Belakangan menyeruak secara nasional pembahasan tentang “karaktek bangsa”. Kementerian Pendidikan Nasional menempatkan tema ini sebagai tema sentral dalam setiap pembahasan pendidikan. Kegiatan tahunan Kementeriaan Pendidikan Nasional dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan yang dilaksanakan di Sawangan pada tanggal 15 – 18 Maret 2011 lalu juga menempatkan tema ini sebagai pokok pembahasan utama yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA). Saya pikir
pembahasan tentang “karakter” tersebut dikedepankan karena fenomena yang nampak selama ini sangat memprihatinkan kita semua. Emosi dan pengetahuan rasional kita begitu sempit memaknai sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada perbedaan pendapat maka disikapi dengan penuh emosional dan subyektif. Jika ada peraturan maka sangat bangga jika peraturan tersebut dilanggar (tidak dipatuhi). Misalnya, perbuatan korupsi itu bertentangan dengan undang-undang, penyebab kemiskinan masyarakat dan keterkebelakangan daerah, tetapi ada orang tidak malu-malu melakukan korupsi kemudian membela diri dengan berbagai alasan membenarkan tindakan korupsinya tersebut. Ada orang bangga dan senang karena tidak mematuhi lampu lalulintas yang berwarna merah atau menyeberangi jalan pada tempat dilarang menyeberang. Orang yang merokok akan marah jika ditegur jangan merokok ditempat dilarang merokok (seperti dalam angkutan kota, bis umum atau ruangan dilarang merokok). Jika dilarang mereka dengan muka marah dan berkata bahwa “ini hak saya”. Mereka tidak menyadari bahwa banyak sekali orang lain yang mempunyai hak untuk tidak mencium atau menghirup asap rokok ditempat yang memang dilarang merokok. Inilah sedikit fenomena yang muncul belakangan ini. Begitu kita tidak menyadari tentang diri kita (kapabilitas, kapasitas, perbuatan), apalagi menghargai dan menghormati kapabilitas, kapasitas, karya dan hak orang lain. Kita tidak mampu lagi menakar kemampuan diri kita, apalagi menakar kemampuan orang lain. Euforia kebebesan mengaburkan keteladan yang pantas dan patut ditiru. Nilai-nilai karakter (disiplin, jujur, sopan santun, menghargai orang lain, menghargai peraturan, dll) yang seharusnya kita miliki tidak lagi nampak pada diri kita. Ketidak jelasan karakter ini bercampur dalam dialektika dan aktivitas semua orang dalam keseharian hidup masyarakat.
Uraian ringkas tentang topik di atas “membentuk karakter melahirkan insan bermartabat” saya sampaikan dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Baubau di Kendari pada 26 Maret 2011. Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman saya selama ini mengamati fenomena yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam skala kecil maupun skala besar (bangsa).
Saya batasi terminologi dalam topik ini hanya 2, yaitu karakter dan martabat dalam pribadi (insan) atau masyarakat/bangsa. Karakter itu sangat personal dan merupakan komponen tingkah laku (behaviour). Dia terbangun dari kontribusi keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan. Lingkungan keluarga sebagai lembaga awal yang memberi warna karakter. Lembaga pendidikan dan lingkungan adalah pembentuk berikutnya.
Pendidikan karaktek adalah term luas yang digunakan untuk mendeskripsikan pengajaran pada insan dalam penguatan moral, tingkah laku, perbuatan baik, keberhasilan, nilai, dan lain-lain yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. Hal-hal tersebut berkaitan dengan alasan moral atau pengembangan cognitive, pendidikan life skill, pendidikan kesehatan, pencegahan kekerasan/kebrutalan, berpikir kritis, alasan etik, dan resolusi konflik dan mediasi.
Karakter sangat sering digunakan yang merujuk pada “bagaimana baiknya orang tersebut” – atau dengan kata lain seseorang yang menampilkan kualitas personalnya (sangat personal dan merupakan komponen behaviour). Dr. Thomas Lickona, penulis tentang “Educating for Character” menyatakan bahwa "pendidikan moral” sebenarnya sudah sangat tua – setua pendidikan itu sendiri. Pendidikan mempunyai 2 tujuan besar, yaitu: (1) membantu kaum muda menjadi smart, dan (2) membantu mereka menjadi baik. Karakter baik tidak dibentuk secara otomatis – tetapi dibangun dalam waktu panjang melalui proses pengajaran berkelanjutan. Pendidikan tidak boleh hanya terkait dengan transfer ilmu dan teknologi namun juga harus mampu membentuk nilai serta karakter bangsa. Sifat yang harus dimiliki adalah tangguh, ulet, peduli dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Karakter baik itu mencakup “mengetahui yang baik” (kebiasaan pikiran), “mencintai yang baik” (kebiasaan hati), dan “mengerjakan yang baik” (kebiasaan tindakan).
Kondisi yang perlu dipertahankan dan kalau perlu ditingkatkan adalah integritas pribadi dan menghindari berpikir instant untuk menjadi lebih cepat “besar” (seperti menjadi professor, rektor, dekan, pimpinan eksekutif, anggota legislatif, cepat kaya, dll). Tidak ada satu tujuan yang tidak melalui proses. Oleh karena pencapaian tujuan membutuhkan proses maka selama memasuki proses tersebut perlu usaha, kerja keras, berpikir dan bedoa (menyerahkan diri pada Allah SWT).
Ketegangan timbul karena tiba-tiba pribadi (individu) tertentu mencapai suatu tujuan tidak melalui proses tersebut. Para ahli menyatakan bahwa jika hal ini terjadi maka “nation’s character telah menjadi vulnerable” seperti ditunjukan dengan kenakalan/kebrutalan, perkelahian tanpa sebab, korupsi, dan lain-lain. Salah satu sekolah di Amerika menulis: “kami percaya bahwa sekolah adalah sebuah tempat untuk belajar bagaimana menjadi seorang murid yang baik. Juga sekolah adalah tempat untuk belajar menjadi seorang pribadi baik. Sekolah ini mempunyai komitmen meningkatkan moral kehidupan murid. Good character yang diajarkan adalah: respect, responsibility, honesty, kindness, dan perseverance (kualitas terus ditingkatkan walaupun dalam situasi sulit)”.
Pada saat kondisi masyarakat seperti yang diuraikan di atas maka menjadi wajar apabila setiap individu memberikan arahan penyadaran agar merubah attitude, beretika, mempunyai integritas, bertanggung jawab, menghargai dan kukuh pada peraturan, menghargai hak orang lain, mencintai bekerja, selalu hemat, bekerja keras dan menghargai waktu untuk menjadi “the primary actor” dalam melahirkan sumberdaya manusia yang berkarakter positif sebagai penentu sukses dan gagalnya suatu daerah atau bangsa ini kedepan.
Saya masih ingat bahwa di Istana Ilmiah Baubau (tepat dihadapan rumah orang tua saya) terpampang papan nama beberapa Perguruan Tinggi, seperti IKIP Makassar di Bau-Bau, UNHOL, Akademi Kemaritiman, IAIN dan terakhir UNIDAYAN dan STAIN. Tanpa kita sadari bahwa sebetulnya pimpinan daerah, tokoh masyarakat dan orang tua kita pada saat itu telah meletakan pendidikan sebagai bagian penting dalam perubahan peradaban masyarakat untuk menjadi maju, terhormat dan bermartabat. Kemajuan suatu bangsa salah satu ukurannya adalah “seberapa maju pendidikan yang dimiliki masyarakatnya”, karena salah satu tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa manusia cerdas harus dilandasi dengan moral (iman). Cerdas itu adalah “sempurna akal budinya” (untuk berpikir, mengerti, dsb), sehingga kecerdasan adalah kesempurnaan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran).
Bagaimana dengan individu cerdas tanpa moral (iman) atau bagaimana dengan individu bermoral (beriman) tapi tidak cerdas? Moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq; budi pekerti; susila. Moral merupakan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk, adat sopan santun dan berahlaq baik. Orang yang berahlaq baik adalah orang yang pandai bersyukur, selalu berdoa dan memuji Dia.
Pengembangan sumberdaya manusia yang beriman
adalah sangat penting untuk dilakukan guna mengatasi berbagai masalah bangsa
yang sedang kita hadapi saat ini. Beratus-ratus tahun lalu Rasullah SAW telah
menunjukan jalan pada kita bahwa negara yang maju dan jaya hanya akan lahir
bila sumberdaya berkualitas yang beriman/bertaqwa dan cerdas. Kecerdasan yang
kita kenal sekarang ini antara lain: (1) Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan
yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, mahluk lain,
dan alam sekitar, (2) Kecerdasan intelektual, yaitu kecerdasan yang menuntut
pemberdayaan otak, hati, jasmani dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi
secara fungsional dengan yang lain, dan (3) Kecerdasan spiritual: kecerdasaan
yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, mahluk lain,
dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan YME. Berdasarkan hal
ini maka peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang cerdas merupakan suatu
keharusan, salah satunya melalui jalur pendidikan.
Sejarah menunjukan bahwa negara maju dan bermartabat tidaklah ditentukan oleh luasnya negara, banyaknya sumberdaya alam dan kesuburan tanahnya, akan tetapi ditentukan oleh seberapa tinggi kualitas sumbedaya manusia yang dimilikinya. Perbedaan antara masyarakat/bangsa atau negara miskin dengan masyarakat/bangsa atau negara kaya tidak ditentukan oleh umur masyarakat/bangsa atau negara tersebut. Contoh seperti India dan Mesir yang umurnya lebih dari 2000 tahun tetapi masih masuk kategori negara miskin. Sebaliknya, Canada, Australia dan New Zealand yang sekitar 150 tahun sangat “inexpressive”, saat ini menjadi negara maju dan kaya.
Perbedaan masyarakat/bangsa atau negara miskin dengan yang kaya tidak terletak pada ketersediaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Jepang yang memiliki wilayah teritorial terbatas, 80% pegunungan, tidak cukup untuk pertanian dan peternakan, tetapi negara ini adalah negara nomor 2 terkaya secara ekonomi. Pabrik di negara ini “terapung” dimana-mana, mengimpor bahan baku dari seluruh dunia, kemudian mengekspornya dalam bentuk bahan olahan pabrik (bahan jadi). Belakangan negara ini juga mengekspor hasil pertanian dan perternakan hamper di seluruh dunia (padahal lahan pertaniannya sangat sempit). Singapore juga masuk kategori ini. Negara ini sangat sempit, tetapi semua negara di dunia tahu tentang kekuatan ekonomi negara ini. Negara ini menjadi lalulintas perdagangan barang-barang di Asia.
Contoh lain adalah Switzerland (negara Swiss) yang tidak memiliki tanaman cocoa, tetapi negara ini merupakan penghasil coklat terbaik di dunia. Di wilayahnya yang terbatas, masyarakatnya memelihara hewan dan tumbuhan di lahan yang hanya 4 bulan per tahun, tetapi negara ini menghasilkan susu kualitas terbaik. Negara ini merupakan negara kecil tetapi semua negara tahu bahwa tingkat keamanan, penghargaan hukum dan tenaga kerja terjamin.
Tentang kemampuan intelektual antara eksekutif
dari negara kaya dengan negara miskin tidak berpengaruh secara signifikan. Ras
dan warna kulit juga bukan faktor penting yang membedakannya. Banyak imigran
dari negara miskin menjadi produktif setelah menetap di negara kaya seperti
negara-negara Eropa dan Australia.
Kalau demikian apa yang membedakannya? Yang membedakannya adalah sikap masyarakat (attitude of the people) yang dibingkai bertahun-tahun melalui pendidikan dan budaya. Hasil analisis para ahli tentang perilaku masyarakat negara –negara kaya dan maju ditemukan bahwa mayoritas terbesar disebabkan oleh prinsip-prinsip dalam hidup mereka, yaitu: (1) etika sebagai prinsip dasar, (2) integritas, (3) tanggung jawab, (4) hormat dan menghargai peraturan, (5) hormat dan mnghargai hak orang lain, (6) mencintai pekerjaan (work loving), (7) hemat dan selalu berinvestasi, (8) mempunyai keinginan untuk kerja keras, dan (9) selalu menghormati/tepat waktu (punctuality). Di negara-negara miskin, hanya minoritas yang mengikuti dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupannya.
Jadi sesungguhnya kita tidak miskin dan terkebelakang karena kekurangan sumberdaya atau karena alam ini telah “marah” kepada kita, tetapi kita miskin karena sikap kita (lack of attitude) dan kekurangan keinginan untuk berkehendak dan mengajarkan prinsip-prinsip fungsional tadi.
Seberat apapun tantangan yang kita hadapi akan
dapat dipecahkan dengan baik jika tersedia sumberdaya manusia yang
“berkualiats”, sadar diri, saling mengakui, saling menghargai, saling
menghormati, saling ikhlas, dan memahami prinsip-prinsip untuk maju.
Buah dari kerja keras tersebut adalah prestasi. Jika kita telah berprestasi maka Insya Allah kita diikuti prestise or martabat. Itu berarti kesejahteraan. Sejahtera tidak tidak berarti memiliki materi, tetapi dapat juga yang bersifat “intangible”. Jadi jangan pernah berbicara dan menuntut kesejahteraan kalau tidak tahu bagaimana bekerja dan berpikir untuk mencapai kesejahteraan. Jangan pernah mencemooh orang bahwa dia gagal mensejahterakan orang banyak, padahal kita sendiri belum tahu bagaimana dan apa yang harus kita lakukan untuk mensejahterakan orang lain. Jangan pernah berangan-angan mensejahterakan orang lain, sementara kira sendiri belum tahu mensejahterakan diri kita. Yang perlu kita lakukan adalah bekerja keras, memperbaiki yang keliru, melengkapi yang masih kurang, meningkatkan yang masih rendah, menambah yang masih sedikit, dan memperluas yang masih sempit. Bermartabat bisa berarti terhormat. Terhormat karena perbuatan yang baik dan terpuji, tutur kata yang sopan, perilaku yang beradab, kemampuan yang melindungi dan mencerahkan.(***)
(Guru Besar bidang Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Haluoleo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar