Tiga Unsur Budaya
Unsur Budaya ke-3: Produk
Budaya merupakan topik yang besar dan sangat penting. Begitu pentingnya,
budaya bisa mencitrakan kondisi masyarakat. Budaya yang tinggi mencitrakan
masyarakat yang maju; budaya yang rendah mencitrakan masyarakat yang masih
terbelakang. Namun, sebelum lebih jauh kita membahas budaya, saya mengajak
putra-putri Indonesia
untuk mengenal defenisi budaya secara umum.
Defenisi Budaya
Menurut Kuntjaraningrat, budaya
adalah "Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar." Antropolog Sir Edward B. Taylor dari Inggris
mendefenisikan budaya sebagai 'the complex whole of ideas and things produced
by men in their historical experience' (keseluruhan ide dan barang yang
dihasilkan oleh manusia dalam pengalaman sejarahnya - terjemahan bebas).
Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah ''as pattern of thinking
and doing that runs through activities of people and distinguished them from
all other peoples' (pola pikir dan tindakan orang yang tercermin melalui
aktifitasnya dan yang membedakannya dari orang lain - terjemahan bebas).
Unsur Budaya yang Pertama: Ide atau Gagasan
Kalau mau dipilah, budaya terdiri
dari 3 unsur penting: ide-ide/gagasan, aktifitas, dan hasil karya. Ide/gagasan,
yaitu pikiran-pikiran yang muncul dari individu atau masyarakat atau bangsa. Dalam
masyarakat Batak misalnya, ide/gagasan dapat dilihat dari pantun
('umpasa/umpama') yang sering dikutip dalam acara-acara adat. Misalnya pantun
orang Batak yang berbunyi, 'tubuan lak-lak tubuan singkoru, tubuan anak ma hamu
dahot boru.' (Artinya, kiranya kamu melahirkan anak laki-laki dan anak
perempuan). Contoh lain adalah konsep Dalihan Natolu - 'somba marhula-hula,
elek marboru, manat mardongan tubu'- konsep yang mengatur kehidupan sosial
orang Batak.
Unsur Budaya ke-2:
Tindakan
Unsur yang kedua adalah tindakan
atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu masyarakat atau bangsa
berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas-aktifitas lain. Dari
karya Max Weber, The Protestan Ethics & Spirit of Capitalism, kita
mendapatkan gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya
masyarakat Eropah Barat pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai
sekarang, konsep kerja yang dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat.
Orang Barat bekerja dengan rajin dan punya tanggung-jawab terhadap
pekerjaannya. Ada 'Professional Responsibility'. Mereka menekuni
pekerjaannya> Mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya
dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam
seni berkomunikasi. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin;
langsung 'to the point'; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur
dan penggunaan kata tidak berlebihan.
Unsur Budaya ke-3: Produk
Unsur yang ketiga adalah hasil karya, yaitu produk
yang dihasilkan dari satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya
bermutu tinggi. Harga jam merek Rolex (Pre-Owned Rolex Women's Presidential
Watch) bisa berkisar puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW
bisa ratusan juta rupiah. Barat mampu membuat pesawat ulang alik. Bill Gates
menemukan Microsoft. Barat menemukan Internet, yang mampu mengakses informasi
dengan mudah dan menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi
yang lain. Masih ada Facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini
dalam konteks sosial.
Itulah sekilas perkenalan tentang budaya. Semoga perkenalan terhadap ketiga
unsur budaya ini dapat menolong putra-putri Indonesia untuk lebih memahami
budaya.Bagaimana Menilai Budaya Lokal
Salah satu contoh menarik tentang bagaimana menilai budaya
adalah memperhatikan masyarakat Batak menilai tradisinya terrmasuk menilai
produk-produk seperti "ulos" (semacam songket). Ada yang membakar ulos karena ulos dianggap
tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat tersebut. Ada juga yang menyebut bahwa memakan makanan
khas daerah seperti "Sangsang B2" berlawanan dengan Kitab Suci.
Ukir-ukiran tidak boleh diletakkan dirumah karena dianggap memiliki kuasa
gelap. Begitulah beberapa pandangan yang muncul dalam masyarakat tersebut terhadap
budaya lokalnya.
Mereka mengevaluasi budaya ataupun adat dengan cara pandang mereka 'yang baru.' Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, perubahan pandangan hidup bisa merubah cara pandang seseorang. Kita menilai sesuatu dengan cara pandang yang melekat pada diri kita. Kita berpikir, bertindak, dan membuat keputusan sesuai dengan keyakinan yang terpatri dalam pikiran kita. Demikian juga dalam masyarakat Batak; ada yang pro budaya lokal dan ada menolak. Muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? Dengan dasar apa kita menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada.
Mereka mengevaluasi budaya ataupun adat dengan cara pandang mereka 'yang baru.' Seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, perubahan pandangan hidup bisa merubah cara pandang seseorang. Kita menilai sesuatu dengan cara pandang yang melekat pada diri kita. Kita berpikir, bertindak, dan membuat keputusan sesuai dengan keyakinan yang terpatri dalam pikiran kita. Demikian juga dalam masyarakat Batak; ada yang pro budaya lokal dan ada menolak. Muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? Dengan dasar apa kita menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada.
Ada
tiga opsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, kita mencari
jawabannya pada dasar negara kita, yaitu Pancasila. Sila pertama dari
Pancasila mengatakan, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Namun, sila ini
tidak secara explisit memberikan penjelasan bagaimana mengevaluasi budaya.
Tidak ada informasi bagaimana mengevaluasi budaya-budaya lokal. Hanya ada
aturan di dalam UUD 1945 (Amendemen) bagaimana budaya diatur. Pada Pasal 32,
UUD 1945 disebutkan, "(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budaya. (2) Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional." Namun, sangat minim
informasi tentang bagaimana menilai budaya.
Opsi kedua adalah menggunakan hati nurani dan akal. Manusia
memiliki hati nurani dan akal yang bisa membedakan apa yang benar dan tidak.
Dengan demikian, kita mempunyai kemungkinan untuk membuat penilaian terhadap
budaya. Dengan rasio, kita dapat membuat analisa dan kesimpulan apakah
nilai-nilai budaya lokal tidak benar atau tidak. Namun demikian, ini bisa
memicu munculnya pertanyaan. Apakah hati nurani atau rasio atau diri kita dapat
dijadikan sebagai patokan yang mutlak untuk mengevaluasi budaya? Jawaban
mungkin tidak meyakinkan. Manusia bukanlah sosok yang mutlak. Manusia bukan
Tuhan. Manusia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan. Oleh sebab itu, opsi
yang ketiga menjadi pilihan terakhir.
Opsi ketiga adalah menggunakan standar lain, yaitu Kitab Suci.
Kitab ini dianggap sebagai pedoman bagi orang-orang yang percaya kepada
Ketuhanan yang Maha Esa untuk menilai setiap aspek kehidupan termasuk
budayanya. Bila Tuhan adalah mutlak dan Kitab Suci juga dianggap mutlak, mau
tidak mau, orang-orang percaya perlu melihat prinsip-prinsip dalam Kitab Suci.
Namun, bagaimana pandangan Kitab Suci terhadap budaya harus dilihat lebih jauh
dalam pandangan agama-agama yang ada.
Jadi, ada tiga opsi yang dapat dipertimbangkan untuk menilai budaya lokal:
dasar negara kita, hati nurani dan rasio dan Kitab Suci.
Bagaimana Masa Depan Budaya Lokal dalam Dinamika Perubahan Zaman
Ancaman terhadap Budaya Lokal
Sejarah telah memberikan
pelajaran bahwa budaya berubah. Beberapa budaya besar seperti budaya Sumerian, budaya Mesopotamia,
budaya Mesir Kuno, budaya Babilonia, dan budaya Romawi telah tergusur. Dulu
eksis, tapi sekarang kita hanya bisa melihat peninggalannya di museum.
Piramid-piramid dari budaya Mesir Kuno masih eksis, namun apakah piramid yang
sama dapat dibuat oleh umat manusia? Hanya budaya Yunani, budaya Cina, budaya
Hindu, budaya Buddha, budaya Islam, dan budaya Barat yang masih eksis. Budaya
ini pun masih akan diuji oleh waktu; sejauh mana budaya-budaya ini akan terus
bertahan.
Maju mundurnya atau timbul tenggelamnya satu budaya termasuk budaya
lokal tergantung pada perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Ini
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pandangan hidup atau sistem kehidupan yang
tumbuh subur dalam masyarakatnya. Perubahan dalam masyarakat merupakan
hasil dari 'pertemuan' nilai-nilai. Ada
'interaksi' antara nilai yang satu dan nilai yang lain'; ada 'dialog' antara
pandangan hidup yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian terhadap masing-masing sistem
kehidupan.
Masyarakat akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan hidup
atau sistem kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai, pandangan hidup dan sistem
kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir, bertindak, bekerja,
menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial, bertetangga, dan melakukan
aktifitas lainnya- ini semua merupakan gambaran dari nilai-nilai yang diterima
masyarakat.
Namun, perubahan dalam
masyarakat tidak dapat lepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat
yang terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas dari perubahan
dalam tiap individu. Perubahan dalam individu merupakan induk dari perubahan masyarakat. Bila
individu berubah- ini bisa memicu perubahan dalam masyarakat dan perubahan
budaya termasuk budaya lokal. Individu yang terus berubah ke arah yang lebih
baik akan menjadi manusia yang utuh. Ia menjadi sosok manusia yang bekerja dengan rasa
tanggungjawab,
mengerjakan pekerjaan sesuai
bakat, bekerja secara
rasional, bekerja secara
sistematis, bekerja
efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan tekun, bekerja
dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan sesama.
Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi
untuk mempengaruhi masyarakat. Jadi, perubahan individulah sebagai dasar
perubahan masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada
masyarakat akan mempengaruhi budaya. Ini akan mempengaruhi aspek-aspek
kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya-budaya lokal mengalami
perubahan. Ini saya lihat sendiri dalam masyarakat Batak. Ada banyak perubahan
terjadi dalam masyarakat dan budayanya. Salah satu contoh yang terjadi di kota
adalah bahwa mayoritas putra-putri Batak yang lahir dan besar di kota tidak
bisa berbahasa daerah. Tulisan-tulisan dalam bahasa Batak minim dan kalah
bersaing dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itu
fakta. Apakah budaya lokal akan bertahan di masa-masa mendatang? Apakah
budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan budaya lainnya akan bertahan?
Putra-putri Indonesia tidak perlu kuatir kalau
terjadi perubahan dalam budaya nasional. Bahkan kalaupun budaya daerah
tergusur, kita tidak perlu kuatir selama nilai-nilai yang unggul diterima dan
berkembang dalam masyarakat lokal. Tidak ada hukum bahwa budaya 'kecil'l harus
terus bertahan atau dipelihara. Masyarakat yang menerima nilai-nilai yang lebih
tinggi akan menghadirkan budaya-budaya yang sesuai dengan nilai-nilai yang
diterima. Ini prinsip yang tidak dapat dibantah. Masyarakat yang mau
maju akan semakin terbuka terhadap nilai-nilai yang tinggi. Masyarakat yang
demikian lambat laun akan meninggalkan nilai-nilai yang 'kurang bermutu'.
Dengan kata lain, budaya yang berdasarkan pada nilai-nilai 'kebenaran yang
parsial' tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Perubahan
budaya - apakah itu budaya besar ataupun budaya lokal- merupakan konsekuensi
dari benturan nilai-nilai antara budaya yang 'lebih tinggi'
dengan 'budaya yang lebih rendah.' Hal yang perlu direnungkan adalah sejauh
mana kita mau menerima nilai-nilai dari budaya yang lebih tinggi dan
memprakttekannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan sebuah
'petualangan.'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar