Oleh : Asis
SIMALUI adalah seorang manusia
sakti, adiknya bernama SIBAANA serta pembantu utamannya SIJAWANGKATI. Simalui
berasal dari daerah bambu, negeri Melayu Pariaman. Mereka meninggalkan negeri
asalnya pada 15 hari bulan Syaban tahun Hijriyah. Sama halnya Sipanjonga,
simalui juga membawa rombongan 40 kepala keluarga sebagai pengikutnya. Berbulan-bulan mengarungi lautan dan
daratan dengan bahtera yang namanya “POPANGUA”. Diburitannya dikibarkan bendera
kerajaan leluhurnya yang brwarna kuning hitam selang seling. Bendera itu
dinamai “BUNCAHA”.
Pada akhir tahun 1236 M, rombongan Simalui terdampar disebelah timur laut
negeri Buton. Jadi hampir bersamaan kedatangan Sipanjonga dan rombongan. Daerah
pendaratan armada Simalui disebut ‘KAMARU”, bentengnya disebut “WONCO”.
Setibanya Simalui dan rombongannya membuat pemukiman dan benteng pertahanan.
Dan juga membuat lubang pengibaran bendera didalam areal benteng yang dibuat
tadi.
Tidak berapa lama menempati daerah Kamaru setalah kehidupan sudah berjalan
baik, Simalui mengutus pembantu utamanya Sijawangkati untuk mencari daerah baru
yang cocok untuk pertanian.
Maka berangkatlah Sijawangkati dan pengikutnya menyusuri pantai daratan
Buton. Tibalah disuatu tempat yang bernama “WASUEMBA” (sekarang menjadi nama
sebuah desa yang diambil dari nama pengikut dari Sijawangkati) dan membuat
perkampungan serta benteng pertahanan yang bernama “KONCU” di Wabula (sekarang
wilayah Kec. Pasarwajo Kab. Buton). Sijawangkati juga memerintahkan pengikutnya
untuk membuat lubang pengibaran bendera leluhurnya.
Tidak berapa lama, kedua rombongan (Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui dan
Sijawangkati) yang telah menempati 4 wilayah yang berbeda satu sama lain sudah
saling kenal, serta saling mengunjungi tempat masing-masing maka dibuatlah
suatu kesepakatan untuk mengadakan musyawarah. Dalam musyawarah diputuskan,
bahwa mereka akan membuat perkampungan yang dinamai “BATU YIGANDANGI”. Dan yang
menjadi ketua bandar perkampungan adalah Sipanjonga. (yang sekarang
perkampungan ini disebut “LELE MANGURA”, diabadikan menjadi tempat makam
pahlawan ksatria Buton dan Muna yakni “LAKI LA PONTO alias MURHUM”, Raja Buton
VI atau Sultan Buton I).
Dan mulai saat itulah Sipanjongan tinggal di Batu Yigandangi atau Lele
Mangura tanpa seorang pendamping atau seorang osteri sampai akhir hayatnya,
karea memang dia tidak pernah menikah. Suatu saat ketua bandar Sipanjonga
berada ditengah-tengah kerumunan orang banyak, sambil berteriak dalam bahasa
sendiri dengan ucapan “WELIA” artinya buatlah perkampungan. Welia
terdiri dari suku kata : WE yang artinya buatlah dan LIA artinya perkampungan.
Ucapan Sipanjonga ini dibadikan menjadi nama Kecamatan Wolio (sekarang berada
di wilayah Kota Bau-Bau).
Setelah bandar perkampungan
selesai dibentuk dan mengakui keberadaan masing-masing maka sejak saat itu para
ksatria dibebaskan untuk mencari tempat bermukim secara perorangan. Yang semula
bermukim di Lambelu dan Kamaru sebagian pergi mengadu nasib di negeri Muna.
Begitu juga mereka yang bermukim di Tobe-Tobe telah pergi ke Tiworo dan Pulau
Kabaena. Dan merekalah yang pertama menghuni daerah-daerah tersebut.
Sumber :
Saduran oleh La Ode Ichram tahun 1996, dari tulisan La Ode
Tanziylu terjemahan Buku Tembaga yang judul aslinya (ASSAJARU HULIQA DAARUL
BATHNIY WA DAARUL MUNAJAT dan tulisan La Ode Zaenu “Buton dalam Sejarah
Kebudayaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar