Buton selalu identik
dengan aspal. Bagaimana tidak? Berdasarkan literatur, Pulau Buton di Sulawesi
Tenggara merupakan pulau yang dahsyat karena memiliki deposit aspal sebanyak
650 juta meter kubik yang jika diproduksi 1 juta meter kubik per tahun saja,
produksinya akan terus berlangsung hingga 650 tahun mendatang.
Namun, selain aspalnya. Pulau Buton memiliki panorama alam yang cantik.
Penulis cukup beruntung bisa menginjakkan kaki di Pulau Buton saat mengikuti
Tim Ekspedisi Wallacea dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP)
Departemen Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu, yang bertolak
menggunakan kapal Phinisi Cinta Laut dari Pelabuhan Bau-bau menuju ke Pulau
Kabaena.
Pulau Buton dengan ibu kota Bau-bau dalam
sejarahnya, merupakan kota
kerajaan Sultan Wolio yang memerintah di kawasan Buton dan pulau-pulau
sekitarnya seperti Muna, Kabaena, Wowini dan Pulau Tukang Besi. Dalam masa
pemerintahannya, para raja Buton biasa melakukan kerja sama kenegaraan dengan
Kerajaan Cina dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa.
Kepala Seksi Sarana dan Jasa Dinas Pariwisata Kota Bau-bau, Ali Arham,
mengungkapkan, penduduk Buton berasal dari Semenanjung Tanah Melayu di Johor
yang datang menggunakan perahu ke Pulau tersebut pada abad ke-13.
Ali mengungkapkan, keyakinan bahwa leluhur Buton datang dari Johor adalah
karena di Johor juga terdapat kampung bernama Woloan.
Saat itu, ada empat kelompok yang
mendarat di Buton. Dua kelompok mendarat di Buton barat dan dua rombongan
mendarat di utara. Kelompok pertama langsung mendirikan kampung Wolio, yang
mengambil nama dari Kampung Woloan, katanya.
Empat rombongan tersebut kemudian
beranak pinak dan membuat kampung-kampung baru, seperti Kampung Gundu, Kampung
Balu, Kampung Peropa dan Kampung Barangkatopa. “Seluruh kampung itu masih ada
dan namanya tetap sama hingga sekarang,” ujar Ali.
Setelah menjadi kampung yang
cukup besar, warga Buton kemudian mengangkat Ratu Pertama, bernama Wakaka.
Bambu Kuning
Pemerintahan pertama tersebut
dipilih berdasarkan musyawarah mufakat antara 4 tokoh adat. Wakaka yang
merupakan seorang perempuan dipilih karena dianggap memiliki kepribadian dan
sifat pemimpin yang layak, katanya.
Nama Wakaka menurut Ali, berarti
keluar dari Bambu Kuning. Dalam sejarah hikayat Buton, dikatakan ratu memang lahir
dari pohon bambu kuning, tapi ada juga ahli sejarah yang mengatakan nama itu
disandang karena saat dilantik menjadi ratu, ia diusung di atas tandu kebesaran
yang dibuat dari bambu kuning yang memang banyak tumbuh di sini, katanya.
Situs Pelantikan Wakaka sebagai
Ratu Buton yang dilantik pada abad 13 tersebut hingga kini masih ada, yaitu
berupa sebuah lubang yang saat diambil sumpah, kaki Ratu dimasukkan ke lubang
sambil dipayungi.
Prosesi pelantikannya sangat
unik. Warga Buton saat itu masih memeluk agama Hindu, sehingga lubang tersebut
adalah perlambang dari Yoni, sebuah simbol suci agama Hindu. Saat memasukkan
kakinya ke lubang, calon Ratu harus mengambil sumpah yang menyatakan ia akan
memerintah negeri dengan baik dan tidak akan menjual tanah airnya untuk
kepentingan sendiri. Sementara mengambil sumpah, petugas yang memegang payung
akan memutarkan payung di atas kepala calon ratu, katanya.
Setelah diambil sumpah, Raja
kemudian dimandikan dengan air suci di dekat situs pelantikan yang hingga kini
masih mengalir airnya. Menurut Ali, di dekat mata air, sebenarnya ada lingga
yang merupakan simbol suci Hindu yang melambangkan laki-laki serta patung
berbentuk manusia.
Karena takut dipergunakan untuk
hal-hal yang tidak jelas, maka patung manusia diangkat dari sana, katanya tanpa
menjelaskan ke mana patung tersebut dipindahkan.
Meski berbentuk kerajaan, sejak
lama Kerajaan Buton sudah menganut sistem demokrasi parlemen dan memiliki
konstitusi yang harus dipatuhi oleh seluruh warga, termasuk ratu atau raja Buton.
Saking taatnya mereka pada
undang-undang, sehingga ketika parlemen menemukan fakta bahwa raja melakukan
kesalahan, maka raja pun bisa dijatuhi hukuman mati. Ini terjadi pada Sultan
Mardan Ali yang memerintah pada abad ke-17. Ia dihukum mati karena melanggar
sumpah yang berbunyi tidak akan mengganggu isteri orang lain, katanya.
Hukuman mati untuk Raja Ali
sangat mengerikan karena saat itu cara menghukum mati adalah terhukum dipendam
di dalam tanah hingga batas kepala, kemudian 40 orang berbaris satu-satu sambil
melemparkan batu pada terhukum.
Bila terhukum kuat menanggung
deraan 40 buah batu yang dilemparkan, ia dianggap telah menanggung hukuman dan
bebas untuk pergi, namun jika tidak maka ia tewas dan tinggal menunggu malaikat
pencabut nyawa menjemputnya, ujar Ali.
Selain hukuman adat tentang tata
susila, kerajaan Buton juga memiliki Hukum Kedaulatan Rampe yang dibuat oleh
Kerajaan Buton, dimana barang yang terdampar di Perairan dan Pantai Buton
merupakan milik Kerajaan Buton.
Empat Aturan
Dalam hidup bernegara dan
berbangsa mereka memegang teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata
somanamo karo artinya, korbankan harta demi keselamatan diri.
Kemudian inda inda mo karo
somana mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian inda
inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang
penting pemerintahan. (Dalam hal ini, Ali mencontohkan pengobanan Soekarno yang
menyingkir ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi demi menyelamatkan pemerintahan
negara).
Terakhir adalah inda inda mo syara somanamu agama artinya biarlah
pemerintahan hancur yang penting agama.
Falsafah perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus
dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan orang
atau negara yang bersangkutan, katanya.
Selain falsafah negara, mereka punya falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka,
artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya
tiap manusia harus saling menyayangi, po angka angka taka artinya tiap
manusia harus saling menghargai dan po pia piara artinya tiap manusia
harus saling memelihara.
Karena falsafah ini maka pasangan suami istri di Buton sangat awet dan takut
sekali bercerai, ujarnya.
Dalam masa pemerintahannya, Kerajaan Buton sempat mengalami transisi yaitu
karena masuknya pengaruh ajaran Islam. Raja kemudian menobatkan dirinya sebagai
sultan dan di tempat pentasbisan raja yang berupa Yoni, kemudian dibangun
sebuah masjid yang merupakan masjid pertama yang ada di Pulau Buton.
Masjid ini dibangun pada tahun 1712 pada masa pemerintahan Sultan Ke-19.
Bangunannya berbentuk bangunan Indonesia Asli dan ada mitos bahwa di Masjid ini
ada lubang pusat bumi yang bisa membuat orang menghilang, katanya.
Lubang itu, menurut Ali hanya mitos belaka, sebab sesungguhnya lubang yang
dipercaya sebagai pusat bumi adalah sebuah terowongan yang vertikal dan
memiliki jalan tembus di kawasan pantai Buton.
Sekarang gua tersebut sudah tidak dibuka lagi karena khawatir sudah rapuh.
Sebenarnya gua berukuran 2 x 2 m ini adalah sebuah terowongan yang memiliki
jalan tembus. Saat masa penjajahan Belanda, jika ada penyerangan ke kota, warga menyelamatkan
diri ke dalam masjid dan lari keluar melalui lorong rahasia tersebut. Karena
banyak yang tidak tahu maka keluarlah mitos bahwa masjid merupakan titik pusat
bumi yang bisa membuat orang hilang atau menghilang, katanya tertawa.
Rumah Adat
Keluarga kerajaan Buton, menurut Ali tinggal di dalam istana atau rumah adat
yang disebut Malige yang sekarang menjadi musium dan pusat kebudayaan Wolio.
Rumah adat Wolio dibangun ibarat tubuh manusia yang memiliki kepala, badan
dan kaki. Orang Buton memiliki tradisi memberi lubang rahasia pada kayu
terbaiknya untuk diberi emas dan menyimbolkan lubang rahasia tersebut sebagai
pusar yang merupakan titik central tubuh manusia, katanya.
Emas tersebut menurutnya, sebagai perlambang bahwa rumah memiliki hati. Bagi
adat Wolio, hati adalah laksana intan pada manusia.
Di Bau-bau, benteng keraton yang
terletak sekitar 3 km dari pusat kota terlihat mencolok dan menarik mata. Menurut
Ali benteng ini dibangun pada masa 4 kesultanan.
Pembangun benteng pertama adalah
sultan ke 3 yaitu Sultan Mangkekuna yang membangun kubu pertahanan (bastion) di
empat sudut keraton.
Kemudian dilanjutkan oleh sultan ke 4, yaitu Sultan Laelangi yang
menghubungkan antar bastion.
Sultan ke-5, yaitu Sultan Abdul Wahab melanjutkan pembangunan penambahan
bastion dan sultan keenam merampungkan seluruh benteng.
Benteng yang dibuat dari batu-batu gunung dengan perekat pasir, kapur dan
putih telur itu akhirnya selesai dalam jangka waktu 50 tahun dengan keliling
benteng mencapai 2.740 m dengan ketebalan 1-2 meter dan tinggi 2-8 meter,
dilengkapi dengan 12 pintu masuk untuk penduduk, 16 bastion yang dijaga
prajurit dan dilengkapi 52 meriam.
Selain benteng, sultan juga
menanam tumbuhan sudu-sudu yang berduri seperti kaktus di sepanjang benteng. Jika
kulit manusia tertusuk tumbuhan ini maka akan mengakibatkan gatal dan rasa
sakit yang lumayan. Tumbuhan sudu-sudu adalah tumbuhan asli Buton, tambahnya.
Di sekitar benteng, bisa terlihat
sebuah tiang bendera yang sudah tampak sangat tua. Ali mengungkakan tiang itu
dibuat dari kayu jati asli dan dibangun pada 1712.
Kayu jati masih awet hingga 300
tahun karena dia dibangun di atas batu dan tidak menempel ke tanah sehingga
kayu selalu kering. Tiang ini digunakan untuk mengibarkan bendera Kerajaan
Buton yang disebut longa-longa artinya berwarna warni, selain itu juga sempat
mengibarkan bendera Kerajaan Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih hingga
sekarang, katanya.
Ali mengungkapkan tiang bendera
ini pernah tersambar petir sehingga patah menjadi dua namun disambung dengan
menggunakan besi baja sehingga bisa berdiri lagi.
Selain situs kerajaan, pantai
Buton juga indah. Yang paling indah adalah pantai Nirwana, yang terletak
sekitar 12 Km dari Bau Bau.
Pantai Nirwana mempunyai pasir
putih dan laut yang jernih sehingga bila terkena sinar matahari memantulkan
warna hijau kebiru-biruan yang cantik. Wisatawan biasanya bermain datang untuk
menikmati matahari terbit dan terbenam serta berenang dan melakukan olahraga
air. (Potlot Adventure)
Mengulas tentang Buton sangat menarik, tanah kelahiran. Semakin semangat untuk mempromosikan novel Negeri Sapati (seri pertama dari 5 seri)
BalasHapusFb: Negeri Sapati, twitter: negerisapati. www.novelnegerisapati.blogspot.com
Terima kasih atas infonya pak, kemarin lansung saya ke toko Gramedia Jl. Matraman Jkt untuk membeli Novel tsb, yang kebetulan stocknya tinggal 8 buku. Bacaan asyik sekali & isinya mengingatkan saya dimasa kanak-kanak ketika di Buton.
BalasHapus