Kebudayaan ternyata tidak tinggal diam tetapi
bergerak, tumbuh dan berkembang. Sebagai akibatnya pengertian kebudayaan juga
turut berubah walaupun istilahnya sendiri tetap dipertahankan. Perubahan dan
pelipatgandaan pengertian itu, yang jelas membuat bidang semantik terus meluas,
bukanlah sekedar persilatan kata menurut mode intelektual. Berbagai petunjuk
membuktikan bahwa hal tersebut memang sesuai dengan bermacam-macam tuntutan
serta hirauan yang cukup mendasar dan mendalam. Bahkan kelihatannya banyak hal
yang dahulu dianggap sebagai bagian masalah politik kini seperti sudah
dialihkan ke dalam urusan yang disebut kebudayaan .
Sementara itu sangat menonjol adanya kaitan yang
erat antara kebudayaan dan pendidikan. Hal ini terlihat jelas sekali pada alam
pikiran Jerman. Di situ terdapat dua istilah, “Kultur” dan “Bildung”. yang
dalam bahasa Anglosakson cukup dinyatakan dalam satu istilah. yaitu “culture”.
Bildung dalam dirinya melambangkan sumbangan asli dari buah pikiran (Hegel, Fichte)
dan sastra (Goethe, Schiller) Jerman pada pengertian kebudayaan dan pada
perwujudannya. Dua dari bagian-bagian pokoknya adalah: pembentukan intelektual,
estetika dan moral dari manusia serta pengadaan beberapa hubungan mendasar yang
menjalin manusia dengan alam, dengan manusia lainnya, dengan berbagai bentuk
masyarakat manusiawi. dengan kemanusiaan sebagai keseluruhan, dengan Tuhan,
dengan Ketuhanan.
Adanya kaitan antara kebudayaan dengan pendidikan membuat kebudayaan selalu kali berurusan dengan dua faktor, yaitu: masa lampau dan elite. Kekayaan spiritual berupa pemikiran falsafah, kesusasteraan dan kesenian, yang tumbuh dan berkembang secara kumulatif di masa lampau secara sadar dan sengaja diajarkan kepada lapisan masyarakat yang memasuki dinding pendidikan formal atau mengikuti latihan yang khas dan khusus. Dari lapisan, ini, banyak sedikitnya sesuai dengan yang diharapkan, timbul sekelompok warga masyarakat yang melanjutkan dan mengembangkan terus unsur-unsur kebudayaan itu berkat pengajaran sistematik yang pernah didapatnya dalam rangka pengajaran dan latihan formal tersebut. Tidak jarang kelompok ini untuk selanjutnya berubah menjadi sekumpulan kecil anggota masyarakat (elite) yang mengkhususkan din dalam kebudayaan yang ka-dangkala berupa gagasan dan pemikiran konseptual baru di bidang nilai-nilai kehidupan manusia. Begitu rupa sehingga berkat kegiatan dan prakarsa elite ini perbendaharaan nilai yang telah dikembangkan oleh nenek moyang tidak hilang punah ditelan perkembangan zaman.
Sayangnya kebudayaan, yang cenderung diartikan
sebagai keselu-ruhan pengetahuan karya kesenian dan karya akal budi masa lampau
itu, biasanya ditanggapi pula secara konsumtif. Kebudayaan yang di-tanggapi
secara konsumtif ini memang mempunyai nilai, memang ada gunanya. Namun artinya
itu menjadi hilang apabila ia diubah dari alat menjadi tujuan, seperti yang
praktis dilakukan oleh pagelaran drama tari klasik dan tontonan tradisional
rakyat dengan berbagai pola serta bentuknya serimpi, bcdaya, wayangorang,
ketoprak, ludruk, debus, dan sebagainya maupun oleh sistem pendidikan dan
latihan kilat baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Ketika pengetahuan dan ketrampilan artistik yang
lahir dari kebudayaan lampau itu tidak dapat memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah yang lahir dari perkembangan material modern, orang menjadi
ragu. Di kalangan lapisan masyarakat kita yang terpelajar, mula-mula secara
naiuriah tetapi kemudian dengan penuh kesadaran, tidak lagi menanggapi
kebudayaan semata-mata secara konsumtif tetapi le-bih banyak sebagai kekuatan
pembaruan dan daya kreatif. Untuk keperluan ini mereka mulai melihat ke
berbagai unsur kebudayaan Barat, di antaranya ilmu pengetahuan.
Ternyata ilmu pengetahuan tersebut tidak terlalu
membantu pada usaha memberikan pengertian tentang kebudayaan. Di tahun 1952
Kroeber dan Kluckhohn, misalnya, mencmukan tidak kurang dari 166 dcfinisi
mengenai kebudayaan selama kurun waktu 1871 – 1952, yang diajukan oleh sarjana
anthropologi, sosiologi, psikologi, dan lain-lain ahli ilmu pengetahuan sosial,
bahkan sarjana kimia, biologi dan ahli falsafah. Setiap ilmuwan ini menyatakan
batasan pengertiannya scndi-ri, tekanan arti sendiri dan kadangkala meliputi
berbagai isyu yang bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini tidak mengherankan
karena sebagian besar dari definisi tersebut sebenarnya berupa definisi kerja
(technical term) sedangkan kebudayaan (culture) yang dirumuskan sebagai
definisi kerja baru muncul di dalam tulisan-tulisan ahli anthropologi pada
pertengahan abad ke-19.
Para sarjana dan
ahli anthropologi yang biasanya gemar mengaju-kan kqnsep ilmiah tentang
kebudayaan juga mengajukan pengertian yang terlalu polysemik, sesuai dengan
penggunaan istilah kebudayaan dalam analisis permasalahan yang beraneka ragam,
seperti akulturasi, keanekaragaman budaya, kontak kebudayaan, pola kebudayaan
dan lain-lain. Selanjutnya pengertian yang berbeda dari istilah yang sama ini
banyak sedikitnya disebabkan pula oleh kenyataan bahwa dewasa ini tidak ada
satu pun model kebudayaan yang kiranya dapat dijadikan sebagai satu-satunya
bahan referensi.
Selain berbagai masalah seperti yang telah
disebut di atas, ditemui pula kesukaran-kesukaran dalam usaha merumuskan
pengertian kebudayaan. Kesukaran
ini, antara lain, berkaitan dengan perbedaan dalam evolusi dari arti yang
diberikan pada kebudayaan dan pada “keterpe-lajaran” (intelek). Bagi sarjana
ethnologi, manusia pada umumnya memiliki kebudayaan walaupun dia tidak
terpelajar. Orang terpelajar, yang lazimnya disebut sebagai cendekiawan atau
kaum cerdik pandai, selalu berpengetahuan tinggi dan berkat kemampuan
penalarannya atau keintelektualannya itu ia jauh menonjol di atas massa warga
lainnya. Maka timbullah kebiasaan untuk membuat pembedaan ganda (dichotomy)
antara, di satu pihak, kegiatan-kegiatan yang dianggap intelektual dan
karenanya dinilai berbudaya dan, di lain pihak, kegiat-an atau hal sehari-hari
yang dianggap biasa-biasa saja. Pembedaan ganda ini mencerminkan pengutamaan
intelek yang secara implisit didasarkan pada suatu penjenjangan (hierarki) dari
nilai-nilai.
Pembedaan
hierarkis juga dilakukan oleh UUD 1945. Dalam pen-jelasannya mengenai pasal 32
ada disebut kebudayaan asing yang di-bedakan terhadap kebudayaan lama dan asli
yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Pembedaan juga terdapat dalam GBHN. Di situ dinyatakan, di satu
pihak, adanya nilai-nilai yang mencerminkan kepribadian bangsa dan nilai-nilai
luhur yang menjadi tujuan pembinaan kebudayaan nasional dan, di lain pihak,
adanya nilai-nilai sosial budaya yang bersifat feodal dan kedaerahan yang
sempit yang harus ditiadakan dan dicegah. Mengingat UUD 1945 meminta pemenntah
memajukan kebudayaan nasional ada keharusan bagi kita untuk menyimak apa
katanya tentang kebudayaan. Undang-undang Dasar, di negeri mana pun, memang
bukan dokumen ilmiah. Namun ia dalam dirinya merupakan suatu perwujudan
tertulis dari “kontrak sosial” yang mengukuhkan tekad kita semua untuk hidup
bersama-sama sebagai satu Negara-Bangsa.
Penjelasan resmi dari Pasal 32 UUD 1945
mengatakan bahwa “kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah
usaha budidaya Rakyat Indoensia seluruhnya.” Menurut pengamatan saya rumusan
penjelasan ini kiranya datang dari Ki Hadjar Dewantara mengingat dalam berbagat
tulisan beliau yang mengenai kebudayaan disebut bahwa kebudayaan, yang
berarti buah budi manusia, adalah hasilperjuangan manusia terhadap
dua pengaruh yang kuat, yaitu a/atn dan zaman (kodrat dan masyarakat).
Bila UUD mengartikan kebudayaan dengan “buah
budidaya Rakyat” atau “buah budi manusia”, demi perumusan satu definisi umum ia
kiranya dapat diubah menjadi “nilai”. Dengan perkataan lain, “buah budi” itu
adalah “nilai” dan “gagasan vital” yang kita hayati sesuai dengan tuntutan alam
dan zaman yang disebut-sebut juga oleh Ki Hadjar. Bila demikian definisi umum
dari kebudayaan adalah sistem nilai dan gagasan vital yang dihayati oleh
sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun waktu tertentu.
Karena keumumannya tersebut definisi ini menjadi
bersifat abstrak universal. la disebut umum karena yang disebut secara
eksplisit dalam perumusan definisional ini — nilai dan gagasan vital — adalah
unsur yang dianggap begitu hakiki sehingga ditemui dalam setiap gejala
kebudayaan. Abstrak, karena yang hakiki itu dipisahkan dari yang real (fakta)
dan yang konkrit (objek); seperti kalau kita mengatakan bahwa bunga adalah
cantik tetapi kecantikan itu sendiri adalah abstrak. Universal karena kehadiran unsur manusiawi yang
begitu hakiki dan men-dasar bagi kebudayaan. Tanpa manusia, atau lebih tepat,
tanpa budi (akal) yang hanya ada pada manusia, tidak ada kebudayaan.
Istilah
nilai mengandung dua pengertian pokok. Pertama, ia ber-hubungan dengan standar
nilai atau asas pernilaian. Maka itu sering disebut bahwa kebudayaan bersifat
normatif atau preskriptif. Kedua, istilah nilai berkaitan dengan segala sesuatu
yang dianggap “bemilai” itu sendiri. Yang bemilai ini dapat berwujud benda
material dan ka-renanya dapat dijamah, seperti warisan budaya berupa candi,
rumah adat dan lain-lain. la dapat berupa hal-hal yang non-material, tidak
berbentuk benda dan karenanya tidak mungkin dijamah (intangible), seperti
norma, tradisi, adat-istiadat, Umu pengetahuan dan lain-lain. la dapat bersifat
intrinsik dan/atau instrumental. Maka manusia, baik sebagai perseorangan maupun
sebagai kelompok, menunjukkan peng-hargaan yang tinggi pada sesuatu yang
bemilai ini sebagaimana terbukti dari preferensi repetitif terhadap benda atau
hal tersebut.
Manusia di mana pun hidup menurut beberapa
gagasan yang dalam dirinya merupakan dasar penting dari cara hidupnya (way of
life). Gagasan tersebut dapat dikatakan “vital” karena ini adalah gagasan
dengan mana kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita ini.
Jadi ia banyak sedikitnya merupakan seperangkat keyakin-an hidup, sebuah
katalog dari pendirian aktif kita tentang sifat duaia kita beserta sesama
makhluk yang mendiaminya, keyakinan mengenai hierarki nilai segala sesuatu,
seperti manayang lebih dihargai dan mana yang kurang dimuliakan atau lebih
penting dan kurang penting.
Source : Aprio Rabadi (Kabar Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar