Dibawah ini adalah tulisan
selengkapnya yang saya cuplik dari KOMPAS beserta ulasan saya (warna biru) :
Tiga
puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia
merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya
begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor.
Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan
berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.
Ini artinya bahwa Negara Indonesia telah lama dipahami oleh
masyarakat dunia sebagai negara yang punya potensi (sumber daya alam dan
manusia) untuk menjadi negara maju dan kuat karena potensinya itu. Akan ttapi
kenyataannya segala potensi yang dimiliki negara tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal apalagi maksimal, Indonesia selalu disibukan oleh berbagai macam
urusan politik yang tidak pernah kelar bahkan sampai sekarang, dana yang
dikeluarkan untuk urusan politik sangat besar dan tidak efektif, ini terbukti
dengan adanya pesta rakyat dan pemilihan komisi independent yang menghamburkan
uang.
Untuk menjadi negara maju dan kuat seharusnya Indonesia
memulai dengan pendidikan, segala potensi yang ada harus dikerahkan untuk
kemajuan pendidikan bangsa, maka segala macam yang menghambat pendidikan harus
dianggap sebagai musuh bangsa.
Tanggal
19 Desember 2007, rakyat Korea
(Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang
akan memulai lima
tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa
jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7
persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita,
dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada
hemat saya, Indonesia
juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.
Ciri
utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus
kita kalahkan, ialah kebodohan dan
kemalasan yang keduanya adalah
cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu
mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat
dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Kemiskinan yang merajalela diakibatkan kebodohan dan
keterbelakangan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup, sedangkan kebodohan
dan keterbelakangan diakibatkan oleh kemalasan. Jadi akar dari semua itu adalah
kemalasan, oleh karena itu ada adagium bahwa manusia tidak ada yang bodoh tapi
manusia jadi bodoh karena malas. Kemalasan itu pula menyebabkan manusia menjadi
masa bodoh atau tak peduli, ini pun persoalan bangsa yang tidak kalah
pentingnya, karena dilakukan tidak hanya oleh orang yang bodoh saja, bahkan
oleh seorang professor atau menteri.
Dalam
teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic
of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab
keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu
secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama,
yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat
produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan
ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak
disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang
kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan
oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa
teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang
disalahkan.
Etos Korea
Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif
singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah
mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.
Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak,
terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya,
resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan
bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam
rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia
Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, “sikap rajin bekerja“. Lebih
menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang
pidato yang muluk-muluk ttapi tiada pelaksanaannya.
Kedua, “sikap hemat“, yang tumbuh sebagai buah dari sikap
rajin bekerja tadi. Ketiga, “sikap self-help“, yang didefinisikan sebagai
berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur,
dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri.
Keempat, “kooperasi atau kerja sama”,
cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan
individu serta masyarakatnya.
Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea.
Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur
bangsa Indonesia. “Rajin pangkal pandai…” dan “sedikit bicara banyak kerja”
adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama
melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan
Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa,
kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap usaha
mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah;
digolongkan pada perbuatan ibadah. Semntara
sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang
amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong ttap dipelihara dan dilestarikan.
Profesor Korea ini rupanya tidak mengamati bangsa
dan negara Indonesia kontemporer, dengan cermat, buktinya adalah bahwa semangat
gotong royong yang dahulu ada, saat ini telah pudar bahkan sirna dan diganti
dengan sikap individualistis dan mementingkan diri sendiri dan golongan ini
terbukti tidak akurnya para pejabat negara, wakil rakyat, dan tokoh nasional
alias sibuk dengan urusan politik. Ketidak akuran itupun dapat menjurus kepada
konflik yang tentu jauh dari sifat gotong royong. Oleh karenanya untuk
menumbuhkan kembali sifat gotong royong bangsa Indonesia harus dimulai dengan
mengembangkan sikap toleransi, empati dan jiwa besar dalam mengahadapi berbagai
persoalan.
Burung
garuda
Sebagai
penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang
tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di
halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang
ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.
”Ah!” pkir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh
mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu. ”Dia bukan burung
garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, ttapi dia kini tidak lebih dari
ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.
”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung
garuda!” bantah si ahli unggas itu. Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke
atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh. ”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia
bukan garuda lagi!”
Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan
mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu
kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.
Dengan
penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai
punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam tubuhmu
mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung
tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah!”
Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap,
akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.
Nah,
barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa
lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur
satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya
kemampuan. Korea
saja bisa, apalagi Indonesia.
Wahai bangsa Indonesia ini bukan dongeng
pengantar tidur, tapi dongeng pelecut semangat agar kita segera beranjak dari
keterpurukan dan tidur panjang untuk menjadi bangsa dan negara besar.
Koh
Young Hun
Profesor
di Program Studi Melayu-Indonesia,
Source : Harian Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar