Pesona Wolio-Pulau Buton

Senin, 21 Mei 2012

Telaah Wajah Indonesia Dalam Falsafah Budaya Buton

Oleh : Detif Rahim
Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, namun apa yang terjadi penjajahan di negeri sendiri masih saja marajalela. Para penguasa hanya mementingkan kepentigan sendiri bukan pada kepentingan rakyat, jika kita maknai salah satu padangan falsafat Buton yaitu Yinda-Yindamo Okaro Somanamo Olipu artinya mengikhlaskan raga dan jiwa untuk kepentingan rakyat semata. Pandangan diatas seharusnya, pemimpin berpikir dan berkerja keras untuk kepentingan rakyat agar rakyat
merasakan kedamaian dan kesejahteraan hidup menuju keadilan sosial seperti tertulis dalam UUD 1945.
 Entah apa yang terjadi dengan kondisi bangsa hari ini hingga kesenjangan sosial terjadi dimana-mana. Apakah nurani, moral ataukah kebudayaan timur didalam sanubari para pemimpin atau umat manusia pada umumnya sebagai fitrah khalifah di dunia ini sudah tergadaikan dengan ketamakan duniawi ataukah kurangnya kesadaran manusia (poor conscious) terhadap nilai-nilai budaya leluhur ataukah kita terjebak dengan budaya barat (western culture).
Falsafah lain yaitu Pobinci-Binciki Kuli artinya cubitlah kulitmu diri sendiri sudah diterjemahkan kearah negatif dalam artian melakukan tindakan kejahatan sosial (social crime) secara berjamaah contohnya Korupsi. Seharusnya falsafah diatas diimplemensikan kearah positif dalam artian bahwa nurani ataupun moral kita tidak tergadaikan dengan harta duniawi semata tetapi bagaimana sifat gotong royong, saling membantu sesama dibangkitkan dan diterapkan keseharian kita sehingga tercapainya tujuan rasa keadilan dan rasa peri kemanusiaan seperti yang tercantum di Pancasila.
Berdasarkan lahir dan batinnya maka praktek sehari-hari diwujudkan oleh ahlak peradaban yang mempunyai 4 Syarat yaitu :

1. Poma-Maasiaka artinya Sayang menyayangi
Kecenderungan kesenjangan konflik sosial bangsa saat ini dikarenkan karena kurangnya kesadaran persatuan dan kesatuan atas saling memiliki, saling memahami sesama umat manusia. Kita sudah mengabaikan nurani dan yang ada hanyalah hawa nafsu sehingga yang ada kehancuran belaka. Demonstrasi misalnya biasanya dibarengi dengan kekerasan terhadap sesama manusia, pelemparan tempat-tempat umum dan lain-lain. Apalagi dengan Undang-undang otonomi daerah yang melahirkan raja-raja kecil dimana otonomi daerah mestinya memajukan pembangunan, pendidikan di semua sektor malah yang terjadi hanyalah pembangian kekuasaan. Hal ini juga diperparah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Faktanya hampir semua pemilihan kepala daerah terjadi kekacauan dan rakyat kecillah yang menjadi sasaran empuk kekuasaan. Apakah ini jawaban dari reformasi? tentunya bukan itu jawabanya. Kita mestinya harus sadar diri dan mampu menyelaraskan antara nurani, akal hingga tercipta insan berbudaya arif, berbudi pekerti, santun, saling menyayangi sesama sebagaimana cinta atas diri sendiri yang sejati.
2. Poangka-Angkataka artinya Hormat Menghormati
Lahirnya peradaban baru di negara-negara-negara maju salah satunya di dukung oleh budaya saling hormat menghormati. Jepang contohnya masih menerapkan budaya menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan bagi yang muda kepada yang tua atau antara Murid kepada Guru. Coba kita lihat bangsa ini yang ada hanya Porambi-Rambitaka artinya saling tidak hormat menghormati atau tidak saling menghargai. Mengapa kok Bangsa yang besar ini kental akan nilai-nilai budaya pupus seketika. Apakah ini pengaruh dengan masuknya teknologi canggih hingga kita lupa dengn akar budaya sendiri, entahlah!. Marilah kita merenungkan sejenak falsafah Poangka-Angkataka dan diimplementasikan keseharian kita untuk pencapaian kemuliaan batin sendiri.
3. Popia-Piara artinya Pelihara Memelihara
Hidup itulah suatu anugerah Tuhan yang amat penting dan utama wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Janganlah berbuat sesuatu hal yang menyebabkan binasanya atau matinya, melainkan hal yang direlakan Allah Taala. Terjadinya global warming, banjir dan lumpur lapindo dan sebagainya itu dikarenakan karena ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Padahal Manusia dan lingkungan merupakan satu rangkaian yang tak bisa dipisahkan sehingga tidak ada alasan apapun untuk tidak menjaga atau memeliharanya. Untuk itu saatnya kita tanggalkan tindakan-tindakan merusak demi keutuhan untuk selalu hidup nyaman dan memiliki kesadaran saling memelihara sebagaimana memelihara hak sendiri
4. Pomae-Maeka Saling takut antara sesama manusia / saling segan
Semestinyalah orang besar senantiasa tetap ditakuti. Dan umumnya tiap-tiap manusia harus tahu dimana letaknya atau kedudukannya, mana yang lebih tinggi itulah yang ditakuti secara adat. Perilaku manusia dalam pergaulan hidup harus berdasar juga atas peri kemanusiaan yang diwujudkan oleh peradaban dan hukum kesopanan yakni selaras dengan keadaan diri dalam kedudukan atau pangkat sebagaimana menakuti dan menyegani ketinggian batin sendiri.
Dari uraian keempat pilar tersebut jika diimplementasikan keseharian maka akan terbentuk karakter bangsa yang bertanggung jawab, rasa persaudaraan untuk saling bahu membahu untuk bangkit bersama menuju perdamaian, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Kemakmuran negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, dll mampu menerapkan keempat aspek falsafah Buton diatas kedalam kehidupan kesehariannya dan alhasil mereka hidup damai, nyaman, dan sejahtera.
Berdasarkan Undang-undang kerajaan Buton terdapat sifat-sifat yang diwajibkan atas diri tiap-tiap pemimpin masyarakat yaitu terbagi atas 4 macam yaitu :
1. Bersifat Sidiq artinya benar dan jujur dalam segala hal, rela berkorban dalam kebenaran, tak boleh bohong.
2. Bersifat Tabliqh artinya menyampaikan segala perkara yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum, tak boleh menyembunyikan sesuatu maksud.
3. Bersifat Amanah artinya mempunyai rasa kepercayaan terhadap umum, tak boleh mempertukarkan sesuatu hal sehingga pendengaran tidak sesuai dengan bukti atau perasaan.
4. Bersifat Fathanah artinya fasih lidah dalam berbicara, tak boleh berbicara kaku.

Hubungan antara pemimpin dan Rakyat diibaratkan sebagai perhubungan Tuhan dengan hambanya (rohani dan jasmani) artinya pemimpin dan rakyat bercerai tetapi pada bathinnya bersatu padu. Karena Tuhan dengan hamba atau khalik dengan mahluk itu pada hakekatnya adalah bersatu, berdiri dengan keesannya menurut Ilmu Tauhid sebagai kata Ahlul Arif billah menyatakan “Rabbi Wal Abdi Waahidun”, artinya : “Tuhan dan hamba adalah bersatu pada hakikatnya”. Menurut pernyataan diatas bahwa pemimpin seharusnya memiliki persaaan sama baik itu lahiriah maupun bathiniah dengan kata lain secara lahiriah rakyat mengabdikan diri kepada pimpinan dan secara bathniah pimpinan bersikap adil, bijaksana dan arif terhadap rakyatnya bukan merampas hak-hak rakyat seperti wajah Indonesia saat ini.
Jika implementasi hubungan pemimpin dengan masyarakat teraktualisasi dalam keindonesiaan maka akan lahir sifat-sifat kepemimpinan berikut ini:
1. Bijaksana (Kecerdasan akal)
2. Ail (Kecerdasan perasaan)
3. Rahman (Kecerdasan Kalbi atau kemurahan hati)
4. Rahim (Kecerdasan budi)

Supaya proses pemerintahan bangsa ini berjalan dengan adil dengan tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan sendiri, hendaklah setiap pemimpin meyakini Hadits Tersebut “Syuhudul Kasarat Fil Wadahat” artinya Yang Banyak Didalam Yang Satu dan “Syuhudul Wahadat Fil Kasarah” artinya Meneliti Yang Satu Didalam Yang Banyak. Maksud hadist tersebut yaitu menjunjung tinggi kepentingan rakyat semata bukan pembangian kekuasaan atau memperkaya diri. Untuk mencegah keruhnya suasana dalam masyarakat maka kepribadian pemimpin harus berusaha membatasi nafsunya seperti yang tertuang dalam falsafah Buton “Mendeu Yipeelumu, Ala Yimendeumu” artinya Menahan Diri Dari Hawa Nafsu, Jangan Mengikuti Hawa Nafsu. sepertinya wajah Indonesia kekinian para pemimpin tak mampu menahan hawa nafsu akan godaan kekayaan (harta dan uang) duniawi ini. Padahal pandangan falsafah diatas jelas sejelasnya untuk tidak selalu mengikuti hawa nafsu yang akan menjerumuskan kealam kehancuran.

Adapun falsafah diatas jika benar-benar terimplementasi kedalam kehidupan sosial bangsa ini akan nampak sebagai berikut: 
1. Naindamo arataa somana okaro (korbankanlah harta demi keselamatan diri).
2. Naindamo okaro somana lipu (korbankanlah diri demi keselamatan negara).
3. Naindamo lipu somana syara (korbankanlah negar demi keselamatan pemeritah)
4. Naindamo syara somana agama (korbankanlah pemerintah demi keselamatan agama)

Begitulah dasar falsafah perjuangan budaya Buton yang dianjurkan kepada kepada para khalifah terhadap seluruh lapisan masyarakat seperti halnya kita membela kesucian kaum wanita pada hakekatnya. Bukan merampas kesucian kaum wanita dengan cara memperkosa hak-hak rakyat seperti kondisi kondisi keindonesian sebagai berikut: 
1. Naindamo okaro somana arataa (korbankanlah keselamatan diri demi harta).
2. Naindamo lipu somana okaro (korbankanlah negara demi keselamatan diri).
3. Naindamo syara somana lipu (korbankanlah pemeritah demi keselamatan negara)
4. Naindamo agama somana syara (korbankanlah agama demi keselamatan pemerintah)

Demikianlah uraian falsafah Buton diatas sebagai bahan acuan peningkatan karakter manusia (human developing character) dan berkepribadian budaya ditinjau dari falsafah budaya Buton dan penjelasan diatas bukanlah untuk menggurui kecuali menginggatkan kembali agar selalu pada jalan kebenaran atas hidayah dan taufiq-Nya dengan kesempurnaan sifat-sifat bathinnya yang suci atau masyarakat dapat mencapai kemuliaan, keimanan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan jiwa sejati sehingga akan tercapai Indonesia seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Amin

1 komentar:

Blog Toudhani -Wolio Molagi© All Rights Reserved
Hasmina Syarif