Sekilas tentang Mochtar Pabottingi:
Peneliti Senior LIPI
Pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.
Pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.
Dia menegaskan ”akan mengakhiri masa jabatannya
sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa
kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi” (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh!
Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa
dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening.
Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak
pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah
konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan
untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan
tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian.
Kita
juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup
tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri
antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara
serius di tempat yang serius.
Jika
Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya
mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam
setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang
sama sekali lain dari ”wacana lima tahun lagi”. Mereka umumnya akan
berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya
tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan
lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran
negara yang skalanya kian meluas.
Dalamnya
keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya
selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa ”potensi
kemungkinan Indonesia menjadi ’negara gagal’ semakin besar” (”Kesalehan Sosial
Bangkrut”) dan bahwa negara kita memerlukan ”terobosan radikal dengan prioritas
jelas” (Tajuk ”Persoalan Berlapis-Lapis”, Kompas, 10/8). Dengan tingkat
keresahan dan keprihatinan ini, ”lima tahun lagi” adalah sungguh jauh panggang
dari api.
Tantangan terbesar
Tantangan
terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia
terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu,
dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan
demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan
masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in
charge.
Presiden
seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil
keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari
para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul-
simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya
berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang
itulah tugas inheren kepresidenan.
Jika
Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian
pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin
Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai ”logam mulia”. Ia tak
gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau
dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya.
Dia
tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele
yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan
solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga
kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan.
Pemahaman konsisten-progresif
Kontras
dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari
mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di
bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya
menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di
dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari ”Ground
Zero” 9/11 kembali membuktikan hal itu.
Landasan
utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika
serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong,
darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka,
tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah
benar-benar sebagai ”logam mulia”.
Tanpa
pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan
signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor ”Encore!”
Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru
adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu
banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran
eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis
dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand,
”Enough is enough!”
Jika
kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib ”negara gagal”, mari
bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus
menghindar (”Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya”), dan mulai
sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati.
Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat
sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi
darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret
meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang
riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi
sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan
yang sama sekali tidak lucu!
Mochtar Pabottingi Peneliti Senior
====================>
Konsistensi President :
Julian Aldrin Pasha Juru Bicara Presiden R
Mendalami tulisan profesor riset Mochtar
Pabottingi atas pernyataan Presiden pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung
MPR/DPR di Kompas, 23 Agustus 2010, perlu dibuat tanggapan klarifikatif.
Setelah pernyataan Ruhut Sitompul dilontarkan,
banyak pertanyaan datang kepada saya. Intinya, bagaimana sikap Presiden? Terus
terang, perasaan saya sama dengan perasaan Prof Pabottingi: seperti mendengar
pernyataan yang jatuh dari langit di siang bolong tanpa ujung pangkal. Atas nama akal sehat, pernyataan itu harus
diluruskan. Mengapa ditanggapi serius?
Jawabannya: karena concern media massa. Menjadi penting
karena hampir semua media, baik elektronik, dunia maya, microbloggers (Facebook
dan Twitter), maupun media cetak, tampak begitu bersemangat menaikkan dan
mengedepankan ”nyanyian” sumbang itu. Substansinya spekulatif. Seputar bahwa
apakah suara itu sesungguhnya berasal dari Istana? Atau, mungkinkah ia hanya
orang suruhan? Atau, sebaliknya, sebagai menu pembuka hidangan politik,
hitung-hitung testing the water? Atau,
mungkin ini justru perintah ”certiorari” dari dalam parlemen sendiri?
Rangkaian
probabilitas di atas kemudian mendorong saya menyampaikan kepada Presiden bahwa
perlu dibuat pernyataan pada saat sambutan peringatan Hari Konstitusi.
Pertimbangannya, momentumnya tepat karena wacana itu bersinggungan dengan
konstitusi. Seandainya tanpa ada pernyataan Presiden, hampir pasti isu tersebut
kemudian menggelinding memenuhi ruang publik, menggeser isu atau substansi
penting lainnya, seraya memberi ruang yang lebih dari cukup bagi para
komentator, pengamat, atau pakar komunikasi politik untuk mengemukakan
hipotesis dan analisisnya yang belum tentu sepenuhnya benar, kalau tidak pantas
dikatakan ngawur.
Diskursus semu
Wacana seputar citra Presiden tidak perlu
didramatisasi. Wacana dan diskursus terhadap hal itu sungguh tidak relevan
dalam konteks Presiden SBY. Bahwa ada garis batas dan perbedaan jelas antara
politik pencitraan serta keseriusan bersikap dan konsistensi tindakan. Politik
pencitraan adalah bentuk lain dari ”pepesan kosong”. Tidak ada permanenitas dan
konsistensi di dalamnya. Ibarat salon mobil atau salon kecantikan, cukup
dipoles sehingga baret atau luka dapat tertutupi. Beberapa konsultan politik
telah demikian mahir sehingga mampu dalam sekejap ”memoles” sesuai dengan citra
yang ingin diciptakan. Namun pasti, make up semacam itu tidak tahan lama, cepat
luntur, karena tidak bersumber dari hati dan dilakukan secara konsisten.
Keseharian seorang SBY adalah bersikap dan bertindak secara konsisten,
disiplin, berdasarkan kebiasaan serta keyakinannya.
Berangkat dari realitas, tudingan bahwa Presiden
menghabiskan waktu untuk membangun citra ilusif dan bersikap evasif menunda
konfrontasi dengan masalah serta sama sekali tidak fully in charge, sebagaimana
disebut sang Suhu, mahaguru, membuat saya bertanya, apakah postulat ini
berdasarkan kajian riset dan terhindar dari harum-scarum serta bebas-nilai?
Atau, hanya keyakinan berdasar informasi dunia maya dengan sejuta ilusi di
dalamnya? Undreamed-of, memang sulit memahami secara utuh cara berpikir,
bersikap, dan bertindak seorang presiden bila dibayangkan atau dilihat hanya
dari kejauhan.
Sedikit orang yang tahu bahwa hampir seluruh
waktunya didedikasikan bagi kepentingan, kemajuan, dan keselamatan bangsa dan
negara. Bagaimana seorang SBY harus menghadapi kompleksitas luar biasa dalam
memimpin negara Indonesia.
Dibutuhkan wawasan pemahaman komprehensif yang cerdas, bijak, dan terukur.
Permasalahan senantiasa muncul. Sejauh ini, sebagian telah dikelola dengan
baik, sisanya masih merupakan tantangan untuk diselesaikan sebagai bagian dari
tugas dan tanggung jawab pemerintahan SBY hingga Oktober 2014.
Sejarah mencatat bahwa
bangsa yang maju ditopang oleh kerja keras dari orang- orang terbaik. Ibarat
logam mulia atau crème de la crème, mereka memiliki semangat
segar-sehat-harmoni, dengan pikiran maju untuk membangun negaranya.
Mereka maju karena pemerintahan berjalan optimal tanpa diganggu oleh intrik
dungu, narrow-minded, kesinisan, atau hujatan yang ”dimainkan” oleh sekelompok
orang yang punya vested-interests.
Negara ini memiliki segalanya, termasuk resources
yang diperlukan menjadi negara maju. Menjadi tanggung jawab kita bersama
sebagai warga negara dalam menjaga dan membangun negara, sebagaimana
diamanatkan founding fathers bangsa lebih dari enam puluh lima tahun lalu.
Presiden sebagai lembaga
Sering kali disalah mengerti bahwa presiden
sesungguhnya lembaga, bukan pribadi. Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan
tidak serta-merta dikultuskan sebagai individu sebagaimana seorang pemimpin ultra-Vires. Pandangan semacam ini mungkin bisa
dipahami di masa lalu. Ketika ekspektasi terlalu besar dialamatkan kepada
lembaga kepresidenan, jangan dilupakan bahwa ada pranata politik atau institusi
lain yang juga—harus—bekerja. Lebih dekat, spesifik, dan teknis. Lembaga
kepresidenan bukan segalanya. Di pusat juga ada kementerian dan lembaga,
sementara daerah pun memiliki lembaga sesuai tugas dan fungsi dalam menjalankan
pemerintahan.
Akhirnya, secercah harapan kepada para peneliti
sosial untuk melakukan kajian demi menjawab keraguan dan kecemasan dalam
menyongsong tantangan lima
tahun ke depan, pasca-2014. Perlu dibuat proyeksi bangsa kita ke depan. Harus
diakui, setidaknya dalam lima
tahun terakhir bangsa ini telah melangkah maju. Tidak perlu terlalu pelit memberi apresiasi karena masyarakat dunia
mengakuinya. Tentu banyak hal yang masih harus dikejar, diperbaiki, dan
disempurnakan. Sebaliknya, sebagai antisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan
kita menjadi failed state, sebagaimana dikhawatirkan, akan sangat diapresiasi
bila muncul kajian empiris yang mengungkapkan filling the gap, what went wrong
with our lovely country? Dan para komentator politik tidak cukup punya waktu
melakukannya. Source : Harian "Kompas"
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Silahkan anda membaca dan mengurai serta menganalisa lebih lanjut dari 2 tulisan opini ini, anda berhak untuk menyuarakan pendapat anda terkait tulisan diatas. selamat berpendapat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar