamat Datang di Bundaran HI, Patung
Dirgantara dan Patung Pembebasan Irian Barat Lapangan Banteng dalam Tempo Interaktif mengisahkan.
Suatu hari pada 1959 Pemimpin Besar Revolusi Soekarno memanggil tiga
seniman tersohor: Trubus, Edhi Sunarso, dan Henk Ngantung, yang juga
menjabat Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau membuat Monumen Selamat Datang
untuk menyambut olahragawan Asian Games. Ayo, kau skets.
Bentuknya begini, lho,” kata Presiden Republik Indonesia itu di hadapan mereka seraya mengangkat tangan kanannya, memperagakan orang yang sedang menyapa dari jauh.
Bentuknya begini, lho,” kata Presiden Republik Indonesia itu di hadapan mereka seraya mengangkat tangan kanannya, memperagakan orang yang sedang menyapa dari jauh.
Ketiga perupa itu lantas membuat sketsa. Setelah rampung, Soekarno
memeriksanya lalu menunjuk Henk. “Kau jadi pengawas pekerjaan ini,”
katanya. Lalu ia berpaling ke Edhi dan berkata, “Dhi, kau buat patung
setinggi sembilan meter dari perunggu.” Edhi, pematung berusia 27 tahun,
terkesiap. “Saya belum pernah bikin patung
perunggu, Pak. Jangankan sembilan meter, sepuluh sentimeter saja belum
pernah,” kata dosen Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) itu. Soekarno
menampiknya. “Kau senang kalau ini saya serahkan ke luar negeri? Tidak
malu? Sebagai satu bangsa dan sebagai pejuang, kau harus sanggup. Aku
beri waktu seminggu. Kau berembuk dengan kawan-kawanmu di Yogya dan
kembali kemari tak ada jawaban selain sanggup. Coba bikin perencanaan
tiga dimensinya,” katanya. Pembangunan patung selamat datang ini digagas
Bung Karno sebagai lambang keramahan bangsa Inddonesia menyambut para
peserta Asian Games pada tahun 1962. Begitulah Bung Karno yang selalu
menggugah semangat anak-anak bangsa ini untuk maju, dan Edy beserta
kawan-kawannya ternyata mampu mewujudkan maha karya itu yang semula
mereka sendiri ragu ketika memulainya.
Selain
patung selamat datang, peninggalan bersejarah Bung Karno adalah patung
tani yang sebenarnya adalah patung pahlawan yang diresmikan pada tahun
1963 yang dibawahnya terdapat plakat yang berbunyi “Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bang yang besar”.
Patung ini merupakan patung pemerintah Uni Soviet untuk Indonesia.
Menurut Roso Daras dalam tulisannya, kala itu Presiden Soekarno
melakukan kunjungan resmi ke Uni Soviet dan diperkenalkan kepada Matvel
Manizer dan Otto Manizer. Diundanglah kedua pematung tersebut oleh
Presiden Soekarno ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi mengenai
perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Pada saat itu dimaksudkan
untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
Mereka pun mendatangi sebuah desa di wilayah Jawa Barat dan bertemu
dengan penduduk setempat. Di desa tersebut kedua pematung ini mendengar
sebuah kisah tentang seorang Ibu yang mengantar anaknya menuju medan
perang. Sang Ibu memberikan dorongan semangat dan keberanian kepada sang
anak untuk bertekad memenangkan perjuangan, dan juga agar selalu ingat
akan orang tua dan tanah airnya. Ia kemudaian membekali anak
laki-lakinya dengan nasi hasil tanakannya. Begitulah kisah yang mereka
dengar dari rakyat di kawasan Jawa Barat. Cerita inilah yang menjadi
Inspirasi dan kemudian mereka kembali ke Uni Soviet, kemudian dibuatlah
patung itu yang diberi nama Patung Pahlawan.
Pada
Tahun 17 Agustus 1963 Bung Karno meresmikan Patung Pembebasan Irian
Barat, patung menggambarkan seseorang yang telah bebas dari belenggu.
Menurut Roso Daras dalam tulisannya, ide pembuatan patung ini diperoleh
Bung Karno ketika Beliau sedang pidato di Yogyakarta dalam menggerakan
massa untuk membantu membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat. Yang
kemudian diterjemahkan oleh Henk Ngatung dalam bentuk sketsa.
Patung Dirgantara yang lebih dikenal patung pancoran saat ini,
merupakan patung yang dibangun oleh Bung Karno untuk menunjukkan simbol
semangat bangsa, keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara yang
menekankan kepada pentingnya bangsa Indonesia mengandalkan keberanian,
kejujuran dan semangat. Kisah pembangunan patung ini sedikit berbeda
dengan pembangunan-pembangunan patung atau landmark lainnya. Pembangunan
ini menyisakan cerita pahit dimana ketika Bung Karno diujung tanduk
kekuasaan pasca gestok, keberlanjutan pembangunan patung ini tidak
digubris oleh suharto dan pembangunan ini sempat mandeg. Akan tetapi
Bung Karno bukanlah manusia yang plin plin dan mengajarkan sikap yang
kurang bertanggung jawab, di tengah-tengah posisinya di ujung tanduk
pasca gestok dan penolakan pertanggung jawabannya di sidang MPRS, begitu
besarnya tekanan baik dari dalam maupun luar negeri terhadapnya serta
ketidakmampuan keuangan Edhi Sunarso melanjutkan pembangunan patung ini,
Bung Karno tetap pada pendiriannya untuk menyelesaikan pembangunan
patung dirgantara. Dengan kondisi tersebut Bung Karno merelakan menjual
mobil pribadinya untuk melanjutkan pembanguann patung ini dan
menyerahkan hasil penjualan mobilnya tersebut sebesar Rp. 1,7 juta
kepada Edhi Sunarso untuk melanjutkan pembangunan patung dirgantara.
****
Selain
pembangunan patung dan land mark lainnya, dimasa pemerintahannya Bung
Karno juga membangun jembatan semanggi. Pembangunan jemabatan ini
merupakan rangkaian paket pembangunan untuk menjalankan perhelatan Asian
Games 1962. Dalam tulisan Roso Daras, pada kesempatan sebuah rapat
kabinet, Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Sutami, mengusulkan kepada Bung
Karno untuk membangun sebuah jembatan guna mengatasi kemungkinan
munculnya persoalan kemacatan lalu lintas. Dalam pembangunan jembatan
itu, Bung Karno menamakan jembatan semanggi dengan mengunakan filosofi
jawa. Menurut Roso Daras, dalam sebuah kesempatan Bung Karno pernah
mengemukakan filosofi daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah
simbol persatuan, dalam bahasa jawa ia menyebut “suh” atau pengikat sapu
lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Sebaliknya, gabungan
lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat.
Dalam pembangunan ekonomi, Bung Karno senantiasa menekankan
kemandirian dan percaya pada kekuatan sendiri (self help and self
relience). Diawali dengan kebijakan progresifnya untuk mendirikan Bank
Indonesia (BI) pada 15 Desember 1951 dengan nasionalisasi De Javasche
Bank atau Bank Java. Kemudian pada tahun 1962 membangun land mark
industrialisasi raksasa pertama di Indonesia dan bahkan di Asia
Tenggara, yaitu Pabrik Baja Trikora (sekarang Krakatau Steel) yang
merupakan mother of industry di Cilegon. Sebagai mother of
industry, pabrik baja trikora memiliki peran penting sebagai dasar
pembangunan dan perkembangan berbagai jenis indstri lain seperti
telokomunikasi, transportasi, elektronik dan industri lainnya. Dan saat
ini, pabrik baja trikora yang telah dibangun oleh Bung Karno sebagai
salah satu pondasi bagi industri lain sudah tidak lagi dimiliki penuh
oleh negara. Padahal Bung Karno pernah berkata “ingat, produksi,
ekonomi adalah perutnya negara. Maka itu jamak lumrahlah kalau kaum
reaksioner mengkonsentrasikan sabotasenya kepada perut negara lain”. Kalau
sudah begini, kita tidak hanya bisa berharap industri dan negara kita
tetap bisa berdaulat dan merdeka di tanahnya sendiri.
*****
Jika pada masa awal berdirinya negara ini, Bung Karno dan para pemimpin pada masa itu mampu membangun land mark
yang menjadi kebanggaan bangsa, jati diri bangsa, kepribadian bangsa,
simbol sikap politik internasional Indonesia dan memiliki fungsi, dapat
dipergunakan dengan baik hingga pada masa sekarang ini. Bagaimana dengan
keadaan kita sampai dengan hari ini yang belum mampu memberikan sesuatu
yang menjadikan kita bangga dan percaya diri sebagai sebuah bangsa.
Kita yang pada masa lalu selalu menjadi yang terbaik di Asia Tenggara
bahkan diperhitungkan di kancah politik internasional, padahal pada saat
itu kondisi ekonomi sedang susah, perdagangan dan ekspor yang terhambat
oleh blokade dan konfrontasi dengan Malaysia, pengeluaran negara yang
terkuras akibat perang dan mengatasi berbagai pemberontakan, dan
instabilitas politik dalam negeri.
Jika benar kondisi ekonomi kita sekarang
dikatakan lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada masa pemerintahan
Soekarno, semestinya kita bisa membangun dan membuat sesuatu yang lebih
baik lagi. Dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita
sekarang ini yang mencapai angka sebesar Rp 1.435,4 Trilyun, dan
Cadangan Devisa Indonesia USD 118,11 miliar pada tahun 2011, kita belum
mampu membangun land mark baru yang menunjukkan kemampuan kita sebagai
bangsa yang berdikari, percaya pada kekuatan sendiri dan memiliki
kepribadian sebagai bangsa yang merdeka sejajar dengan bangsa-bangsa
lainnya. Kita sudah seharusnya berbenah agar tidak tenggelam dalam
perkembangan peradaban dunia. (NASIONALISME)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar