Oleh : Asis
Sumber :
Saduran oleh La Ode Ichram tahun 1996, dari tulisan La Ode Tanziylu terjemahan Buku Tembaga yang judul aslinya (ASSAJARU HULIQA DAARUL BATHNIY WA DAARUL MUNAJAT dan tulisan La Ode Zaenu “Buton dalam Sejarah Kebudayaan”.
SIPANJONGA adalah orang sakti yang berasal dari
suku Melayu di Negeri Pasai. Mereka meninggalkan negeri asalnya pada tiga likur
malam bulan Sya’ban tahun 634 H dengan mengajak Sitamanajo sebagai pembantu
utamanya serta 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya.
Kepergian rombongan besar ini dari negeri asalnya
adalah untuk mencari daerah yang telah diberitakan oleh leluhurnya untuk
ditempati.
Berbulan-bulan mengarungi lautan dan melewati daratan dengan menggunakan bahtera (kapal) bernama “LAKULEBA”. Diburitan bahtera dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna hitam putih selang seling, dalam bahasa Buton disebut “LONGA-LONGA”. Nama armada yang digunakan oleh Sipanjonga dan rombongannya diabadikan menjadi nama perkampungan yaitu “Desa Lakaiiba”.
Berbulan-bulan mengarungi lautan dan melewati daratan dengan menggunakan bahtera (kapal) bernama “LAKULEBA”. Diburitan bahtera dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna hitam putih selang seling, dalam bahasa Buton disebut “LONGA-LONGA”. Nama armada yang digunakan oleh Sipanjonga dan rombongannya diabadikan menjadi nama perkampungan yaitu “Desa Lakaiiba”.
Pada
tahun 1936 M, armada Sipanjonga mendarat disalah satu daratan negeri Buton.
Didaratan tersebut mereka mencari dataran tinggi untuk bisa membina/mengawal
kaumnya serta menjaga kemungkinan dari serangan musuh. Rombongan manusia besar
dan sakti ini membuat benteng pada sebukit yang dinamai “TOBE-TOBE”. Setelah
benteng tersebut rampung, mereka kembali ketempat dimana mereka petama kali
terdampar, satu tempat yang dikelilingi benteng untuk mengibarkan bendera.
Tempat pengibaran bendera tersebut dinamai “SULAA”. Dan diabadikan menjadi nama
sebuah kelurahan yakni Kelurahaan Sulaa (sekarang berada diwilayah Kec.
Betoambari Kota Bau-Bau). Hanya saja benteng tersebut sudah dirusak akibat
perang dan tangan yang tidak bertanggungjawab.
Setelah
pembuatan benteng dan pengibaran bendera selesai dan kehidupan di Tobe-tobe
sudah berjalan baik. Sipanjonga meminta kepada Sitamanajo untuk mengajak kaum
pengikutnya mencari daerah baru sebagai tempat tinggal dan mengembangkan
turunannya.
Setelah
mempersiapkan segala perlengkapannya, Sitamanajo dan pengikutnya tidak
berpamitan kepada pimpinannya Sipanjonga. Rombongan kecil yang dipimpin
Sitamanjo meninggalkan Sulaa menuju arah timur menyusuri pantai Buton yakni di
Teluk Bungi Todanga (sekarang wilayah Kec. Kapontori Kab. Buton) untuk beristirahat.
Kemudian rombongan Sitamanajo melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu
dataran tinggi yang letaknya berada disebelah timur laut dari tempat kediaman
pimpinannya Sipanjonga di Tobe-Tobe.
Oleh
karena dataran tinggi baru diketemukan oleh Sitamanajo sangat bagus untuk
pemukiman, maka rombongan ini mengakhiri perjalanannya dengan membuat
perkampungan serta benteng pertahanan dipuncak gunung yang disebutnya “LAMBELU”
(sekarang daerah ini merupakan perbatasan Buton dan Muna, dikenal dengan nama Desa
Lipu Malanga atau Dataran Tinggi, berada di wilayah Kab. Buton) serta nama
bentengnya adalah “KAMOSOPE” (dalam bahasa Buton diartikan Menyerupai Sebuah
Kapal). Benteng tersebut masih ada sampai sekarang dan dilengkapi dengan dua
pucuk meriam yang posisinya berbeda arah. Satu pucuk moncongnya mengarah
kesebelah barat dan satunya lagi mengarah kesebelah utara. Dan ditempat
ini pula Sitamanajo juga mengibarkan bendera leluhurnya yakni bendera
Longa-Longa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar